Pendahuluan:
Kata slum area mungkin masih terdengar asing di telinga masyarakat. Slum area atau biasa dikenal sebagai permukiman kumuh merupakan kondisi permukiman dengan kualitas buruk dan tidak sehat, serta  dapat menjadi sumber penyakit epidemik yang menular ke wilayah lainnya (UN HABITAT, 2010). Kawasan kumuh dapat muncul akibat dari keadaan tidak seimbang antara kebutuhan tempat tinggal dengan pertumbuhan penduduk, dimana penduduk terus bertambah sedangkan luas wilayah tetap atau tidak bertambah. Kawasan kumuh biasanya dihuni oleh masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi relatif rendah.
Kota Kupang, salah satu ibukota Provinsi di Indonesia, tidaklah lepas dari permasalahan permukiman kumuh. Salah satu kelurahan di Kota Kupang yang menjadi wilayah slum area adalah Kelurahan Alak. Kelurahan Alak dan sekitarnya diidentifikasi sebagai dampak tempat pembuangan akhir (TPA) terhadap kawasan sekitar.  Dampak ini  berkaitan dengan debu dan ceceran sampah plastik serta kumuhnya suatu tempat akibat aktivitas pemulung (Neonufa & Tualaka, 2020).
Berdasarkan survei yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2022, Kota Kupang dinilai sebagai kota terkotor pada kategori kota sedang dengan penilaian pada Kebijakan Strategis Daerah (Jaktrada), operasional TPA, dan ruang terbuka hijau. Salah satu permasalahan sampai sekarang yang belum optimal penanganannya yaitu operasional TPA Alak di Kota Kupang (Ndoloe, 2024).
Isi:
TPA Alak merupakan tempat  pembuangan  sampah  akhir yang  berada  di  Kelurahan Alak  Kota Kupang dan  telah beroperasi  sejak tahun  1998 (Neonufa & Tualaka, 2020). Model pengoperasian TPA ini  tidak  melewati  proses pemilahan  terlebih  dahulu sehingga sampah-sampah ini langsung dibuang  ke lokasi  penumpukan  sampah.  Kondisi ini tentunya berpotensi  menimbulkan  beberapa dampak  seperti kebisingan,  banyaknya ceceran  sampah,  debu,  bau,  gas, air leachate (air limbah), dan  organisme vektor penyakit seperti lalat, tikus, dan nyamuk yang akan menimbulkan gangguan kesehatan.  Selain itu, kondisi  seperti ini juga  akan menimbulkan polusi air, tanah, dan udara serta berbagai dampak bagi masyarakat di kawasan  sekitar TPA. Contoh kasus yang terjadi akibat kurang optimalnya pemberdayaan kawasan kumuh di Alak yaitu kebakaran TPA Alak di bulan Juli lalu. Kebakaran ini mengakibatkan polusi udara dan keresahan pada beberapa kelompok masyarakat. Dampak asap yang ditimbulkan akibat pembakaran sampah mempengaruhi pernapasan masyarakat khususnya balita, anak-anak, dan para lansia. "Akibat dampak itu, tadi malam ada sekian banyak warga yang harus mengungsikan anak-anak mereka yang balita serta orang tua yang usia lanjut" ujar Jibrael dikutip dari detikbali (16/07/2024).
Menurut warga setempat, kejadian kebakaran ini telah terjadi bertahun-tahun yang membuktikan bahwa pemerintah itu tidak serius menangani persoalan TPA ini. Lantas, apa yang harus dilakukan selanjutnya? Apakah kita harus mendengar suara masyarakat untuk berhenti membuang sampah di sana? Lalu dibuang kemana sampah-sampah tersebut? Untuk mengatasi hal ini, perlu dikaji lebih dalam terkait kebijakan pembuangan sampah di sana dan pembentukan kesadaran masyarakat.
Pada dasarnya, penanganan dan pengelolaan sampah tidak cukup didukung oleh teknologi, sarana prasarana, dan dana yang memadai. Pertama, hal mendasar yang paling penting adalah kesadaran dan partisipasi seluruh komponen masyarakat. Persoalan sampah bisa berkurang jika pemerintah bersinergi dengan masyarakat serta memberikan porsi yang semakin meningkat untuk berperan aktif dalam pengelolaan sampah. Usaha untuk meningkatkan kesadaran dapat dilakukan dengan sosialisasi langsung kepada masyarakat terkait jam pembuangan sampah, usaha pengurangan sampah melalui 3R (Reduce:Â mengurangi, Reuse:Â menggunakan kembali, dan Recycle:Â mendaur ulang), pengurangan sampah plastik, dan pemilahan sampah di rumah tangga sebelum dibuang ke TPA. Adapun pemberian tugas pada beberapa petugas sampah sebagai bentuk usaha peningkatan penanganan sampah. Petugas pengangkut sampah pada rute tertentu masuk dalam tim siaga dengan penambahan tugas, sehingga ketika ada keadaan mendesak seperti melonjaknya timbunan sampah di rute lain yang membutuhkan tenaga tambahan, maka petugas pengangkut di lokasi tersebut akan menghubungi pengawas lapangan untuk mengerahkan tim siaga.
Kedua, perlunya kebijakan atau program seperti kegiatan usaha pengelolaan sampah di sekitar TPA. Kegiatan seperti ini dapat menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk menjadi tenaga kerja/karyawan pada tahap operasi TPA. Terbukanya peluang ini dapat membentuk persepsi masyarakat menjadi positif terhadap pengelolaan sampah. Contohnya dapat dilihat dari beberapa kelurahan yang telah mengelola sampah menjadi pupuk kompos dan beberapa sekolah yang telah mendaur ulang sampah menjadi produk kerajinan. Kegiatan ini tentunya dapat membantu peningkatan pendapatan masyarakat di sana. Kemudian, terkait dengan penataan kawasan kumuh sekitar TPA, perlu adanya buffer atau penyangga yang berfungsi untuk mencegah atau mengurangi dampak pencemaran lingkungan akibat kegiatan-kegiatan TPA. Penataan kawasan sekitar TPA Alak dapat disesuaikan untuk kondisi pemukiman penduduk dengan tingkat kepadatan rendah dan sedang, sesuai dengan Peraturan Menteri PU No. 19 PRT/M/2012 Tentang Penataan Ruang Kawasan Sekitar TPA Sampah.
Hal berikutnya yang perlu diperhatikan ialah anggaran yang terbatas. Dalam mengatasi permasalahan anggaran penanganan sampah yang menurun setiap tahunnya, dinas setempat dapat mengupayakan melalui usulan penambahan anggaran kepada Pemerintah Kota Kupang. Hal ini terbukti dengan menambahnya alokasi anggaran pada tahun 2023 yang awalnya pada dokumen DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) sebesar Rp.730.860.420 menjadi Rp.4.680.860.420 (Ndoloe, 2024). Kedepannya, dinas setempat dapat berupaya mengusulkan penambahan anggaran yang dikhususkan untuk penambahan sarana prasarana penanganan sampah serta penambahan dan operasional pemeliharaan kendaraan pengangkut sampah.
Kesimpulan: