Hari ini, Kompasiana meminta menuliskan apa yang menjadi kesulitan saya di Ramadan tahun ini. Bila boleh jujur, ini bukanlah topik yang tepat untuk ditulis, terutama di masa-masa pandemi. Kalau bukan karena determinasi ingin mengikuti tantangan menulis selama sebulan penuh Ramadan, saya mungkin akan mengurungkan diri untuk menulis dengan topik seperti ini. I am serious!
Maksud saya, bagaimana mungkin orang seperti saya, yang masih punya energi untuk menuliskan pikiran-pikiran di kepala, bisa berpikir untuk mengeluh tentang kesulitan selama Ramadan? Sementara masih banyak orang di luar sana, yang energinya sudah terkuras bahkan untuk hanya memikirkan ada atau tidaknya beras di tempayan.
Ya, jadi dibandingkan curhat mengenai kesulitan diri pribadi, saya merasa lebih layak mengurai benang kusut kekhawatiran di kepala tentang dunia yang sedang saya tinggali.
Ada banyak hal saya rasa, yang menjadikan Ramadan ini menjadi sulit bagi banyak orang. Bahan pangan mahal, udara panas, target kerja belum tercapai, tunjangan hari raya akan terlambat masuk atau tidak ada tunjangan sama sekali, dan lain-lain.Â
Tapi kesulitan-kesulitan itu juga ada di tahun-tahun yang lalu. Kesulitan-kesulitan itu bukan  sesuatu yang baru. Itu adalah cerita kesulitan yang siklusnya berulang. Yang bagi sebagian orang mungkin telah menjadi hal yang biasa.
Jadi pertanyaannya kini, adakah kesulitan tahun ini yang begitu berbeda? Jawabannya, ada.
Ada 2 hal yang tidak kita punya di Ramadan tahun ini, setidaknya itu yang terpikirkan di kepala, saat saya menuliskan ini. Anda boleh menambahkannya di kolom komentar.
Kesulitan Pertama : Keleluasaan Beribadah
Bila menelisik ke belakang dan melihat betapa di saat di mana kita begitu leluasa berada di rumah-rumah Tuhan, kita pernah menjadikannya sebagai bahan permainan. Rumah Tuhan dijadikan tempat mengolok-olok dan mencemooh orang.
Dulu ketika kita begitu leluasa bersujud di rumah Tuhan, sebagian dari kita malah memilih menghambur ke jalan-jalan. Merasa paling berhak karena mengaku yang paling haq.