Kini Ramadan ada di tengah pandemi, yang begitu membatasi keleluasaan beribadah dalam skala besar. Mungkin benar yang disebut-sebut banyak orang, pandemi telah mengembalikan agama pada ruang-ruang privatnya.
Tuhan, mohon rahmat supaya Ramadan ini kami dapat memberi kesaksian, bukan kesaksian akan agama, tapi kesaksian akan Engkau semata. Amin.
Kesulitan Kedua : Kebersamaan.
Betapa sudah banyak yang kehilangan orang-orang terkasih. Bila pun tidak kehilangan, maka mereka mungkin tidak memiliki kesempatan untuk menikmati kebersamaan.
Di tempat pertama, mereka yang kesulitan adalah para tenaga medis yang berjibaku di Ramadan untuk tetap menolong para pasien pandemi. Mereka lah yang mula-mula dicabut haknya atas kebersamaan itu.
Lalu, ada keluarga dari korban pandemi, yang entah bagaimana harus mencerna situasi kehilangan itu dengan terbata-bata.
Di tempat ketiga, dan inilah yang jumlahnya terbanyak, adalah mereka yang terpaksa tak bisa berkumpul dalam manisnya candu kebersamaan bernama 'mudik'. Saya ada di golongan ketiga ini. Tapi lagi-lagi ini bukan tentang saya.
Ini adalah tentang mereka yang benar-benar sudah tidak punya apa-apa di kota berlabel zona merah, tapi tak punya pilihan untuk pulang dan bersandar pada keluarga di kampung.Â
Mereka-mereka yang sedang meradang dalam tangis dan lapar di malam-malam Ramadan. Mereka-mereka yang menjadikan saya malu pada diri sendiri bila ingin mengutarakan kesulitan pribadi.
Semoga Allah segera mengangkat kesulitan-kesulitan di Ramadan ini.
Wahai Yang asma-Nya adalah obat, mengingat-Nya adalah penyembuh dan ketaatan kepada-Nya adalah kekayaan, penuhilah hati kami dengan kesabaran, keikhlasan, cinta dan rasa syukur, sehingga dapat menyelami makna kesendirian dan kesepian ini, dan membawa kami lebih dekat pada -Mu. Amin.