Mohon tunggu...
Esang Suspranggono
Esang Suspranggono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Si Jhonny yang berusaha menepati Janjinya. Berharap kisahnya bisa menginspirasi bagi lainnya. Masih belajar mencintai kopi, dan berkeyakinan suatu saat akan dapat kontrak untuk menulis tentang museum di berbagai negara.ig@janjijhonny

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Cerita di Balik 25 Ribu Sampai Bantul

11 Februari 2014   22:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:55 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

... Subuh kemarin masih menyisakan bau tanah basah. Udara dingin menjadi karpet merah ketika turun di terminal Giwangan Jogja. Tujuh jam yang melelahkan dengan menahan rasa trauma menggunakan bus. Dan ini adalah sedikit gerimis para pencari nafkah yang ada di sekitaran terminal..

Lagi lagi harus menulis dengan menggunakan kata pengalaman pertama. Tetapi itu yang sesungguhnya saya alami. Beberapa kali naik bus jurusan Surabaya Jogja dan baru kali ini setelah turun di terminal saya naik ojek. Waktu sudah menunjukan 4.30 WIB ketika bus populer jurusan Surabaya Jogja tiba. Kondisi waktu yang masih begitu pagi membuat ragu untuk meminta pertolongan teman bahkan keluarga. Ditambah lagi waktu itu batre handphone dengan kondisi hanya mampu bertahan menyalakan layar saja. Lengkap sudah rencana untuk menggunakan ojek.

...Ojek mas...ojek mas....ojek mas....mau kemana mas ? tawar beberapa tukang ojek yang menawarkan jasa ketika pintu bus dibuka.....

Beberapa kali menawar di dalam terminal membuat saya berpegang teguh bahwa hanya 20 ribu saja saya akan keluarkan untuk menyewa ojek sampai ke Bantul. Sambil berjalan keluar terminal, sempat mendapatkan pencerahan untuk menaikan anggaran. Mau kemana mas ? ujar bapak yang berumur hampir 50 tahun. Negosiasi harga pun dimulai. Dari yang 40 ribu dan akhirnya saya turunkan mentok ke anggaran baru saya. Namun sepertinya hasilnya adalah nihil. Sambil berjalan menjauh menuju angkringan utara terminal yang hanya tinggal tendanya saja, tiba tiba bapak tersebut mengiyakan tawaran yang saya ajukan. Akhirnya bisa  pulang, tanpa merepotkan keluarga atau teman.

Tanpa helm dan langsung tancap gas menuju rumah. Jalanan yang masih sepi dengan suasana matahari yang enggan berbagi sinarnya mengingatkan saya waktu ospek. Pak Ris namanya, seorang bapak dengan empat orang anak bercerita tentang suka duka menjadi ojekers. Kisah hidupnya membuat perjalanan tidak membosankan justru meginspirasi saya. Bahkan ada beberapa pertanyaan yang akhirnya tidak sempat saya tanyakan.

Berawal dari tukan becak taun 89,ia memulai usaha dibidang jasa. Tahun 90’an berkat tumpangan turis akhirnya ia bisa memperoleh cukup uang untuk mengutang sepeda motor. Dulu penghasilan berkat obyekan turis sehari bisa 5000 ribu rupiah, dan itu pun selama 1 bulan ia rutin mendapat rupiah segitu. Dan tentu saja nominal segitu pada jaman Soeharto sudah sangat aji sekali ( sudah lebih dari cukup ). Isih penak jaman ku to le ? istilah tersebut  lebih cocok menggambarkan ekonomi negara kala itu. Sejak itulah ia merubah nasib dari tukang onthel becak menjadi tukang  ojek.

Banyak sekali perubahan yang ia alami semasa di terminal Umbulharjo dengan terminal Giwangan. Selama di terminal Umbuharjo dalam sehari minim ia bisa mendapat satu penumpang. Letak terminal yang berada di jantung kota membuat banyak peluang untuk mendapatkan penumpang. Banyaknya penumpang yang memilih turun di terminal ketimbang saat ini, yang lebih memilih turun di Jembatan Janti atau Pasar Gamping.  Terlebih bagi para mahasiswa , letak terminal yang dekat dengan beberapa kampus menjadi alasan mengapa turun di terminal.  Berbeda dengan keberadaan terminal Giwangan yang berada di pinggiran kota. Mungkin ini adalah faktor dimana para pemimpin dulu tidak memperhitungkan nasib para pengais rejeki di terminal. Sekarang penumpang yang turun di terminal sedikit sekali. Beberapa kali saya berpergian dari Surabaya menuju Jogja kebanyakan penumpang memang turun di Janti. Entah sudah di jemput keluarga ataupun menggunakan ojek. Apalagi di dekat jembatan Janti terdapat shelter bus trans jogja.

...ya kalau lagi beruntung dapet 50 ribu sehari itu sudah bagus sekali mas..ujarnya sambil menghisap rokok...

Ini adalah dampak dari perpindahan terminal. Penumpang yang sampai di Giwangan adalah penumpang saringan kalau boleh berpendat. Jumlahnya sedikit dan belum tentu menggunakan ojek. Beban hidup pun semakin berat di alami pak Ris. Untungnya beban menghidupi keempat anaknya kini sudah berkurang dua. Jadi ia hanya tinggal memikirkan anaknya yang kelas 3 SMP dan 3 SD, sambil sedikit tertawa ketika menjawab pertanyaan tentang jumlah anak yang ia miliki.

Ketika saya tanya mengapa ia tidak pindah ke pangkalan lain seperti stasiun, jika memang penumpang sedikit. Beliau sedikit tertawa sambil menjelaskan kenapa ia enggan mencoba lahan baru.  Beliau menjawabnya dengan sebuah budaya yang ada di terminal .Bahkan ini adalah jawaban yang umum ketika orang awalnya berada di tempat yang sudah empuk, kemudian harus pindah ketempat yang lebih membutuhkan ekstra perjuangan. Seperti dengan keadaan penumpang yang turun drastis ketika terminal pindah. Ia lebih memilih di terminal dengan berbagai kondisinya ketimbang harus memulai baru di stasiun meskipun peluang mendapat penumpang lebih menjanjikan.  Sifat bangsa ini yang sedikit manja tergambarkan dari penjelasan pak Ris.

Saya pun jadi berpikir bahwa jika jawaban itu adalah benar, berarti jika ada penggusuran para pedagang kaki lima yang banyak terjadi di berbagai wilayah hingga bentrok adalah karena mereka enggan untuk mencoba sesuatu yang baru. Dan lebih memilih berdiam ditempat yang katanya “empuk” dengan hasil yang apa adanya ketimbang berjuang untuk memperbaiki hidupnya .

Kalau dibilang tidak melakukan apa apa juga tidak. Toh pak Ris sudah berusaha semaksimal mungkin. Ia sudah berusaha untuk betah melek dan menawarkan jasa demi rupiah kepada setiap penumpang yang turun dari bus. Meskipun dengan hasil yang seandainya ia mau berhijrah dari terminal ke stasiun bisa lebih renes.

Lepas dari itu, suka duka sebagai tukang ojek juga banyak pak Ris ceritakan. Seperti dalam satu hari jika ia beruntung ia bisa mendapat 50 ribu lebih penghasilan bersih. Namun ketika ia sedang bernasib malang, hanya batang demi batang rokok yang ia bisa peroleh. Seperti dengan cuaca Jogja yang malam itu hujan deras. Sempat membikin ragu niatnya untuk mencari lembaran rupiah. Dan mungkin saya adalah penumpang pertamanya, sehingga ia beranggapan bahwa dengan harga tadi minimal bisa sebagai penglaris.

Berbicara duka, banyak duka yang dialami pak Ris. Pernah suatu saat ia mengantarkan orang ke pasar kembang namun akhirnya ia hanya ditinggal janji saja. Mirip dengan beberapa pejabat saat ini yang pandai berjanji. Akhirnya ya belajar dari pengalaman saja, ketika berhadapan konsumen ia harus menggunakan banyak alat deteksi. Seperti bagaimana ketika berdialog dengan konsumen kok hatinya sudah merasa tidak enak. Kemudian ditambah dengan gerak gerik penumpang yang mencurigakan, sudah cukup menjadi alat deteksi pak Ris untuk waspada. Untungnya hanya ditipu dari pembayaran saja yang ia alami selama ini.

Sedikit tidak tega ketika mengajukan harga yang segitu, terlebih ketika mendengar sistem yang ada di ojekannya. Untuk sekali keberangkatan ia harus menyisihkan beberapa ribu rupiah sebagai ongkos parkir. Jangan berpikir itu sebagai pemalakan ya. Karena ternyata setiap bulan uang itu nantinya akan dibagi untuk beberapa kepentingan. Pertama untuk kelangsungan hidup organisasinya. Jika anda lihat sekitaran daerah terminal Jogja pasti akan terdiri dari beberapa tukang ojek. Nah tukang ojek tersebut memiliki kelompok dengan ketua masing – masing. Saya pikir kelompok tersebut memiliki juragan,tapi salah. Ketua dari masing masing kelompok tukang ojek ini ya berprofesi sama. Cuman mereka lah yang nantinya dipercaya berkoordinasi dengan ketua kelompok lain bila terjadi permasalahan.

Kedua, hasil uang iuran tersebut nantinya akan dibagi untuk si pemilik parkiran dan masuk kembali ke dalam kantong para ojekers seperti pak Ris. Kalau boleh dibilang sih sebagai tabungan akhir bulan, dimana bisa menjadi penghasilan tambahan ketika sepi penumpang. Sebuah sistem bagi hasil mirip dengan keperasi yang dulu pernah bergema di jamannya. Home sweet home , akhirnya setelah kurang lebih 45 menit sampai di depan pagar rumah. Kisah hidup pak Ris pun harus segera berakhir dengan sammpainya saya di rumah, dengan masih meninggalkan beberapa pertanyaan.

..... Cuman takdir yang tidak bisa dirubah manusia. Selama masih ada semangat merubah, pasti nasib kita juga akan berubah. Dan satu hal lagi selama itu halal, pasti akan ada rejeki bermanfaat yang bisa diperoleh seperti yang dialami pak Ris.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun