Membaca tumpang-tindihnya informasi tentang demonstrasi di media sosial, cukup bisa menaikkan tensi darah. Saya lalu memilih untuk beralih melihat kembali buku-buku yang menumpuk untuk diulas.
Membaca buku dan menulis biasanya berhasil meregangkan syaraf dan mengurangi kadar kortisol saya.
Pilihan jatuh pada The Festival of Insignificance karya Milan Kundera. Karya itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Pesta Remeh-Temeh. Kebetulan buku yang saya tamatkan di sekitar bulan April itu saya rasa tepat untuk diulas hari ini.
Tokoh-tokoh utama novel ini adalah empat sekawan. Alain, Ramon, Charles, dan Caliban. Keempat-empatnya mengalami hal-hal sepele yang sebenarnya menyebalkan untuk dibahas dan didengar, namun menjadi menarik untuk diikuti seiring penceritaan Kundera yang akut, mendalam dan penuh ironi.
Karakter-karakter itu adalah anomali, karena masing-masing memiliki isu yang serius namun sepele. Kisah-kisah mereka bisa dibilang lucu dan tragis pada saat yang bersamaan.
Ada dua hal remeh yang berkesan bagi saya. Yang pertama adalah keremehan dari tokoh Alain yang mempertanyakan pergeseran daya tarik seksual, dimana lelaki seringkali mengarahkan ketertarikannya pada bagian tubuh  perempuan seperti paha, payudara dan bokong. Namun tokoh Alain justru tertarik pada udel alias pusar.
Keremehan kedua adalah cerita tentang 'teater boneka manusia' yang digarap tokoh Caliban dan Charles yang mengangkat kisah Joseph Stalin.
Iya, Stalin yang kita kenal sebagai pemimpin diktator kejam, gila kekuasaan, maniak dan tidak berperikemanusiaan itu, diejek oleh Caliban dan Charles sebagai penyebab matinya lelucon. Yakni, ketika Stalin menyampaikan leluconnya di hadapan pasukannya dan tidak ada satupun dari mereka yang bisa menangkap bahwa itu adalah lelucon.
Dari Alain saya belajar bahwa hal-hal yang bagi kita remeh, mungkin bagi orang lain adalah inti kehidupannya. Dari Caliban dan Charles saya belajar menertawakan ironi kehidupan saya sendiri.
Selain itu ada kutipan yang sangat filosofis dari tokoh Ramon kepada kawannya D'Ardelo:
"Keremeh-temehan, kawanku, adalah esensi dari eksistensi. Semua itu ada di sekitar kita, dan di mana-mana serta senantiasa. Keremeh-temehan hadir bahkan ketika tak ada yang ingin melihatnya: di dalam kengerian, di dalam peperangan yang berdarah-darah, di dalam bencana paling buruk. Seringkali dibutuhkan keberanian untuk mengakui keremeh-temehan dalam situasi-situasi yang begitu dramatis, dan menyebut keremeh-temehan itu sesuai dengan namanya. Tapi bukan hanya soal mengakui keremeh-temehan itu, kita harus belajar mencintainya".