Saya Ingin Jadi Petani, Bukan Orang Kantoran

Membaca tulisan Cechgentong terbaru, saya menjadi berkaca-kaca. Bukan karena tulisan Cechgentong mengharukan atau menyedihkan, tetapi tulisan tersebut mengingatkan saya pada banyak hal, juga tulisan tersebut seperti menaburkan garam dalam luka yang saat ini saya alami. Luka yang timbul karena gejolak hati , satu sisi saya adalah orang yang harusnya bekerja untuk petani, tetapi saya sendiri sangat ragu apakah selama ini saya benar-benar memberikan kontribusi pada perkembangan petani, disisi lain saya ingin kembali ke dunia saya yang hilang semenjak saya menjadi orang kantoran, bergelut dengan kertas, yang kadang didalamnya penuh dengan kata petani dan pertanian.

Ingatan saya tiba-tiba lari ke hijaunya tanaman yang pernah saya tanam, senyum dan tawa petani yang ada di sekitar saya saat itu, serta berbagai ide-ide yang hanya menggumpal dalam benak saya, tanpa saya ketahui disisi otak mana lagi akan saya tempatkan. Ada peperangan dahsyat dalam diri saya, menjadi orang kantoran agar orang tua bangga dengan diri saya, atau mengejar mimpi saya agar dekat dengan hijaunya tanaman.

Beribu kenangan muncul, seperti gambar dibawah ini yang secara berurut saya buka, dan membuat air mata saya mengalir saat menuliskan posting ini

saya dan teman-teman dari FTP UGM merayakan panen sayuran terakhir, sebelum saya meninggalkan mereka semua (Sribudi Astuti) bersama pria-pria ini saya menyeberangi sungai untuk mengajari petani tentang budidaya pertanian saya pun berasal dari keluarga petani aktivitas yang saya rindukan

tanaman-tanaman  yang pernah saya miliki

Rasanya tak pernah cukup bagaimana melukiskan mimpi-mimpi saya, meskipun dibanu dengan jepretan kamera untuk mengabadikan apa yang telah saya lakukan. saya ingin jadi petani, bukan orang kantoran seperti sekarang...kalaupun tetap berkantor, tetapi berkontribusi lebih banyak dalam dunia yang hijau itu... semoga mimpi itu segera terwujud.