Tidak sengaja menguping sebuah dialog sebagai berikut:
Nyonya A: Hai, kamu datang ke pernikahan si Anu?
Nyonya B: Datang dong, nggak enak lah kalau nggak datang.
Nyonya A: Jadi kamu turut mendoakan pernikahan mereka? Saya tidak datang, karena dia menikah dengan wanita yang sudah pernah bercerai.
Nyonya B: Memangnya kenapa?
Nyonya A: Dengan menghadiri pernikah seseorang dengan orang yang pernah bercerai, itu sama saja merestui perzinahan yang dia lakukan dengan istrinya itu. Karena kita tidak mengenal perceraian, dengan demikian pernikahan kedua sama dengan perzinahan seumur hidup dengan pasangan sahnya.
Bagaimana pendapat saya mengenai pembicaraan tersebut?
Respon awal saya mengenai dialog ini adalah: Nyonya A telah menjalankan fungsi sebagai Pendakwa, dan mengajak orang lain untuk turut serta menjadi Pendakwa sesamanya.
Ajaran Kristen hanya memiliki 2 hukum paling utama yang disebut Hukum Kasih:
1. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap kekuatanmu, dan dengan segenap akal budimu.
2. Kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri.
Kedua hukum itu, jika tidak dilakukan dapat mendatangkan dosa / kematian kekal.
Dalam hukum kasih, kita harus memposisikan diri sebagai orang lain. Bagaimana kita memperlakukan diri kita, bagaimana kita menghargai diri kita, bagaimana kita menyayangi diri kita, demikianlah yang seharusnya kita lakukan untuk orang lain.
Dalam perjalanan membina rumah tangga, sering kali kita menghadapi berbagai masalah. Mulai dari masalah kecil hingga KDRT. Tidak jarang yang berujung pada perceraian. Hancurnya rumah tangga diistilahkan sebagai GAGAL membina rumah tangga. Bukan DOSA membina rumah tangga. Karena kegagalan bukanlah dosa. Tidak ada di seantero logika manusia, dan statement para nabi, bahwa gagal adalah dosa.