" Gajah jinak ini biasanya diturunkan ketika tim melakukan penggiringan gajah liar agar kembali ke areal konservasi," kata Erwin saat berbincang dengan sejumlah anggota tim ekspedisi PWI Riau di Teso Nilo, Minggu (8/8/2021) pagi
Erwin pun menjelaskan seputar teknik penggiringan. Saat melakukan penggiringan, Mahot atau Pawang harus duduk di atas punggung gajah jinak yang terlatih kemudian mendekati kawanan gajah liar seraya menggiringnya kembali ke areal konservasi
" Saat melakukan penggiringan, Pawang harus memiliki nyali yang kuat. Kadang gajah liar itu menyerang gajah jinak yang ditunggangi," kata Erwin menguraikan ancaman saat melakukan penggiringan
Gajah dan Teso Nilo memang sulit dipisahkan. Apalagi kawasan TNTN memiliki tipe ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah pamah (dipterocarpa) dengan ketinggian 50 - 175 mdpl sehingga sangat layak menjadi habitat gajah.
Tambah lagi, kawasan TNTN merupakan daerah tangkapan air DAS Sungai Teso, Sungai Nilo, Sungai Segati dan Sungai Sengkalo, sehingga gajah sudah tentu akan merasa nyaman di kawasan dengan air berlimpah ini
Namun sempitnya ruang jelajah gajah di kawasan TNTN membuat kawanan satwa bongsor ini keluar dari areal koservasi. Hutan primer seluas 14000 hektar tidak cukup luas untuk 130 ekor populasi gajah TNTN.
" Inilah yang memicu konflik gajah manusia yang berdampak pada menurunnya populasi gajah," kata Erwin
Kondisi lain yang mengancam kepunahan gajah adalah masa kelahiran. Menurut Erwin gajah usianya sama dengan manusia sekitar 60 – 70 tahun. Namun hewan ini hanya bisa melahirkan satu ekor anak sekali dalam enam tahun dengan masa kehamilan 23 bulan.
“ Saya khawatir gajah akan punah. Peningkatan populasi gajah sangat lambat. Karena itu gajah harus dilindungi, ya harus dilindungi jika tidak ingin satwa bongsor ini punah dari muka bumi,” pesan Erwin penuh harap. (said mustafa husin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H