Mohon tunggu...
Estira Woro Astrini
Estira Woro Astrini Mohon Tunggu... -

Estira Woro Astrini adalah nama kepanjangan saya, tapi saya biasa dipanggil "tira". Saat ini saya sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada, jurusan Matematika program studi Statistika.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ibu, Rumah Kita Dimana?

8 Februari 2011   15:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:47 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang anak perempuan, umurnya kira-kira 5 tahun berpakaian kumal duduk seorang diri di tepi pantai. Matanya menerawang jauh ke batas horizon. Mengamati matahari yang perlahan mulai turun ke persembunyiannya. Lamunannya terhenti saat seorang wanita separuh baya memanggil namanya berkali-kali, menyuruhnya untuk pulang. Dengan kaki-kaki mungilnya, ia pun berlari ke arah wanita itu, wanita yang ia panggil dengan sebutan "Ibu". Si Ibu memeluknya dengan erat. Malam itu, satu lagi hari yang tenang mereka lewati dengan suka cita. Jika teman bertanya, kemana suami dari wanita itu yang juga adalah ayah dari anak itu, hanya ada satu jawaban : lelaki itu sudah hilang ditelan ombak saat ia membanting tulang demi menafkahi anak dan istrinya. Hanya sebuah rumahlah yang diwariskan oleh lelaki itu untuk anak dan istrinya. Ya, rumah (yang sepertinya tidak pantas disebut rumah) itulah yang menjadi harta paling berharga milik ibu dan anak itu.

Matahari pagi mulai muncul dari persembunyiannya. Cahayanya menerobos masuk melalui celah-celah kecil dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu dan lubang-lubang yang ada di atap. Dengan sentuhan-sentuhan lembut, si ibu membangunkan anaknya. Si anak pun terbangun, hal pertama yang ia lakukan adalah menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan, lalu duduk. Si ibu menyuruh anaknya untuk mandi. Setelah mandi dan bersiap-siap, ibu dan anak itu pun meninggalkan rumah mereka, meninggalkan satu-satunya harta mereka yang paling berharga untuk mencari peruntungan di kota kalau-kalau ada orang yang berkenan memberi mereka sedekah walau hanya seratus rupiah. Sebenarnya si ibu tidak ingin memberi makan anaknya dari uang hasil meminta-minta. Tapi, harus bagaimana lagi? Mau berjualan, darimana modalnya? Dulu, si ibu pernah bekerja sebagai tukang cuci keliling, namun ternyata tak seorang pun mau menitipkan pakaian kotornya pada si ibu untuk dicucikan. Jadi, saat itu meminta-minta adalah satu-satu jalan yang ada di pikiran si ibu untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

Terik matahari sangat panas di siang itu. Tetesan keringat tiada henti-hentinya membasahi dahi dan sekujur tubuh ibu dan anak itu. Namun, mereka masih giat mencari peruntungan di jalan-jalan raya. Asap-asap knalpot tidak menghentikan langkah mereka. Hingga sore pun tiba. Dengan rasa letih yang teramat sangat, ibu dan anak itu duduk di trotoar jalan dan mengeluarkan uang hasil meminta-minta yang sudah terkumpul di wadah yang mereka buat sendiri. Wadah itu terbuat dari potongan botol air minum mineral. Koin demi koin pun dihitung. Beberapa di antaranya berupa lembaran uang kertas pecahan seribu rupiah. Setelah selesai menghitung, si ibu ternsenyum pada anaknya dan berkata : Alhamdulillah Nak, nanti malam kita bisa makan, ayo pulang.

Perjalanan pulang mereka lewati dengan rasa letih yang teramat sangat. Namun, jika teringat akan "harta" mereka yang paling berharga, seketika rasa letih itu hilang begitu saja. Tiba-tiba, langkah si ibu terhenti. Wadah uang yang tadinya dipegang dengan erat dijatuhkannya begitu saja sehingga koin-koin berserakan dimana-mana. Mata si ibu terbelalak, mulutnya menganga, dan air matanya menetes membasahi kedua pipinya. Si anak menatap heran ke si ibu. Dan kemudian matanya mengamati sekeliling. Lalu si ibu memeluknya dan berkata : Mereka mencurinya Nak. Entah karena merasa sedih atau karena tidak mengerti, si anak hanya terdiam. Memperhatikan puing-puing bangunan yang ada di hadapannya. Mengamati mesin-mesin perkasa penghancur bangunan yang ada di hadapannya. Dan melihat segala ekspresi orang-orang di sekitarnya, ada yang marah sambil mengumpat, ada yang menangis histeris, bahkan ada yang tidak sadarkan diri. Ya, rumah-rumah penduduk yang ada disana telah di ratakan dengan tanah. Tiba-tiba dengan suara lirihnya si anak berkata : Ibu, rumah kita dimana? Perkataannya semakin membuat si ibu terisak, dan memeluknya lebih erat lagi. Malam ini dan malam seterusnya, tidak ada lagi rumah bagi si ibu dan si anak, tidak ada lagi malam yang penuh sukacita bagi keduanya. Malam itu bagaikan mimpi buruk bagi ibu dan anak itu.

Penggusuran lahan masih menjadi masalah yang sering didengar di telinga kita. Siapa yang harus disalahkan? Jika lahan itu memang punya pemerintah, apakah pantas rasanya jika kita menyalahkan pemerintah? Tapi, tegakah kita melihat nasib rakyat kecil seperti yang dialami oleh si ibu dan anak itu? Siapa yang harus bertanggung jawab? Renungkan, dan cari solusinya, jangan cuma mengkritik. Karena yang muda yang solutif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun