"Kenapa bapak pulang malam?", protes LiLo padaku. "Jalan macet nak, jadi gak bisa cepat pulang", jawabku sambil mencoba tetap tersenyum, meskipun badan rasanya capek dihajar kemacetan di depan pertamina Cikarang. "Kenapa tidak naik sepeda saja ke kantor, kan naik sepeda tidak kena macet", Lilo terus mengejar. "Wah bapak tidak kuat kalau harus naik sepeda dari Cikarang ke Cawang nak" "Kawan-kawanku bapaknya naik sepeda ke kantor. Bapak ikut B2W saja biar sehat !" "Yah...mereka kantornya kan di sekitar Cikarang, jadi bisa cepat pulang, biarpun naik sepeda. Kalau bapak naik sepeda dari Cawang, jam 12 malem baru nyampai di rumah nak..." Lilo terdiam mendengar semua penjelasanku. Aku lihat dia masih belum mau terima penjelasanku, tapi dia sudah males ngomong, jadi kulihat dia diam dalam kemarahan yang tertahan. Kupeluk erat Lilo dan kurasakan tidak ada pelukan balasan dari Lilo. "Ya Allah, jangan jadikan Lilo sebagai anak yang tidak bisa menerima keadaan ini. Mudahkan hati Lilo menerima kenyataan ini. Aku bukan bapak yang jahat dan semoga Lilo mengetahuinya" Perlahan-lahan kurasakan pelukan balasan dari Lilo. Aku tidak tahu apakah ini balasan doaku atau kesadaran Lilo memang sudah sampai pada taraf memahami perasaan bapaknya yang sangat mencintainya. "Percayalah nak, bapak selalu ingin cepat pulang dan bermain dengan Lilo" Alhamdulillah, akhirnya larut malam datang dan membawa angin syukur di keluargaku. +++ [caption id="attachment_279506" align="aligncenter" width="480" caption="Berdua terus kemana-mana"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H