Mohon tunggu...
Dina Esterina
Dina Esterina Mohon Tunggu... Lainnya - Pendeta di Gereja Kristen Pasundan. Podcaster dan blogger. Senang nulis dan baca.

Tertarik menyororot dan menautkan makna hidup sebagai seorang yang spiritual dengan berbagai fenomena yang ada di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Selisik Pendeta sebagai Manusia dan Pembangunan Gereja

7 Mei 2023   22:57 Diperbarui: 7 Mei 2023   23:17 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 "Hal yang benar-benar sulit dan benar-benar menakjubkan, adalah berhenti menjadi sempurna dan mulai berupaya menjadi diri sendiri" - Anna Quindlen

Waktu menulis ini saya selesai mendengarkan ceramah 15 menit seorang Frances Frei, Profesor Teknologi dan Manajemen Operasi di Sekolah Bisnis Harvard yang menyampaikan tentang membangun dan membangun kembali rasa percaya. Mendengarkannya membuat saya merinding sehingga saya langsung mengambil laptop memutar beberapa lagu bertemakan kasih akan diri yang ada di Spotify Playlist saya. Dan kemudianlah saya mencoba merenungkan apa yang tak mudah yang harus dilalui seorang pendeta, dari mulai dia beritikad jadi pendeta sampai dalam tugas-tugas akhirnya. 

Omongan Frei sungguh memicu keheranan saya dengan betapa beratnya seorang pendeta menjadi dirinya sendiri. Dan, ini semua seringkali dihubungkan dengan ketidaksanggupan komunitas untuk menerima segala keunikannya dengan memberi segudang label kepemimpinan yang kadang-kadang gak masuk di akal karena tak jelas parameternya.

Jadi pendeta, menjadi sebuah pekerjaan profesional yang tidak mudah. Waktu saya mencari di mesin pencari, kata kunci pastor mental health, yang keluar kebanyakan adalah jurnal dari website asing yang nampak jujur dan gamblang bicara soal kesehatan dan dukungan mental bagi para pastor dan pendeta, namun ketika saya mengganti kata kuncinya dalam bahasa Indonesia dengan kesehatan mental pendeta dan rohaniawan, yang keluar hanya kumpulan jurnal-jurnal, yang tak membahas soal diri pendeta, melainkan lagi-lagi kerjaan para pendeta. Kelihatannya di Asia atau mungkin di Indonesia, pendeta atau rohaniawan dianggap mahluk setengah dewa yang memiliki level kebahagiaan tertinggi dan terstabil. 

Mereka dianggap punya kekuatan lebih dari manusia lain untuk tak pernah terluka dan sakit. Tak menganggap emosi hadir dalam diri. Siap mengatakan saya melayani anda selama 24 jam dan tak boleh mengakui segala keunikan dalam diri yang hadir karena dia lahir dari seorang wanita dan pria biasa serta dibesarkan dalam lingkungan yang mempengaruhinya baik atau buruk. 

Mungkin, semua pelecehan dan trauma yang dialami oleh pastor dan rohaniawan pun harus disimpannya rapat-rapat demi citra tanpa masalah. Sebab, jika pendeta ketahuan tanpa masalah maka tak ada orang bermasalah yang bersedia dibereskan masalahnya. Padahal, tak mungkin seorang pendeta bisa membantu umat menyelesaikan masalah, jika masalah-masalah dalam dirinya sendiri tak pernah selesai. 

Brene Brown adalah salah seorang penulis dan periset serta profesor yang sangat saya sukai karena konsep yang ditawarkannya mengenai kelenturan. Dia mengatakan dalam masalah yang sangat berat yang dihadapi manusia sekarang ini, satu-satunya cara untuk menjadi lentur dan tahan berjuang adalah dengan menerima kerapuhan dan ketidaksempurnaan diri. 

Hal yang bisa kita lakukan dalam rangka menerima diri adalah berbelas kasih pada diri sendiri. Dan berhenti mematok diri kita harus jadi seperti orang lain. Dan kemudian, saya kembali mengingat cabang-cabang rasa percaya yang berusaha diingatkan oleh Frances Frei dalam pidatonya di Ted. Dia mengatakan bahwa rasa percaya yang dibangun dan jadi kunci kesuksesan sebuah organisasi kemampuan untuk menciptakan penerimaan akan otentisitas atau keunikan seseorang. Dalam hal ini mengenali seseorang ketika dia berani menunjukkan perbedaaannya dan sebagai pemimpin dalam komunitas bersedia menerima diri yang berbeda itu sebagai sebuah respon logis sehingga dengan mudah empati hadir secara komunal dan akhirnya ada rasa percaya yang hadir sehingga kinerja organisasi jadi baik dan bertumbuh kembang.

Apa yang Frei sampaikan ingin saya kaitkan jati diri kependetaan dan fungsi perannya dalam organisasi gereja. Menurut saya penting bagi gereja untuk memproyeksikan bagaimana seorang manusia yang bermaksud melayani Allah dan Gereja ditahbis menjadi seorang pelayan. 

Dalam banyak percakapan, saya kerap mendapati nostalgia berisi harapan yang ambisius dari jemaat terhadap pendeta. Misalnya, pola pendekatan seorang pendeta ke jemaat. Seberapa dalam ia mengenal jemaat. Bagaimana berwibawanya dia, dan cara dia berbicara. Semua parameter ini sangat subyektif dan kurang realistis. Kenapa? Karena semua orang bisa menyukai orang lain menurut seleranya. Contoh, meski logika semua orangtua senang sosok berwibawa dan pendiam, tak semua orangtua juga sebal dengan pendeta yang grecekan dan enerjik. Maka, parameter-parameter penampilan ini jika dijadikan keharusan untuk ukuran kedirian seorang gembala atau pemimpin akan menjadi beban dan menghambat sang pemimpin menjadi dirinya sendiri. 

Opsi alernatifnya adalah kepemimpinan yang didasari oleh spiritualitas sang pemimpin sendiri. Yang merupakan kombinasi dari kesadaran diri dan kesanggupan menerima diri dengan semua kesalahan dan prestasi, kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah, dan kemampuan berkolaborasi dan berelasi dengan orang lain, yang didasari oleh rasa percaya dan itikad baik menerima perbedaan setiap individu. 

Rasa aman inilah yang mesti ditumbuhkan dalam diri. Rasa aman yang dihadirkan dari lingkungan sebuah komunitas. Apakah komunitas kita cukup menghadirkan rasa aman untuk menerima seseorang dengan semua pilihan logis yang diambilnya dalam kehidupan? Ada beberapa komunitas Kristen yang lebih tertarik untuk menerima perbedaan yang dengan berani dikemukakan oleh pemimpin-pemimpin agama yang bersedia untuk menjadi berbeda. Para pemimpin agama yang percaya bahwa dirinya layak untuk diterima dan didengar sepenuh hati karena dia percaya penuh pada kemampuan dan jati dirinya. Lalu, komunitasnya juga bersedia menerima dan mendengarkan dan tidak memandang sebelah mata. Lebih tertarik pada logika yang ditawarkan daripada sekadar penampilan dan cara bicara yang terkesan menutupi untuk memuaskan pendengar. 

Akibatnya apa jika komunitas yang seperti ini menerima perbedaan atau keunikan itu? Maka seperti yang Frei sampaikan, rasa percaya pun timbul. Komunitas asli akan menghasilkan para pemimpin yang asli. Sebaliknya, komunitas yang hanya ingin dirayu dan disenangkan akan mendapatkan orang-orang yang pandai menyembunyikan diri dan penuh dengan kepalsuan sehingga hubungan tak akan dilandasi percaya. Bisa dibayangkan jika sebuah komunitas tak dihidupi dengan percaya? Maka, ikatan itu akan memudar. Jangankan bertambah jumlah, yang ada berkurang. Dukungan finansial berkurang. Penipuan marak terjadi. Orang-orang baik enggan hadir dan memberikan kontribusi dan makin hancurlah organisasi. 

Gereja adalah organisasi yang organis. Isinya manusia tapi memerlukan pengaturan dan perencanaan. Maka, mestinya sisi pengembangan kemampuan manusia sebagai para pelaku organisasi harus menjadi opsi utama dalam pengembangan komunitas. Ada gereja yang dicap sebagai gereja manajemen, namun jika kita lihat lebih mendalam dalam kesungguhannya mengatur perilaku organisasi, bisa dilihat kematangan spiritualitas dan landasan teologis gereja itu. Sebaliknya, ada gereja yang merasa tidak perlu meningkatkan SDM dan menyelesaikan masalah organisasi dan memakai embel-embel itu tidak rohaniah, pada akhirnya malah memiliki banyak masalah dalam mengatur para pemimpin karena ketiadaan proyeksi dan ketidakkonsistenan prinsip kerja dan organisasi. 

Martin Luther berkata dunia ini adalah panggung kemuliaan Allah. Pendeta adalah seorang teolog yang mesti terus menyampaikan ketegangan yang dulu, sekarang dan nanti serta bagaimana Firman Allah terus jadi relevan dan berdampak. Maka, dia sendiri harus menjadi siap dan mesti mencapai level aktualiasasinya sebelum dia mendorong umat. Supaya juga seorang pendeta dapat terus berbelas kasih pada umat sejalan dengan belas kasih yang terus dia tujukan pada dirinya sendiri. 

Semoga, tulisan unfaedah ini, memantik saya untuk terus merumuskan konsepsi berikutnya dalam merumuskan kultur organisasi yang mesti dikembangkan dan pengembangan sdm rohaniawan yang ada di gereja. Sebagai pendeta juga saya terus terang merasa tidak mudah menerima diri dan berkali-kali memutuskan mundur. Namun seorang sahabat, pernah berkata bahwa diri saya ini masih dibutuhkan setidaknya oleh diri saya dan orang-orang terdekat saya, dan dari situlah saya belajar untuk berjalan selangkah demi selangkah untuk menguliti lapisan-lapisan keindahan dalam pikiran dan kedirian saya. 

Semoga saya bisa jadi rekan seperjalanan yang dimampukan menolong rekan-rekan yang sekarang sedang berproses menempuh tahbisan mereka. Saya yang rapuh. Namun inilah saya, diri saya. sebagaimana adanya saya. Dan saya berharap mereka pun bisa memahami pentingnya tak terlalu terbebani dengan dunia, akan seharusnya jadi apa mereka. 

Mari juga wujudkan komunitas yang berani mendengarkan dan menerima orang dengan segala perbedaannya, dengan keasliannya, agar anda pun mendapatkan orang-orang yang asli dan bisa dipercaya dalam hidup anda dan komunitas anda!

"Kamu bisa kehilangan semua, tapi kamu gak boleh sampai kehilangan dirimu sendiri"- Dina Esterina

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun