Presiden Jokowidodo sudah menandatangani Perpres nomor 87 tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli), Jumat (21/10/2016). Â Perpres 87 tahun 2016 ini diundangkan langsung oleh Menhumkam Yasona Laoli pada hari yang sama.
Pengendali dan Penanggungjawab dari Satgas Saber Pungli : Menko Polhukam, Ketua Pelaksana : Irwasum Polri. Wakil Ketua Pelaksana I: Irjen Kemendagri. Wakil Ketua Pelaksana II: Jaksa Agung Muda Pengawasan. Sekretaris: Staf Ahli di lingkungan Kemenko Polhukam.
Anggota Satgas Saber Pungli dari Polri, Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ombudsman Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Polisi Militer TNI.
Terbitnya Perpres 87 tahun 2016 ini seperti mengulang sejarah lama. Tahun 1977 lalu, pemerintahan orde baru juga menerbitkan Inpres nomor 9 tahun 1977 tentang Operasi Tertib (Opstib). Saat itu, Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara sebagai Koordinator Pelaksana dan Kaskopkamtib membantu Departemen/Lembaga pelaksana secara operasional.
Hal yang mendasari terbitnya Inpres nomor 9 tahun 1977 kala itu adalah untuk menghilangkan praktek-praktek yang dilakukan oknum-oknum dalam aparatur pemerintah yang tidak berdasarkan peraturan seperti pungutan liar dalam berbagai bentuk. Tujuan dari upaya ini untuk memperbaiki serta meningkatkan daya guna dan hasil guna aparatur pemerintah.
Ada yang menarik dari Inpres nomor 9 tahun 1977. Inpres ini menginstruksikan kepada para Menteri Kabinet, Pimpinan Lembaga Non Departemen, Pimpinan Sekretariat Lembaga Tinggi Negara dan Kaskopkamtib dalam melaksanakan pengawasan lebih ditujukan ke dalam tubuh aparatur di lingkungannya.
Perpres nomor 87 tahun 2016 ini hendaknya tentulah demikian pula. Artinya akan lebih baik kalau Polri memulai dan lebih memprioritaskan pengawasan ke dalam tubuh Polri sendiri. Kejagung, Kemendagri, KemenkumHAM dan anggota Satgas Saber Pungli lainnya haruslah lebih dulu melakukan pengawasan ke dalam tubuh aparatur di lingungannya. Sehingga kerja Satgas Saber Pungli dan hasilnya sesuai seperti yang diharapkan Presiden Jokowi.
Ada kekhawatiran kalau dalam pelaksanaanya, anggota Satgas Saber Pungli lebih memprioritaskan kerja di luar lingkungannya akan terjadi overlappingatau tumpang tindih pengawasan. Hal ini akan menimbulkan ekses yang kurang baik antar anggota Satgas Saber Pugli. Bahkan tumpang tindih pengawasan ini nantinya bisa memicu gesekan-gesekan antar anggota Satgas Saber Pungli yang sangat tidak elok terlihat di tengah masyarakat.
Kekhawatiran lain belum adanya batasan-batasan yang jelas untuk kejahatan yang disebut pungli. Sementara sanksi yang akan diterima tentulah sangat berat seperti dipecat untuk aparatur pemerintah. Kekhawatiran ini wajar muncul. Maklum saja, budaya negeri ini yang sangat santun dan ramah. Sehingga saat seorang aparatur pemerintah dibayarkan makan oleh seorang kontraktor yang bertemu di restoran juga diterjemahkan sebagai pungli, akhirnya ditangkap oleh anggota Satgas di luar lingkungannya. Karea itu sebelum Satgas bekerja perlu adanya ketegasan batasan yang jelas.
Pungli pada hakekatnya lahir dari sebuah keterpaksaan, sebagai respon dari kerumitan dan ketidakpastian pelayaan publik. Namun dalam perkembangannya terjadi pergeseran sistem nilai di tengah masyarakat. Pengguna layanan justeru merasa lega dengan melakukan pungli. Pungli diyakini mampu mengurai kerumitan proses pelayanan publik menjadi kemudahan. Â Akhirnya, prilaku pungli itu sampai pada titik seperti saat ini, tidak lagi dianggap sebagai praktek negative atau kejahatan.
Karena itu, tidak bisa disangkal bahwa pungli itu terjadi oleh korban itu sendiri. Tanpa kesediaan korban pungli itu tidak akan pernah terjadi. Benarlah, seperti pandangan Hans Von Hentig dalam makalahnya berjudul Remark on The Interaction of Perpetrator and Victim yang kemudian dikemas menjadi buku berjudul The Criminal and His Victim bahwa korban mempunyai peranan yang menentukan dalam timbulnya kejahatan.