Saya adalah rakyat miskin. tapi saya tidak tahu dimana letak pertolongan pemerintah dengan adanya BBM bersubsidi ini, karena saya tidak beli BBM. Bersubsidi maupun tidak bersubsidi, saya tidak beli BBM. Karena saya orang miskin, nggak punya motor, apalagi mobil.
Saya belinya karcis angkutan publik, atau langsung bayar ongkos ke kondekturnya.
Begitulah orang miskin. Tidak beli BBM. Yang beli BBM kan yang punya mobil dan motor. Jadi, menurut saya, BBM bersubsidi bukan untuk orang miskin. Tapi untuk orang kaya.
Yang diperlukan oleh orang miskin seperti saya adalah harga pangan murah, transportasi murah, perumahan murah, kesehatan murah dan pendidikan murah.
Untuk itu, sebaiknya alokasi subsidi BBM dipindahkan saja, dari subsidi kepada orang kaya, menjadi subsidi kepada transportasi publik, terutama milik negara. Kalau perlu subsidi BBM 100%, sehingga saya hanya bayar service charge dan pengembalian modalnya saja. Dengan demikian, saya bisa pergi bekerja dengan biaya murah, petani bisa mengirimkan hasil buminya dengan biaya murah. Anak-anak di Papua bisa dapat buku dan komputer, karena biaya pengirimannya murah.
Upah kerja saya yang Rp 2 juta rupiah sebulan bisa cukup buat sandang pangan papan, anak-anak bisa sekolah dan kalau sakit bisa berobat.
Itu yang kita perlukan. Bukan kenaikan upah Rp. 6 juta sebulan seperti janjinya capres Prabowo Subianto. Kalau upah saya naik jadi Rp. 6 juta sebulan, sementara upah buruh di Tiongkok masih berkisar di antara Rp. 1.2 juta - Rp. 2.4 juta rupiah, bagaimana saya mau dapat pekerjaan kalau pengusaha buka pabriknya di Tiongkok bukan di Indonesia?
Pak capres ini janjinya muluk tapi malah membunuh periuk nasi saya.
Perbaiki infrastruktur. Alihkan subsidi BBM kepada pembangunan infrastruktur, subsidi transportasi publik, subsidi transportasi kargo, subsidi pertanian. Jadi saya bisa seperti orang Eropa, belanja pangan hanya setengah sampai sepersepuluh harga pangan Indonesia.
.
- Esther Wijayanti -