Mohon tunggu...
Esti Maryanti Ipaenim
Esti Maryanti Ipaenim Mohon Tunggu... Jurnalis - Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Gaya hidup dan humaniora dalam satu ruang: bahas buku, literasi, neurosains, pelatihan kognitif, parenting, plus serunya worklife sebagai pekerja media di TVRI Maluku!

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Apakah Semua Akan Kembali Normal?

24 April 2020   22:34 Diperbarui: 25 April 2020   21:11 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Solidaritas (dhl.com)

Semalam saat bersama suami menyiapkan sahur sambil mendengarkan berita di TV, saya sempat teringat keluarga di kampung halaman, juga orang-orang yang akan sangat merasakan betapa berbedanya Ramadan tahun ini.

"Ya Allah, Semoga semua kembali normal, kembali seperti sedia kala" ujar saya.

"Tergantung apa yang kamu maksud sebagai normal dan sedia kala" Suami saya menimpali.

Lalu mulailah diskusi itu. Diskusi yang mempertanyakan, bagaimana bila inilah justru cara Tuhan mengembalikan semua seperti sedia kala dalam kemahabijaksanaan-Nya?

Bagaimana bila kondisi saat ini adalah jawaban dari rintihan segelintir umat-Nya yang kerap kali kecewa pada hirarki status, egoisme, individualisme, dan kapitalisme yang menindas?

Bagaimana kalau perhitungan kita tentang awal mula pandemi telah meleset, bagaimana bila pandemi ini bukanlah permulaan melainkan sebuah proses menuju penyelesaian?

Bagaimana bila penglihatan kita tentang impian-impian yang tidak tercapai, ekonomi yang hancur, mata pencaharian yang hilang, adalah segala yang kasat belaka? Bagaimana bila ada hal-hal yang perlu dilihat dengan mata batin, seperti solidaritas dan altruisme yang kembali menggeliat?

Ya diskusi itu sepintas lalu saja, teralihkan dengan topik lain yang entah apa. Tapi tentang 'kenormalan' yang saya sebut-sebut dalam ujaran itu benar-benar membuat saya berkontemplasi.

Kita semua mendefinisikan apa yang seharusnya "normal" bagi diri kita sendiri. Kemudian kita menjadi terikat pada visi tersebut. Seperti konsep bahwa "Orang-orang akan bekerja keras, membeli kendaraan dan rumah, bertemu dan bergaul dengan orang-orang lain, memulai bisnisnya sendiri lalu menghidupi dirinya dan keluarganya."

Kita berkomitmen pada visi kenormalan seperti itu. Kita menerima visi itu seperti sesuatu yang sudah selayaknya, mau tidak mau, karena semua orang begitu. Maka ketika visi itu diambil dari kita, kita menjadi sangat kesal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun