Francis Bacon dikenal sebagai sebagai salah satu bangsawan Inggris yang hidup di abad 15-16 dan kemudian terkenal juga sebagai seorang yang mendedikasikan hidupnya untuk mendaftarkan sejumlah penemuan dan membuka jalan pada lembaga ilmu pengetahuan yang menandai kebangkitan era Modern di Inggris. Dia dikenal lahir dari suami istri bangsawan yang menguasai banyak bahasa, dan lahir bertumbuh menjadi sosok politisi meski kemudian dalam karirnya selama 40 tahun meredup karena tuduhan, dan dikenal juga menulis beberapa risalah teologi sebelum kematiannya karena radang paru-paru.
Bacon hidup di dalam tekanan Inggris untuk menjadi yang terdepan dalam ilmu pengetahuan dan pemikirannya berkembang menghadapi keraguan dan sinisme terhadap ilmu pengetahuan karena Pencerahan  dan masa Reformasi Gereja membuat semua yang sifatnya mengembalikan kebijakan pada gereja yang berdasarkan independensi teks Kitab Suci. Ini menjadi latar belakang Bacon yang prihatin atas ketidakseimbangan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman hidup mengalahkan akal budi. Meski, dia juga sadar akal budi tak bisa berlawanan dengan pengalaman karena pengalaman adalah fakta yang menguji pengetahuan.
Ada banyak yang salah paham pada Bacon. Atas teori induksinya yang terkenal, yang mencoba menyeimbangkan empirisme dan akal budi atau rasionalitas sama kuat, sebagai agama sekuler. Padahal teori induksi Bacon justru memberi landasan kuat pada kritisisme sebagai opsi untuk menguji sebuah ilmu termasuk teologi sehingga dalam ranah lapisan ketiga, teologi diberi bangunan yang kuat dan efektif.Â
Pertama kali saya mendengar tentang bagaimana induksi dilakukan dalam teori Bacon, saya juga menguatirkan hal yang sama; khususnya ketika bicara spiritualitas. Hidup dalam algoritma khususnya di zaman di mana data menjadi sesuatu yang hidup, dibicarakan, ditelusuri, dimanipulasi, dan juga diwaspadai meski juga menjadi aset untuk membentuk dan mengokohkan peradaban, saya merasa kuatir generasi Z yang sekarang hidup dalam multiverse makin mungkin mengarahkan diri mereka pada ateisme atau non spiritualis. Salah satu hipotesa yang terkenal dari Bacon adalah jika X bukan Y maka, berarti Y ada. JIka ini kemudian diarahkan pada keyakinan akan Tuhan, maka kita akan menguatirkan banyak orang berpikir: jika mungkin tidak ada Tuhan, maka berarti Tuhan tidak ada. Meski kemudian saya menarik nafas lega, karena salah satu elemen dari induksi Bacon adalah pengujian berulang baik itu melalui teori, maupun melalui keyakinan atau ortodoksi publik, hipotesa pun bisa dipakai berkebalikannya, jika memang ada teori Tuhan di antara ateisme, berarti Tuhan itu ada.Â
Ini mungkin menjadi kegelisahan milenial sekarang, yang berusia di 30-40 an. Dengan anak-anak mereka yang sudah hidup dalam generasi penuh kemudahan dalam mengakses informasi, kemungkinan Gen Z makin skeptis dengan iman jadi lebih besar. atau bisa juga tidak. Â Dan saya pikir ini bukan salah atau kekurangan Bacon, justru sebaliknya dengan biji sesawi yang dia tanam, meski dia tidak berbakat dalam menguji eksperimennya sendiri yang paling awal dan satu-satunya, dia sudah menanamkan sebuah teori baik untuk manusia makin kritis pada apa pun yang dia yakini.Â
Menarik bahwa dengan pola repetisi dalam induksi Bacon melalui eksperimen dan observasi terus menerus, kita bisa membangun kehidupan pedagogik yang memunculkan daya eksperimental dan akal budi yang berkelindan. Komunitas ilmiah dan etika ilmu yang kemudian menjadi mimpi dan cita-cita Bacon kiranya bisa menjadi harapan besar kita akan kemanusiaan yang utuh sebagai sebuah Royal Society. Dalam masyarakat yang terus membangkitkan dan menafsir ulang ini, saya mengingat apa yang Bacon asumsikan tentang Adam, yang dalam teori induksinya bukan saja mampu memberi nama-nama pada binatang melainkan juga memiliki kuasa untuk mengenali potensi tersembunyi dalam diri ciptaan dan mengeksplorasi demi pengetahuan yang berdaya guna.Â
Dalam daya kritis yang ditumbuhkembangkan dalam Gen Z sekarang, sebagai sebuah generasi yang terbiasa menerima data berlimpah, kiranya kesadaran diri terus ditumbuhkan dengan penanaman nilai belas kasih dan kerendahan hati. Dalam ini, spiritualitas dan pendidikan memainkan peran yang penting. Sehingga kesadaran diri ini akan membuka jalan pada terpenuhinya mimpi Gen Z untuk membuat dunia yang sejahtera dan berkurang penderitaannya, sebuah konsep yang lahir dari sensitifitas dan kegelisahan generasi ini dengan semua dampak dari generasi sebelumnya yang mereka rasakan sekarang, baik dalam iklim, Â kesehatan mental dan masa depan dunia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H