Sekitar tahun 2000-an NTT diserbu sejumlah koran harian. Selain Pos Kupang ada beberapa yang lain. Semuanya sudah “almarhum”. Ramai memang. Satu (1) berita dibidik banyak pihak. Masing-masing dengan sudut pandangnya. Informasi dari narasumber yang sama menjadi kisah berbeda pada tiap koran. Berita dikemas sesuai versi wartawan dari berbagai media.
Saya sendiri pernah terlibat dalam 2 dari sejumlah koran lokal itu. Masing-masing tidak genap 1 semester. Saya bekerja keras. Tapi tidak bertahan. Mengirim 4 berita per hari masih sanggup. Honorarium yang diperoleh tidak cukup untuk makan sebulan. Ada alasan lain.
Yang saya syukuri, dengan menulis 4 berita tiap hari saya lebih terampil. Setelah pastikan tema yang cocok, jari-jemari pasti lancar mengetik hingga beberapa paragraf. Kadang lebih dari 1 halaman. Puas. Serasa di surga. Apalagi mengenang masa sebelumnya mengirim artikel ke majalah berskala nasional seperti Mingguan Katolik HIDUP atau Kantor Berita Katolik Asian (UCANews), tidak semua yang dikirim dimuat. Dimuat pun redakturnya telah mengedit amat ringkas. Dengan angle yang berbeda, jauh dari yang saya bayangkan.
Semuanya menjadi pembelajaran. Maka ketika Atambua juga “demam” menerbitkan sejumlah koran lokal, di hampir semuanya ada nama saya. Segala keterbatasan digunakan lebih maksimal. Pembaca beri komentar positif. Walau jauh dari sempurna, saya telah belajar banyak dari banyak orang.
Tidak satupun koran lokal bertahan “hidup”. Bertunas, lalu layu sebelum berkembang. Manajemen keuangan jadi masalah pelik. Pemilik koran ingin kenyang sendiri. Biaya cetak pun habis dilahap. Jelang edisi berikut harus mengemis dana. Entah karena kodrat sesuatu yang prematur? Ini pun jadi pengalaman berharga.
Namun yang lebih unik bagi saya adalah soal mengedit berita. Pernah terjadi, redaktur mengubah berita saya di salah satu harian lokal. Demi etika, frase yang saya gunakan “oknum tidak terpuji”. Tapi ketika koran beredar, frase itu sudah menjadi “petugas kurang ajar”. Saya kaget, sempat stres. Bagaimana kalau saya diinterogasi balik? Hampir sepekan saya gugup. Tidak ada gairah mengejar berita. Kemana-mana was-was. Jangan-jangan ada yang complain. Ini juga menjadi alasan mengapa saya berhenti.
Belum lama ini hal sebaliknya terjadi. Seorang rekan menulis ke media online. Diduga, awalnya ia menulis di status facebook. Nama orang tidak ditulis. Banyak komentar berdatangan. Penuh amarah karena isu menjual tanah bersejarah. Kata-kata pedas. Menyudutkan. Menyakitkan. Menghancurkan. Tidak ada sopan santun, padahal terhadap pimpinan agama.
Komentar-komentar yang keras menjadi sumber berita ke media online. Obyektifitas belum ditemukan. Rumor. Tidak ada konfirmasi pula. Wah, luar biasa hebatnya sang penulis. Tokoh agama bergelar master di luar negeri pun terpancing emosi. Mereka mencaci maki pimpinan agamanya sendiri.
Terlepas dari benar-tidaknya isu yang beredar, etika jurnalistik dilangkahi. Sopan santun tidak tersisa di hatinya. Aneka tanggapan lanjutan pun tidak terkontrol. Masalah yang sebenarnya belum diketahui pasti.
Sebuah Refleksi Pribadi
Sudah menjadi pedoman klasik, apa pun yang menjadi berita adalah sesuatu yang unik. Obyektifitas dijunjung tinggi. Jika kasuistis, keseimbangan informasi pro-kontra perlu diupayakan.