"Helm tuh jangan ditaruh di spion, bikin spionnya cepet rusak."
"Airnya udah mendidih, keburu dingin kalau ga mandi-mandi"
"dipakai terus, nanti ya cepet habis"
Atau..
"Bu..kopi. Bu, mandi. Bu, dinginin nasi."
"Pulang terus, mendingan belajar sana di kosn. Kalau ga penting ga usah pulang."
Dan sederet "kecerewetan" lain di dalam rumah. Lelaki paruh baya yang setiap hari pasti nyuruh ini itu. Lelaki yang kecerewetannya terkadang membuat kami, makhluk paling cantik di rumah ini ikut emosi. Antara bicara dan marah-marah tak ada bedanya. Apalagi akhir-akhir ini, lelaki itu semakin bertambah cerewet.Â
Lelaki tua itu ayahku..iya..dia ayahku.Â
Meski terkadang cerewetnya dia membuat kami menjadi ikut marah, tapi kami sungguh mencintainya.Â
Bagi yang tak memahaminya, pasti akan menganggap ayahku sebagai ayah yang ga peduli. Ayahku, apa yang dia lakukan sebenarnya berbanding terbalik dengan apa yang ia rasakan. Saat dia marah, sebenarnya ittu ungkapan sayangnya terhadap kami. Saat ia diam dan seolah tak peduli dengan masalah yang kuhadapi, justru itu karena hatinya begitu terluka melihatku bersedih. Ayahku..meski dia sering marah, dia tak pernah menolak apapun yang kuminta. Dia memberiku yang terbaik, berharap aku tumbuh layaknya anak lain. ayahku yang terbaik..yang menjadi salah satu penguat kakiku menghadapi dunia.Â
Ayahku, lelaki yang selalu berkostum kaos oblong dan celana yang bolongnya dimana-mana, mengajari kami banyak hal.Â
Dan setiap kali aku merasa marah ketika ayah mulai cerewet, saat itu aku berpikir..
*tuhan..terima kasih atas segala kecerewetan ayah, karena itu artinya dia sehat. Terima kasih untuk semua marah-marahnya, karena itu berarti dia masih ada bersama kami. Terima kasih untuk perintah-perintahnya, karena berarti dia baik-baik saja."
He is my lovely dad, my superman, the apple of my eyes
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H