Mohon tunggu...
Eko Sutrisno Hp
Eko Sutrisno Hp Mohon Tunggu... lainnya -

Blogger Goweser Jogja, owner Mie Sehati (http://miesehati.com).|.\r\n Anggota komunitas TDA, |.\r\n Blog pribadi http://eeshape.com Blogger Goweser!Runner.|.\r\nhttp://eeshape.com/ |\r\n eko.eshape@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Negeri 5 Menara dimana itu? Nobar bareng beBlog

15 Maret 2012   20:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:00 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://negeri5menara.com/

Pertanyaan yang muncul ketika membaca judul Novel/film "Negeri 5 Menara" adalah, dimana letak negara dengan lima menara itu? Sudah berkali-kali dicoba untuk mencari negara yang cocok ternyata tidak pernah cocok juga. Pertanyaan baru terjawab setelah menonton film itu. Sebelum nonton film "Negeri 5 menara", lebih dulu aku nobar film "Sampai ke Ujung Dunia", sebuah film yang kualitasnya boleh dikata di atas sinetron Indonesia, meskipun masih sedikit dibawah film Lima Menara. Seperti biasa, sebelum nonton bareng, lebih dulu asyik ngobrol tentang film yang diangkat dari sebuah novel. "Kalau kita belum baca novelnya dan nonton filmnya, maka bisa dipastikan mereka akan mengacungkan jempolnya" "Sebaliknya, bila sudah baca novelnya dan kemudian lihat filmnya, maka biasanya akan banyak protes keluar dari mereka" "Begitulah sunatullahnya. Saat ada seribu pembaca novel Lima Menara, maka akan tercipta seribu wajah Alif, seribu sekolah Madani dan seribu suasana kamar para santri, namun saat semuanya itu dijadikan sebuah film, maka hanya ada satu wajah Alif, satu sekolah Madani dan satu suasana kamar para santri" "Sutradara telah memaksa semua pembaca novel untuk melihat perwujudan dari apa yang ada di semua imajinasi para pembaca novelnya" Perbincangan seru itu akhirnya berhenti ketika waktu sudah menunjukkan jam tayang film. Setelah berebut masuk toilet, mulailah sajian film Lima Menara muncul. Penonton langsung disuguhi keindahan pemandangan di Sumatera Barat. Kualitas camera, sudut ambil camera dan obyek yang indah membuat pemnonton seperti tersihir masuk dalam alam Minangkabau. Bahasa awal film yang menggunakan dialek Minang membuat suasana terbangkit segera. Adegan penjualan kerbau sangat menarik, baik dari proses pengambnuilan gambarnya, pesan yang disampaikan dan akting Alif yang begitu pas. Perjalanan Alif terus bergulir sampai ke tanah Jawa dan film terus mengalir pelan, memberikan detil-detil pesantren, semua nafas kehidupan yang ada dalam pesantren. Yang belum pernah melihat pesantren jadi bisa sedikit membayangkan seperti apa yang disebut pesantren itu. "Guru di pesantren ini tidak dibayar? Lalu darimana mereka menghidupi dirinya sendiri?" Pertanyaan Alif itu tetap menjadi pertanyaan sampai di ujung cerita dan sutradara memang membuat pertanyaan itu menggantung dengan melakukan editing yang sangat bagus antara pulangnya ustadz favorit Salman dan jawaban pertanyaan itu. Adegan sederhana yang cukup menyentuh adalah saat Sang Kiai pimpinan pondok pesantren tidak mau disebut hutang barang, demi memenuhi tuntutan para santrinya. Sebuah contoh risiko demokrasi yang harus dipikul penuh tanggung jawab. Sayang para wakil rakyat kita mungkin kurang tertarik dengan adegan ini (semoga prasangkaku yang salah, astaghfirullah). Alif memang menjadi tokoh sentral film ini dan aktingnya sungguh patut diacungi jempol, meskipun Alif masih perlu peran lain untuk menunjukkan kemampuan aktingnya. Proses dari sebuah kebencian terhadap sebuah pesantren sampai akhirnya kecintaan akan sebuah pesantren diperankan dengan sangat pas oleh Alif.

Sisipan adegan gadis berjilbab main badminton sebenarnya bagus, demikian juga adegan kekalahan Lim Swie King sangat pas. Adegan lain yang cukup menarik adalah adegan Alif foto bertiga dengan dua gadis cantik. Adegan yang sangat natural dan manusiawi serta membuat penonton terkekeh-kekeh. Meski begitu, kalau saja sutradara mau mengorbankan adegan bagus itu untuk mengisi pra ending mungkin film ini akan menjadi lebih bagus lagi. Ada gap yang sangat terasa menjelang ending cerita. Penonton belum siap untuk menyaksikan Alif ketika menjadi seorang wartawan sukses. Ending cerita Lima Menara ini malah kalah menarik dibanding ending film "Sampai ke Ujung Dunia" yang secara keseluruhan masih kalah kelas. Sama-sama ending yang bisa ditebak, tetapi Lima Menara terasa sangat Hollywood banget endingnya. Harus berakhir bahagia !:-) Meski demikian, film ini masih sangat layak tonton sebagai film keluarga. Kecintaan seorang Ibu dan Ayah pada keluarganya patut untuk ditonton bersama oleh sebuah keluarga yang menginginkan pencerahan dalam keluarganya. Pencerahan tentang pesantren juga diucapkan oleh sang Kiai dengan jelas dan gamblang. Akhirnya, selamat menonton. +++ Gambar diambil dari sini dan dari sini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun