Sebagai ibu tunggal dengan dua anak, Ayu bekerja keras membesarkan dua anaknya. Suaminya yang suka memukul itu tidak mau membantu. Syukurlah, Ayu bisa keluar dari rumah suaminya. Diusir lantaran menginap sehari di rumah ibunya bersama anak-anak saat mati lampu berkepanjangan dan di rumah tidak ada air.
Hidup terkadang memang keras bagi anak manusia. Berangkat pagi pulang malam berjuang mencari nafkah, memang tidak mudah baginya. Persaingan bisnis yang ketat, membuat prestasi kerjanya tergencet oleh berbagai pihak yang curang dalam berbisnis. Rekan bisnisnya, menarik uang ratusan juta rupiah dari rekening perusahaan sesaat setelah Ayu telah menandatangi cek. Dengan cek kosong itu, tentu saja jerat hukum memburunya. 4 tahun penjara. Namun Ayu berhasil melakukan negosiasi, setelah disandera berhari-hari oleh segerombolan debt collector berbadan kekar. Ayu lolos. Tapi ternyata bisnis memang tidak ramah. Ayu masih dihadapkan dengan sejumlah permintaan para pejabat: perempuan dan uang. Ayu tidak tahan lagi. Bagaimana mungkin Ayu mengeluarkan uang untuk membeli jasa sex dari sesamanya wanita, lalu disodorkan pada para pejabat hidung belang itu, agar mendapatkan proyek baru?
Ayu mengundurkan diri. Beban itu terlalu berat baginya. Sekarang mau kerja apa? Tidak ada perusahaan yang mau menerima Ayu dengan Curiculum Vitae setinggi itu. Ayu jadi pengangguran. Uang tabungan habis. Kedua anaknya terpaksa menunggak sekolah. Si Adik masih lumayan, pihak yayasan mengijinkan menunggak uang sekolah hingga sebelas bulan. Harus dilunasi saat kenaikan kelas. Tapi si Kakak? Hanya diberi waktu tiga bulan. Atau dikeluarkan dari sekolah.
Berkali-kali Ayu menerima Surat Peringatan dari sekolah sehubungan dengan tunggakan tersebut. Ayu kembali bekerja keras. Apa saja dikerjakan asal halal. Tidak jarang cibiran datang dari lingkungannya. Para wanita yang menuduhnya hendak merebut suami orang. Dan para pria yang mencibirnya saat Ayu menolak sex dengan imbalan nafkah. “Kamu ini perempuan nggak punya suami, miskin, tapi sok jual mahal tidak mau tidur sama saya” katanya. Sementara yang wanita saling berbisik,”hati-hati sama Ayu, nanti suamimu bisa naksir dia”. Apa boleh buat, itulah yang mendera selama ini. Persepsi negatif bagi seorang ibu tunggal.
Tidak ada yang bersimpati dengan tulus, paling banter mau menolong asal mau dipoligami. Menolong saja pakai minta imbalan sex. Dibungkus dengan dalih agama mengijinkan. Sisanya, menjadikannya objek tertawaan. Begitu banyak humor-humor yang mendiskreditkan janda sampai kepadanya. Apakah hidup bagi Ayu mudah? Tidak. Cemoohan, cibiran, dan tertawaan bertubi-tubi menimpanya.
Hari ini Ayu berbahagia. Usaha yang dirintisnya berjalan dengan baik. Karyawannya mulai bertambah. Anaknya yang sering hampir dikeluarkan dari sekolah bisa lulus dengan nilai terbaik dan mendapat beasiswa melanjutkan ke sekolah berikutnya.
Tuhan tidak tidur. Dia baik. Ayu masih dalam kesehariannya. Masih dihindari teman-teman wanitanya. Masih diajak tidur teman-teman prianya, namun dicibir juga. Masih ditawari jadi istri poligami. Biar sajalah mereka. Para wanita yang galau. Hubungan tidak harmonis dengan suami, namun menyalahkan pihak luar. Dan para pria yang serakah, tidak merasa cukup punya istri satu. Menganggap perempuan bisa dibeli dengan nafkah.
Ayu tidak perduli, terus berjuang di tengah hidup yang keras ini. Demi anak-anak agar bisa sekolah. Entah dimana suaminya. Semoga, suatu saat Ayu mendapatkan pendamping, yang menghargainya sebagai wanita seutuhnya.
Note: Mohon maaf jika ada kesamaan perilaku dengan anda
-Esther Wijayanti -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H