Mohon tunggu...
Esdras Idialfero Ginting
Esdras Idialfero Ginting Mohon Tunggu... -

-Penikmat pantai- \r\n@esdrasidialfero

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Belajar dari Bulgaria

20 September 2011   04:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:48 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

[caption id="attachment_131100" align="alignleft" width="300" caption="Lothar Matthaeus (withfriendship.com)"][/caption] Nun jauh di sana, di Eropa Tenggara tepatnya di Bulgaria, terjadi gonjang-ganjing dunia persepakbolaan. Gonjang-ganjing tersebut berbuntut dipecatnya sang pelatih yang punya nama besar, Lothar Matthaeus. Legenda hidup sepakbola Jerman ini terpaksa mengakhiri kiprahnya bersama timnas Bulgaria karena dianggap gagal meloloskan Stiliyan Petrov dkk ke putaran final Piala Eropa 2012. Padahal Matthaeus yang melatih sejak September tahun lalu baru habis kontraknya pada November. Sebagai pemain Matthaeus bukanlah orang sembarangan. Bersama timnas Jerman, pemain yang pernah merumput di Bayern Munich ini memenangi Piala Eropa 1980 dan 1986 serta Piala Dunia 1990. Namun untuk karier kepelatihan, rekam jejaknya belum terlalu cemerlang. Sebelum melatih Bulgaria dia pernah menjadi arsitek timnas Hungaria serta klub Israel Maccabi Netanya. Selidik punya selidik, pemecatan Matthaeus bukan semata karena kegagalannya mengantar Bulgaria ke putaran final Euro 2012. Pemegang caps terbanyak timnas Jerman ini ternyata juga doyan menyalahkan para pemain yang dianggapnya kurang disiplin dan kurang berhasrat meraih kemenangan atas buruknya penampilan Bulgaria. Bukankah itu sama persis dengan apa yang dialami timnas Indonesia saat ini? Ya, tim Garuda layaknya menjadi tim yang terluka. Babak belur di dua pertandingan penyisihan Pra Piala Dunia Zona Asia yakni dibabat Iran 0-3 di Teheran dan dipecundangi Bahrain 0-2 di Stadion GBK Jakarta, peluang Merah-Putih lolos ke putaran selanjutnya semakin tipis. Hitungan kasarnya peluang lolos memang tetap ada dengan syarat timnas bisa memenangi empat pertandingan sisa. Indonesia masih harus melakoni laga berat yakni menjamu Qatar dan Iran serta bertandang ke Bahrain dan Qatar. Namun melihat kondisi timnas yang sedang terpuruk seperti sekarang, target tersebut hampir mustahil diraih. Indonesia boleh dibilang sudah gagal lolos sejak dikalahkan Bahrain di Jakarta. Modal sebagai tuan rumah dengan dukungan puluhan ribu suporter ternyata tidak bisa membantu Bambang Pamungkas dkk meraih poin penuh. Hampir sama dengan yang terjadi di Bulgaria, suasana di timnas Indonesia saat ini juga memang sedang tidak kondusif. Makian pelatih Wim Rijsbergen kepada pemain usai kekalahan atas Bahrain membuat awak timnas frustasi. Bahkan tujuh orang di antaranya sepakat menolak bermain lagi untuk timnas selama Wim masih duduk di kursi pelatih. Sebagian di antaranya memilih bersilaturahmi dengan bekas pelatih mereka, Alfred Reidl. PSSI pun tidak tinggal diam. Karena pertemuan dianggap sebagai sesuatu yang ilegal, para pemain pun diancam dengan sejumlah sanksi, sedangkan Reidl diminta segera hengkang dari Indonesia. Saat kondisi sedang kacau, Wim justru menepi ke negeri Kincir Angin meninggalkan setumpuk persoalan. Sampai sekarang belum jelas apa tujuan Wim pulang ke Belanda. Namun yang pasti, PSSI dibuat semakin pusing. Apalagi belakangan ini muncul desakan publik sepakbola Indonesia agar posisi Reidl yang dipecat beberapa waktu lalu dikembalikan. Kembali ke benang merah, haruskah Wim mengalami nasib yang sama dengan Matthaeus? Biarlah PSSI yang menjawab. Yang pasti publik sepakbola masih berharap agar timnas Indonesia bisa berjaya. Meski peluang lolos ke PPD sudah setipis benang, menyerah bukan alasan. Indonesia setidaknya masih bisa merepotkan dua lawan yang bakal bertandang ke Jakarta sehingga bisa terhindar dari posisi juru kunci. Buatlah Qatar dan Iran menaruh hormat dengan keangkeran Stadion GBK, bukan dengan mercon atau petasan tentunya. Faktor pelatih juga memang memegang peranan yang penting, tapi bukan satu-satunya faktor penentu. Pelatih sekaliber Pep Guardiola, Jose Mourinho atau Sir Alex Ferguson belum tentu bisa menangani timnas Indonesia dengan baik. Peter White yang pernah berjaya bersama Thailand saja justru angkat tangan ketika melatih Indonesia. Karena itu faktor pemain dan internal PSSI juga tidak boleh diabaikan. Selama PSSI disusupi kepentingan politik dan tidak adanya regenerasi pemain, mimpi untuk maju ke pentas dunia cuma isapan jempol belaka. Kita lihat nanti apa yang akan dilakukan PSSI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun