Mohon tunggu...
Esti Sri Handayani
Esti Sri Handayani Mohon Tunggu... -

Penikmat kopi, juga diksi-diksi yang menyayat hati.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Warisan Leluhur, Meriam Si Jagur

3 April 2018   06:12 Diperbarui: 4 April 2018   20:44 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meriam si Jagur. sumber: dokumentasi pribadi

          Meriam si Jagur, warisan luhur yang melegenda. Namun tak banyak orang yang mengetahuinya, meskipun letaknya di daerah yang banyak pengunjungnya. Menurut sumber, Meriam si Jagur itu dibuat di Makau pada abad ke-16 oleh orang Portugis. Kemudian, Portugis menggunakan meriam itu untuk mempertahankan kekuasaannya di Malaka. Namun, sekitar tahun 1641 Belanda berhasil merebut benteng Portugis dan mengambil Meriam si Jagur untuk dipindahkan ke Batavia. 

          Sayangnya meriam yang memiliki berat 3,5 ton dan panjang 3,5 meter itu sejak dipindahkan ke Batavia, tidak lagi digunakan oleh pasukan tentara Belanda karena dianggap terlalu berat, tidak efektif dan tidak efisien jika diikutsertakan bersama pasukan untuk perang. Selain pernah menjadi sebuah senjata mematikan pada zamannya, Meriam si Jagur juga memiliki keunikan lain dalam segi cerita rakyat yang melegenda.

"Kalo jaman dulu nih, kan orang yang berumah tangga kalo belom punya keturunan pada ke sini. Dielus begitu meriamnya, terus katanya abis itu baru bisa punya keturunan gitu mutosnya." Ujar Pak Heri, salah satu penjaja sepeda ontel yang ditemui penulis beberapa waktu lalu

          Pak Heri juga menjelaskan, di pangkal Meriam si Jagur terdapat kepalan tangan kanan dengan jempol dijepit oleh jari telunjuk dan jari tengah. Kepalan tersebut diketahui memiliki konotasi seksualitas di kalangan masyarakat, hal tersebut yang turut andil pada munculnya mitos ini.

          Seiring dengan berjalannya waktu dan kemerdekaan Indonesia yang dapat diraih setelah kolonialisme yang berabad-abad lamanya membelenggu, pada 1974 Meriam si Jagur dipindahkan ke halaman Museum Sejarah Jakarta atau yang lebih familiar dikenal dengan Museum Fatahillah. 

          Meriam si Jagur menjadi sebuah aset budaya negara yang sekaligus menambah koleksi monumen untuk dijadikan sarana hiburan dan pengetahuan di kawasan Kota Tua, Jln. Taman Fatahillah No.1, Jakarta Barat. Menurut data UPK Kota Tua bulan lalu, pengunjung daerah Wisata Kota Tua menembus angka 98.288 orang. Namun, berdasarkan observasi langsung yang dilakukan penulis, sebagian besar pengunjung yang menggunung itu tidak mengetahui apa dan di mana itu Meriam si Jagur.

          Seorang siswi yang sedang bertamasya di Kota Tua bersama teman-teman sekolahnya menjadi bukti betapa Museum si Jagur telah dilupakan legenda dan keberadaannya,        

"Saya gatau tuh kalo Meriam si Jagur. Emang adanya di mana?" Ujar Sarahfina kepada penulis

          Setelah penulis menjelaskan secara singkat mengenai singkat Meriam si Jagur dan memberi tahu letaknya, Sarahfina baru merasa sedikit tertarik untuk mencari tahu lebih dalam tentang meriam tersebut.

          Kita sering lengah terhadap budaya dan sejarah berharga yang kita punya. Baru akan sadar dan seperti orang yang jenggotnya terbakar, apabila warisan leluhur tertentu "dijarah" negara tetangga. Seperti kasus yang sudah-sudah, kita hanya bisa melongo saat negara tetangga mengklaim Reog Ponorogo. 

          Tidak bisa berkutik ketika mereka mengklaim Batik dan tidak banyak yang bisa dilakukan ketika mereka juga mengklaim berbagai macam kesenian lain. Hal-hal tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya melestarikan warisan dari leluhur punya, padahal itu sangat berharga.

          Lalu kita hanya bisa mencerca negara tetangga atas perbuatan culas mereka. Buat apa? Ke mana saja kita selama warisan yang diklaim mereka itu "masih" milik kita?  Apakah kita harus terus-terusan bersikap acuh tak acuh terhadap warisan leluhur kita terdahulu?

          Apakah negara tetangga harus terlebih dahulu mengaku-aku, agar kita sadar dan mau melestarikan warisan leluhur yang beragam itu? Harus berapa banyak lagi warisan yang perlu diaku-aku, hingga kita akhirnya menyadari apa yang kita miliki sesungguhnya sangat berarti dan setidaknya mau ikut melestarikannya, wahai saudaraku?

Reporter & Penulis : Esti Sri Handayani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun