Mohon tunggu...
Farid Asyhadi
Farid Asyhadi Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

PHK Massal 2024, Krisis Ketenagakerjaan dan Tantangan bagi Pemerintah di Tengah Ketidakstabilan Ekonomi

20 Oktober 2024   17:26 Diperbarui: 20 Oktober 2024   18:59 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PHK Massal 2024, Krisis Ketenagakerjaan dan Tantangan bagi Pemerintah di Tengah Ketidakstabilan Ekonomi

Pada tahun 2024, Indonesia menghadapi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang kian memprihatinkan. Hingga Agustus 2024, lebih dari 46.000 pekerja kehilangan pekerjaan, meningkat signifikan dibandingkan 32.064 pekerja yang di-PHK pada paruh pertama tahun tersebut. Kondisi ini mencerminkan bahwa dampak PHK masih terus terasa bahkan setelah masa pandemi COVID-19 berlalu.

Berbagai sektor terhantam krisis ini, mulai dari manufaktur, tekstil, hingga startup. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, Mira Sumirat, mengungkapkan bahwa "PHK tidak lagi terbatas pada satu sektor, tetapi telah menyebar luas ke berbagai industri". Salah satu sektor yang sangat terdampak adalah tekstil, di mana lebih dari 13.800 pekerja kehilangan pekerjaan hanya dari 10 perusahaan. Bahkan, di Jakarta sendiri, lebih dari 7.400 pekerja di-PHK hanya dalam enam bulan pertama tahun ini. Provinsi dengan tingkat PHK tertinggi adalah Jawa Tengah, disusul oleh Jakarta dan Banten.

Di sektor startup, situasi semakin mengkhawatirkan dengan adanya fenomena "Tech Winter" yang menyebabkan perusahaan teknologi seperti Tokopedia, TikTok Shop, dan Shopee Indonesia melakukan PHK besar-besaran. Beberapa perusahaan bahkan memilih untuk "merelokasi kantor mereka ke daerah dengan upah yang lebih rendah," seperti yang dilakukan oleh Shopee yang memindahkan kantor mereka ke Solo dan Yogyakarta. Langkah ini dianggap oleh banyak pihak sebagai cara untuk mengurangi beban gaji, meskipun perusahaan mengklaim bahwa ini adalah bagian dari pengembangan talenta digital.

Salah satu kisah memilukan datang dari Olivia, seorang pekerja di industri kecantikan yang menerima kabar PHK hanya dua minggu sebelum hari terakhirnya bekerja. "Saya tidak punya cukup waktu untuk mempersiapkan diri, dan PHK ini datang secara mendadak," ungkapnya. Serupa dengan Olivia, Nabila, seorang pekerja di startup, juga dihadapkan pada PHK mendadak. "Saya hanya menerima pesangon yang dicicil selama empat bulan, sementara banyak pekerja lainnya bahkan tidak tahu nasib mereka ke depan," tuturnya.

Krisis PHK ini tidak lepas dari ketidakstabilan ekonomi global, yang diperparah oleh perang Rusia-Ukraina dan menurunnya permintaan ekspor dari negara-negara utama seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat. "Pabrik tekstil Indonesia dihantam oleh banjirnya produk impor murah dari Cina," jelas seorang pengamat, yang menyebabkan produk lokal, seperti batik, kehilangan daya saing. Keadaan ini semakin memperburuk nasib para pekerja yang sudah tertekan.

Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, yang disahkan pada tahun 2020, juga disebut-sebut berkontribusi terhadap maraknya PHK. "Undang-undang ini memudahkan perusahaan melakukan PHK," kata Eli Rosita, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI). Salah satu aturan dalam undang-undang ini adalah pelonggaran Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang mempermudah perusahaan mengakhiri kontrak kerja tanpa memberikan jaminan keberlanjutan bagi pekerja. Dampak dari kebijakan ini sangat terasa terutama di sektor tekstil dan garmen, di mana banyak pabrik yang berhenti beroperasi tanpa memberikan pesangon kepada para buruh mereka.

Meskipun pemerintah mengklaim bahwa tingkat pengangguran menurun menjadi 4,82% pada Februari 2024, angka ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah pengemudi ojek online, bukan karena adanya lapangan kerja baru. "Bukan karena pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan baru, tetapi banyak orang terpaksa beralih menjadi pekerja lepas seperti driver ojek," tegas Eli.

Pemerintah telah berupaya menekan gelombang PHK ini. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, mencoba mendorong kesepahaman antara pekerja dan pengusaha melalui mediasi. Namun, "upaya yang dilakukan oleh Ibu Ida akan sia-sia," menurut beberapa pengamat, karena hingga kini belum ada solusi yang efektif untuk menangani tingginya angka PHK dan pengangguran.

Pengamat ekonomi seperti Bima Yudhistira dari Center of Economics and Law Studies menekankan pentingnya meningkatkan daya beli masyarakat sebagai salah satu solusi. "Penundaan kenaikan tarif PPN dan pemberian bantuan sosial yang tepat sasaran dapat membantu," ujarnya. Yusuf Rendy Manilet dari CORE Indonesia juga mengusulkan untuk memperkuat daya saing industri melalui kebijakan yang mendukung pengurangan pajak dan pemberian subsidi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun