Kadang saya berpikir, mengapa harus kutu? Saya menerka-nerka jawaban sendiri, mungkin saja karena filosofi kutu yang ukurannya kecil dan suka menjelajah area yang luas dan lebat.
Seperti para pembaca yang selalu merasa diri kecil atau merasa ada hal yang lebih besar daripada dirinya sendiri yang ingin ia jelajahi  yakni cerita dan pengetahuan yang luas dalam lebatnya belantara kata-kata, dan itu ditemukannya dalam buku.
Meskipun filosofi yang saya terka itu terdengar okay, namun penggunaan idiom kutu buku itu sendiri saya curigai sebagai salah satu faktor pemicu mengapa orang tidak suka membaca.
Kutu selalu diasosiasikan negatif. Kutu hidup, beranak-pinak dan membuat kepala orang menjadi gatal.Â
Tidak ada orang yang mau mempunyai kutu di kepalanya. Bila kedapatan ada, mereka akan langsung membunuhnya. Demikian pandangan general orang akan kutu.
Sulit untuk menduga semua orang akan menyelisik dan menemukan filosofi kutu buku seperti yang saya kemukakan di depan.
Ada spekulasi yang mengatakan idiom kutu buku itu adalah pemberian kolonial dengan maksud agar orang-orang tidak suka membaca karena alergi dengan kata kutu yang disematkan pada buku. Dengan begitu, orang-orang Indonesia tidak akan pintar  dan mengancam kedudukan penjajah.
Setelah saya pikir-pikir, iya juga ya.Â
Bukankah kita tidak pernah tahu sejak kapan idiom kutu buku itu mulai digunakan? Dan bukankah memang banyak idiom yang hari ini kita gunakan adalah warisan kolonial?
Orang yang terlihat membaca di berbagai kesempatan akan sontak disebut kutu buku, dianggap aneh, dan dikira tidak memiliki teman.