Seperti biasa, kalau mau menonton film Indonesia yang diadaptasi dari novel, saya selalu lihat-lihat dulu siapa sutradaranya. Karena seringkali, kalau sutradaranya berinisial HB, saya nyaris selalu kecewa. Bukan…bukan karena biasanya filmnya akan berbeda dengan isi novel (saya tipikal orang yang menghargai sebuah film adaptasi novel sebagai sebuah entitas yang berbeda dengan novelnya. Tidak bisa dibandingkan karena bagaimanapun mediumnya berbeda.), tapi karena menurut saya, HB seringkali gagal membawa roh atau jiwa dari novel yang diadaptasi.
Waktu pertama kali dengan novel “5 cm” diadaptasi ke film, saya agak harap-harap cemas…ah jangan-jangan HB lagi sutradaranya (secara doi lagi kondang banget jadi spesialis sutradara film adaptasi novel), tapi begitu tahu sutradaranya adalah Rizal Mantovani, maka saya sumringah sekali. Karena setau saya, mau genre apapun, Rizal nyaris selalu berhasil membuatnya menjadi pas untuk dinikmati. Saya masih ingat, dulu saya pernah nggak bisa tidur seminggu setelah menonton film horor Jelangkung karya Rizal Mantovani dan Jose Purnomo. Saya nggak nyangka, Rizal yang spesialis sutradara video klip itu jago juga jadi sutradara film.
Feeling saya, sense seorang Rizal akan bisa membawa roh dari novel karya Donny Dirgantoro itu ke layar lebar. Secara doi sutradara klip yang oke banget, saya nggak sabar melihat pemandangan-pemandangan Gunung Mahameru dibidik dari kamera dengan point of view seorang Rizal. Dan feeling saya itu terbukti kemarin.
Kalau mau dibandingkan, jelas dari sisi sinematografi, kualitas gambar, dan semua visualisasi Mahameru, film jelas lebih berhasil daripada novelnya. Tapi satu yang membuat saya takjub, saya berani bilang bahwa Rizal bukan sekedar memindahkan jiwa dalam novelnya, tapi juga menyempurnakannya (padahal ini debutnya jadi sutradara adaptasi novel lho). Saya masih ingat, saat saya baca novel “5 cm” tahun 2004 lalu, dalam beberapa bagian, saya merasa sedikit bosan dengan cara bercerita sang penulis (walau saya tetap merekomendasikan novel ini sebagai novel yang sangat patut dibaca), tapi dalam film ini saya benar-benar hanyut.
Pertama, dari segi pemeran. Dari awal, tokoh Zafran yang diperankan Herjunot Ali (yang mana sudah lama sekali saya gilai) sudah sangat mencuri perhatian. Segala adegan kocak bersumber dari tokoh ini dan semakin klop dengan kehadiran Igor Saykoji yang “dapet” banget bikin ngakaknya. Padahal seinget saya, saya nggak se-ngakak itu pas baca novelnya.
Saya terpesona dengan tokoh Genta yang cocok sekali diperankan oleh Fedi Nuril, saya kaget tapi kagum dengan Denny Sumargo yang ternyata bisa akting juga, dan 2 tokoh cantik yang sempat saya remehkan cuma jadi ‘hiasan’ di film ini, Raline Shah (sebagai Riani) dan Pevita Pearce (sebagai Arinda) ternyata bisa melengkapi film ini dengan begitu baik. Sekali lagi, ini karena kualitas arahan Rizal.
Kedua, dari segi skenario. Setahu saya, sang penulis novel pun didaulat menjadi penulis skenario film ini dan menurut saya, cara berpindah dari satu adegan ke adegan lain di film jauh lebih mulus dan mengalir daripada di buku. Bagian-bagian membosankan yang saya rasa di buku sama sekali hilang. Well done Donny Dhirgantoro. Apalagi, sinergi antara dialog dan kemampuan akting pemeran-pemerannya terasa pas sekali. Lucunya dapet, dramanya dapet, harunya juga dapet.
Dan tentu saja dari segi cerita. Yang saya sangat suka dari ceritanya adalah, sang penulis bisa membuat saya kembali merenungkan lagi nilai-nilai kecintaan saya pada bangsa dan tanah air Indonesia. Saya sempat bertanya-tanya, kenapa film ini tidak dirilis bulan Agustus saja? Rasanya momennya begitu pas. Tapi sekali lagi, tokoh-tokoh dalam film ini memperlihatkan pada kita bahwa kalau kita cuma mengingat nasionalisme di saat-saat tertentu, rasanya kita perlu mempertanyakan lagi, apakah kita benar-benar cinta bangsa ini? (sedaaap)
Saya ingat kata-kata ian… “Gue nggak jadi ke Manchester ah…enakan juga di Indonesia…”
Diam-diam saya sepakat, betapapun keren dan menterengnya tinggal di luar negeri, Indonesia tetap nggak akan terusir dari hati…betapapun bobrok pemerintah dan sistem kehidupan di Indonesia, saya tetap nggak akan merasakan cinta sebesar cinta pada tanah air ini…
Hmm…. (tuh kaaannn kebawa demam 5 cm hihihi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H