Di zaman sekarang ini, bidang kesehatan telah semakin bergerak menuju kearah yang lebih baik. Mulai dari terciptanya alat- alat kesehatan yang canggih hingga dengan pelayanan kesehatan yang semakin mumpuni. Pembangunan kesehatan melalui pelayanan kesehatan kini gencar dilakukan dimana pelayanan kesehatan yang dilakukan tidak hanya sekadar pelayanan biasa karena tujuan dari pelayanan kesehatan adalah untuk memenuhi kebutuhan individu atau masyarakat dalam mengatasi, menetralisasi atau menormalisasi semua masalah maupun penyimpangan kesehatan yang ada di masyarakat. Undang- Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pasal 1 Ayat 12- 15 menjelaskan mengenai jenis- jenis pelayanan kesehatan diantaranya pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Akan tetapi, masih banyak masyarakat yang belum bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dengan baik dan berkualitas. Hal tersebut dikarenakan mahalnya biaya kesehatan yang diberikan sehingga banyak masyarakat yang memilih untuk tidak berobat. Mahalnya biaya dalam bidang kesejahteraan ini sejalan dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih dan membutuhkan biaya besar untuk mengoperasikannya. Oleh karena itu, pemerintah mencari cara lain dalam mengatasi masalah pelayanan kesehatan yang buruk, salah satunya yakni dengan menggunakan pajak rokok dan bea cukai.
Berdasarkan data publikasi oleh Food and Agriculture Organization, selama dari tahun 2017 sampai dengan tahun 2019 disebutkan bahwa Indonesia menempati urutan 5 atau 6 besar negara dengan hasil tembakau terbesar di dunia dengan nilai 181.142 ton d tahun 2017, 195.482 ton di tahun 2018, dan 197.250 ton di tahun 2019. Melihat besarnya produksi yang dihasilkan, membuat para produsen rokok memberikan kenaikan tarif cukai dan pajak rokok yang besar untuk menekan penggunaan rokok di Indonesia. Namun, masih tetap banyak masyarakat yang merokok sehingga dari pendapatan pajak dan cukai tersebut didapatkanlah dana penunjang kenegaraan yang besar.
Kenaikan tarif cukai hasil tembakau tiap tahun dan pemanfaatan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) sesuai dengan amanat Undang- Undang tentang Cukai serta RPJMN 2020- 2024 yaitu menekan konsumsi rokok dan mengoptimalkan penerimaan negara. Maka dari itu, tujuan pemanfaatan DBH CHT ini seharusnya dapat digunakan untuk membiayai sektor lainnya seperti sektor kesehatan. Namun, ada beberapa hambatan serta pertimbangan yang menampilkan berbagai kontra dalam penggunaan biaya kenaikan bea cukai dan pajak rokok sebagai penambah maupun penunjang biaya kesehatan di Indonesia.
Mengutip data dari Peraturan Menteri Keungan Nomor 215/PMK.07/2021, disebutkan bahwa desain kebijakan dana bagi hasil cukai hasil tembakau adalah 50% untuk kesejahteraan masyarakat, 10% untuk penegakan hukum, dan 40% untuk kesehatan. Pertama, setelah mengetahui hal itu, kita pasti berpikir apakah dana yang telah diakumulasikan itu cukup untuk memenuhi atau mencapai semua target yang telah ditetapkan? Seperti 50% hasil cukai tembakau dimanfaatkan bagi bidang kesejahteraan masyarakat, tetapi nyatanya masyarakat Indonesia masih memiliki kesejahteraan hidup yang rendah dan begitu juga dengan bidang lainnya termasuk dengan kesehatan. Itu artinya kita tidak bisa menjamin bahwa hasil cukai tembakau ini cukup untuk mengatasi permasalahan di bidang kesehatan ataupun bidang lainnya. Jadi, penggunaan dana hasil bea cukai dan pajak rokok ini sebaiknya digunakan untuk bidang pembangunan lainnya sehingga hasilnya terlihat lebih jelas dan transparan.
Kedua, kita tahu bahwa di sekitar kita masih banyak masyarakat yang merokok walaupun harga rokok sudah melambung naik dan terkesan lebih mahal dibandingkan barang-barang lainnya misalnya bahan- bahan kebutuhan pokok. Ditelaah dari sumber data terkait peningkatan prevalensi merokok dari riset kesehatan dasar (Riskesdas) untuk penduduk mulai umur 10 tahun di tahun 2018 mencapai 29,3%, dimana pada tahun 2013 datanya hanya mencapai angka 28,8%. Prevalensi merokok pada usia 10-18 tahun adalah 1,9%, dimana terjadi peningkatan mulai tahun 2013 sebesar 7,2% menjadi 9,1% di tahun 2018 (Kementrian Kesehatan, 2021). Dari data ini, saya dapat beropini bahwa sebesar apapun nilai harga rokok ditingkatkan, data kenaikan prevalensi merokok pasti akan terus melambung naik. Tentu hal ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan bagi masyarakat pada usia rentang tersebut, dimana usia mereka seharusnya produktif justru malah menjadi tidak produktif. Hal ini didukung oleh data perhitungan Kementrian Kesehatan Melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kesehatan yaitu diperoleh angka sekitar Rp 4.180,27 triliun dari dampak kerugian akibat produktif yang menjadi tidak produktif. Besarnya dampak negatif yang dihasilkan menyebabkan kita sebagai pemerintah perlu mengkaji ulang apakah nilai dari pajak rokok dan bea cukai ini masih perlu dialihkan kepada sektor kesehatan?
Maraknya penggunaan rokok yang dampak negatifnya jauh melebihi dari manfaat yang diperoleh tiap tahunnya akibat penyakit yang ditimbulkan termasuk biaya yang dikeluarkan untuk pelayanan kesehatan tentu membuat kita sebagai masyarakat harusnya lebih sadar terhadap bahaya rokok yang ditimbulkan baik pengguna aktif maupun pasif karena tambahan biaya bea cukai dan pajak rokok yang didapatkan tentunya tidak cukup untuk menutupi masalah mengenai kesehatan yaitu pelayanan kesehatan yang didapatkan. Oleh karena kita tidak bisa berharap pada transparansi nilai pajak dan bea cukai, dapat kita simpulkan bahwa nilai tambahan dari kedua hal tersebut sebaiknya bisa dialokasikan untuk biaya tambahan bagi pembangunan lainnya selain bidang kesehatan khususnya pelayanan kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H