Mohon tunggu...
Esthi Winarni
Esthi Winarni Mohon Tunggu... lainnya -

Penikmat kopi dan fiksi. Mantan buruh pabrik, awak redaksi, copywriter. Kini ibu rumah tangga dan penulis lepas. Lahir di Purworejo, tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Buntalan Hitam

29 November 2014   10:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:32 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bau keringat berbalap dengan asap knalpot. Bergetar-getar aku duduk di jok belakang. Hampir tengah malam. Kucegat bajaj ini di tikungan, langsung naik tanpa mencermati wajah sopirnya. Ah, rupanya aku tak sendirian menumpang si roda tiga ini. Ada dua buntalan besar di jendela terpal. Aroma aneh menyeruak jua. Sepertianyir darah, seperti bau besi berkarat. Sesuatu yang lengket dan basah baru kurasa, tepat di bawah kakiku cairan amis berceceran.

Darah.

“Ke mana?”suara serak si sopir berebut dengan deru bajaj.

“Kita ke Rawamangun, Pak. Kok ada darah begini?” kataku, sekalian bertanya.

“Oh, penumpang sebelumnya habis belanja di pasar, mungkin itu rembesan darah dari buntelan daging,” jawabnya. Butuh konsentrasi lebih untuk bisa menangkap suaranya.

“Lalu buntelan yang di belakang ini apa, Pak?” aku setengah berteriak.

“Itu baju saya, baru beli dari mol.”

Mana mungkin, mal mana kantongnya hitam kusut begitu. Isinya menggumpal-gumpal. Ah sudahlah, mungkin sopir ini malu mengakui bahwa buntalan-buntalan ini hartanya, pakaiannya untuk salin sehari-hari. Kubayangkan, ia berumah bajaj ini. Parkir di bawah pohon, di taman-taman atau ujung gang lalu begitu saja terlelap dalam balutan sarung lantaran tak mampu sekadar membayar sewa kamar berdinding papan sekalipun.

Bajaj melaju ajrut-ajrutan. Angin meniup rambut tipisku hingga semakin kusut. Jepitnya entah jatuh di mana. Kami menerobos lampu merah Matraman yang biasanya padat namun kini lengang. Bau amis ditambah geletaran kendaraan rongsok ini serasa mengocok perutku. Perut yang membukit ini, semakin sulit diajak kompromi. Aku mencemaskan, kalau-kalau buah cintaku – cinta yang tak mendapat restu siapapun ini -- lahir tidak pada tempatnya. Di jalan, di kolong meja kantor ataukah di dalam bajaj ini. Lihat, di lantai bajaj ini bukan darahku atau ketuban. Memang perutku mulas bukan kepalang, tapi tak ada cairan yang keluar dari jalan lahir.

Kutarik nafas, mencoba meredakan gemuruh di perut, dada dan kepala. Keringat dingin menetes di mukaku, kurasakan badanku gerah tetapi dingin.

Melewati JalanPramuka, kami lurus saja. Menyeberangi rel kereta, menikung melewati Utan Kayu. Entah kenapa, begitu mendekati pemakaman umum setelah kampus negeri itu, si sopir seperti sengaja melambatkan kendaraan ini.

“Maaf ya, Bu, saya mau kencing dulu,”

Ah, mengapa mesti tuntaskan hajat di pemakaman? Benar saja, buru-buru sopir berperawakan tinggi kurus denganbaukeringat tajammirip bau besi karatan itu ngacir ke bawah pohon, tak jauh dari gerbang TPU. Peristirahatan terakhir berupa gundukan dan batu-batu menghampar itu begitu beku. Rembulan di atas sana, kulihat bagai wajah seorang ibu yang tenang memintaku bersabar. Aku sendirian bersama buntalan dan ceceran darah. Dekat kuburan.

Tanpa membasuh, sopir berbalik menuju bajaj. Baru kulihat, wajahnya sepucat bulan siang-siang. Topi lusuh itu tak mampu menyembunyikan kemuramannya. Tak pakai basa-basi, ia kemudikan lagi bajaj ini.

Beruntung, pikirku. Tak perlu menunggu hingga mayat-mayat dalam kubur itu dibangkitkan, kami melaju. Bajaj kembali meraung. Lempang saja jalan kami. Hingga mendadak langit semakin gelap, bulan tak lagi tampak. Mendung. Hujan. Rawamangun terasa begitu jauh. Sopir memintaku menurunkan jendela terpal yang tergulung di sisi kiri. Agar tak tempias, katanya. Di perempatan gereja, dalam guyuran hujan akhir tahun, lampu merah menyala. Bajaj ini satu-satunya kendaraan di jalanan. Sopir terbatuk, kuartikan sebagai pertanyaan; “Lalu kita kemana?”

Lampu hijau menyala.

“Rumah sakit ya, Pak,” kutepuk pundaknya. Keras, badannya memang hanya tulang, kukira. Beda betul dengan pundak suamiku yang gempal berlemak. Bahu empuk tempatku menumpahkan tangis, tentu tempat madu-maduku bergelayut manja pula.

Bajaj pun berbelok-belok menuju bangunan tua – rumah sakit yang kumaksud.

Seratus meter lagi, pintu gerbang rumah sakit itu seperti melambai-lambai. Geludug bergemuruh, menggoyahkan karang hati yang kutegar-tegarkan sedari tadi. Sambaran kilat, tegaskan merahnya genangan darah. Jiwaku mengkerut, seperti jari-jari tanganku gigil membiru. “Sabar Nak, tunggulah, kita belum sampai,” kataku, ketika kurasa perutku kembali bergolak.

Lima puluh meter lagi, kita akan sampai. Sayang, mesin bajaj tiba-tiba mati. Tak tahu apakah aku mesti berdiam di dalam mobil oranye jelek ini, ataukah nekat keluar menerobos hujan.

Sopir turun, mengutak-atik bagian belakang bajaj. Biar dia basah biar dia saja yang masuk angin. “Akan kubayar lebih,” batinku.

Kuraba isi tasku. Dompet yang tebal oleh bon-bon belanja, kartu-kartu nama. Dompet dengan foto suamiku terpajang. Tahi lalat besar di tengah-tengah hidungnya begitu mencolok. Potret yang sama dengan pas fotonya di buku nikah yang kusimpan di bawah kasur. Ya, buku yang masih lumayan gress – baru berumur tiga tahun -- namun menyembunyikan kerapuhan kami sesungguhnya. Perkawinan kami tak lebih dari gubug lapuk yang sebentar lagi rubuh. Aku berharap, dengan lahirnya bayi kami nanti, gubug kami bisa diperbaiki hingga tegak kembali. Ya, tentu dengan seizin Tuhan, juga kerelaan dua orang maduku di Tangerang dan Bandung sana.

Selain dompet, tissue, ponsel butut, agenda berisi daftar naskah iklan yang sudah dan mesti kurampungkan, dua lembar daster serta setengah lusin setelan baju bayi, tanganku menyentuh payung lipat. Ah, lebih baik kugunakan. Kukeluarkan payung lalu kutarik lembaran Rp20 ribu dari dompet, kuputuskan untuk turun di sini lalu berjalan kaki saja.

“Pak, saya turun sini saja,” ujarku sembari menyibak jendela dan meraih gerendel pintu.

Muka sopir tiba-tiba menyeruak menahanku. Air hujan menetes-netes dari topinya.

“Jangan. Ibu duduk saja, biar saya dorong bajaj ini,”

Kembali aku bersandar, mencium apak buntalan.

Sopir kurus itu kuat juga mendorong bajajnya. Aku seperti diayun-ayun. Roda-roda menerjang sebuah gundukan polisi tidur -- yang tingginya seperti di track balap MTB -- hingga membuatku terpental menyundul atap terpal. Kaget campur sakit. Jidatku terantuk pipa penyangga terpal kehijauan itu. Benjol. Aku mengumpat. Namun bajaj justru kian laju. Kencang dan semakin kencang saja dorongannya. Hoi, mataku menangkap gerbang rumah sakit. Gerbang tua itu telah terlampaui.

“Belok, belok, Pak! Kita masuk ke rumah sakit!” seruku parau. Panik. Perutku mengamuk.

Inginku melompat keluar. Yang kupikirkan hanya keselamatan bayiku. Tapi tanganku kaku berpegangan pada besi pembatas ruang sopir dan penumpang.

Seperti melayang, roda bajaj tak lagi menapaki aspal. Kami terbang. Lalu tak kulihat lagi apa-apa, duniaku sangat-sangat gelap dan kosong.

***

Pagi. Jalanan basah, di mana-mana tergenang sisa hujan semalam. Di sebuah kali di Rawamangun, Jakarta Timur, sebuah bajaj buruk terperosok. Moncongnya tenggelam dalam air kehitaman. Sementara bagian belakangnya mencuat ke atas.

Orang-orang merubung ingin tahu. Polisi dan wartawan tiba belakangan. Tim dari kepolisian menemukan wanita berdaster dengan bagian bawah tubuhnya berdarah-darah, seperti habis melahirkan. Tak bernyawa. Sementara dua buntalan plastik hitam juga ditemukan, berisi celana panjang, kemeja pria dan kaos-kaos bekas pakai yang bernoda darah. Pakaian-pakaian kotor itu membungkus potongan-potongan daging, tempurung lutut juga sepenggal hidung dengan tonjolan tahi lalat besar pas di tengah-tengah, telapak tangan serta sebentuk alat kelamin pria.

Agak jauh dari kerumunan orang-orang itu, berdiri seorang pria tinggi kurus yang keringatnya berbau besi karatan. Ia menyeringai, lega telah menyelamatkan seisi bumi dengan melumat dajjal – yang bersembunyi di balik perut perempuan-perempuan yang berdiri sendirian di pingir jalan pada tengah malam. Ia siap menjalankan perintah selanjutnya dari makluk bersayap yang terus mengikutinya, membisikkan misi-misi penting bagi dunia tepat di telinganya.

Kebon Sirih, November 2010.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun