.......Sebuah rencana yang sudah satu tahun lamanya tertunda. Ditambah dengan sebuah pelajaran penting dari interview sebuah perusahaan multinasional, membuat saya memutuskan untukmenambah ilmu lagi.......
Kecewa, itu yang terjadi ketika akhir dari wawancara kerja yang terakhir saya lakoni. Semua rasa menyatu seakan membodohkan tentang kebebalan pemikiran kepala ini. Entah ini sebuah idealisme yang benar atau sok-sokan mengikuti arus para idola, namun hari itu benar membuka semua kebodohan ini. Sebuah perkataan dari seorang penguji masih terngiang jelas dipikiran hingga sekarang.
“Jika kamu ingin mengejar mimpimu terlebih mimpi berkeliling dunia, kamu harus menambah ilmumu terutama kemampuan bahasa Inggrismu“.
Seperti sebuah tamparan keras tentang kebodohan yang selama ini saya banggakan. Namun itu juga menjadi sebuah nasehat yang sangat berharga. Untuk mengejar mimpi besar maka diperlukan langkah yang luar biasa. Ibaratnya seperti kita menggunakan pelontar untuk meraih mimpi yang tinggi. Dan itu semua berasal dari Bahasa Inggris.
Pare “The Dreams Come True Or Chase The Dreams“
9 April 2014, Masih jauh dari gema subuh suara mesin katana milik bapak tercinta sudah meraung. Waktu itu masih pukul 4 pagi kurang sedikit, semua barang perlengkapan sudah saya bawa masuk kedalam mobil. “Bu, berangkat dulu Assalamualaikum. Nyuwun donga pangestune nggih buk”,kata perpisahan saat itu. Sedikit berat meninggalkan Bantul, namun rasa gembira juga turut membaur dalam hati karena sebentar lagi saya sampai dimana ini mimpi satu tahun lalu.
Suasana jalan saat itu masih sangat romantis dengan lampu jalan yang masih menguning. Raungan mesin pun menjadi musik teman perjalanan menuju ke stasiun Lempuyangan. Ohh ini rupanya yang dimaksud dengan cuplikan wawancara dari artikel Kompas dimana salah satu petinggi Ferarri menyatakan bahwa untuk mobil semewah Ferrari tidak diperlukan audio music tambahan. Cukup raungan mesin saja sebagai hiburan. Memang jauh dari kelas Ferrari, namun saura mesin mobil milik bapak yang meraung raungbegitu nyaman di telinga.
Setengah lima pagi sampai sudah di stasiun Lempuyangan. Sama seperti berpamitan dengan ibuk, sebuah perpisahaan dengan memohon doa tulus agar selama dan setelah selesai dari sana si anak sulung ini bisa mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Sambil melangkah ke dalam stasiun, berlalu sudah bapak dengan mobil kesayangannya yang dibeli dengan mengkredit dari saudara.
Masih belum begitu ramai penumpang. Hanya beberapa penumpang duduk di depan pintu masuk dengan barang bawaan yang masih menciri khas kereta ekonomi. Sama dengan di luar, suasana di dalam stasiun pun juga sepi. Beberapa pedagang tidur nyenyak dengan dinina bobokan sebuah siaran televisi.
"Sebentar lagi nih kereta akan tiba", dalam hati berkata. Tak lupa saat itu saya coba menghubungi teman yang akan menjemput saya di Kediri. Semakin jarum jam mendekati angka lima semakin berat pula mata ini. Dengan menggenggam hape yang masih tertancap di tempat pengisianbaterai stasiun, sesekali saya coba pejamkan mata untuk mengkredit rasa ngantuk “...para penumpang kereta Kahuripan jurusan Kediri diberitakan bahwa kereta mengalami keterlambatan selama dua jam",ujar petugas...
Sebuah pengumuman yang sangat menyebalkan pastinya. Ditambah lagi tidak ada penjelaskan kenapa kereta terlambat. Hhmmm usaha untuk bangun pagi pun harus dikecewakan dengan keterlambatan kereta yang sesuka hatinya. Mau tak mau pantat ini semakin lama lengket dengan kursi tunggu stasiun.
Pilar-pilar tua penyanggaatap seng menjadi irama menarik ketika hujan perlahan turun. Suasana hati yang sempat memanas kini sedikit dingin dengan adanya hujan. Lalu lalang, naik turun penumpang menjadi penghibur kekecewaan saya. Melihat aktivitas orang orang membuat waktu menunggu menjadi sangat cepat. Seiring meningginya matahari, suasana stasiun pun semakin ramai.Mulai dari para karyawan, pelancong, dan jasa pengiriman barang pun semakin sibuk disana.
Matahari semakin menyinari setiap sudut ruangan stasiun jaman Belanda ini. Dan jam pun sudah menunjuk pukul tujuh. Sebuah kereta yang lama ditunggu akhirnya datang juga. Berjalan perlahan dengan suara klakson yang begitu keras hingga rasa kantuk pun sirna. Begitu pelannya bagaikan model yang sedangberjalan di catwalk membuat saya sedikit jengkel bercampur dengan rasa geli ketika melihat kereta ini. Tanpa dosa ia membuat saya dan penumpang lain harus rela menunggu 2 jam tanpa kompensasi apapun. Ya sudahlah, itu sebuah kalimat penghibur. Toh kereta juga sudah datang saatnya mencari tempat duduk. Entah kenapa setiap kali naik kereta ekonomi, pasti mendapat gerbong pertama setelah lokomotif.
Huuft...inilah kereta dengan ekonomi kerakyatan. Suasana yang jarang sekali meleset dari pemikiran, tumpukan barang, gerbong yang penuh, bau yang bercampur ria antara parfum buatan dengan wewangian alami dan ditambah lagi para penumpang yang tidurnya malang melintang tak jelas. Yah mau gimana lagi, namanya juga kereta murah. Ada harga ada wujud kan? "Jadi terimalah nasibmu nak". Meski sudah ada embel–embel AC tapi dinginnya pun entah kemana. Beberapa kali saya naik kereta ekonomi, dinginnya AC hanya dirasa ketika semua orang sudah tertidur. Bukan karena suasana di dalam, melainkan ketika semua orang tidur, pintu masuk gerbong sedikit yang menggunakan. Dan pasti akan tertutup rapat sehingga si AC baru bisa mendinginkan gerbong.
Sepasang suami istri dan seorang bocah kecil menjadi teman duduk berhadapan dengan saya. Memanfaatkan waktu libur Pemilu untuk mengunjungi keluarga di kampung. Jika dari pembicaraannya si istri berasal dari daerah Sunda, dan si suami berasal dari Madiun. Karena sedikit menguping pembicaraan si suami bahwa ia meminta salah satu saudaranya untuk menjemput di stasiun Madiun, ehehehe.
Lima jam lebih sedikit akhirnya tiba kereta Kahuripan di tujuan terakhir. Suasana panas menyambut langkah kaki saya di bumi Kediri. Sebuah stasiun yang jauh lebih kecil dibanding dengan Lempuyangan. Seiring langkah kaki berjalan menuju pintu keluar tak lupa saya memberitahu kepada mas Rifki bahwa saya telah tiba. Harapannya sih segera dijemput, namun rupanya sya harus menunggu tiga puluh menit sebelum akhirnya ia tiba.
Selama di perjalanan kami banyak berbincang. Mulai dari bagaimana suasana di kampung Pare, pekerjaan dan yang sedang hangatnya adalah suasana kampanye semasa Pemilu. Tidak searogan di Jogja, kampanye di sini jauh lebih tertib. Tidak ada yang urak-urakan seperti konvoi yang berlebihan dengan suara knalpot blombong dan memenuhi jalan. Ketika saya tanya berapa jarak dari Kediri ke Pare kepada mas Rifki, ternyata hanya tiga puluh menit. Sama seperti jarak Bantul ke Kota Jogja.
Ketika di tengah perjalanan, saya melihat sebuah bangunan yang rasanya tidak begitu asing. Bentuknya mirip sekali dengan sebuah bangunan di salah satu negara benua biru.
“Itu bangunan apa ya mas? Kok dari gaya arsitekturnya seperti bangunan mirip diParis?",tanya saya. "Ohh itu Simpang Lima Gumul, mas. Iya itu mirip dengan yang di Perancis mas, itu monumen. Jadi Bupati disini terinspirasi oleh bangunan itu jadi dibikin disini, biar jadi obyek wisata,” jelas mas Rifki.
Ternyata dugaan saya benar, bahwa itu adalah bangunan yang mirip di Perancis, kalau tak salah bangunan seperti tembok itu berada di Paris. Hebat juga bupati disini, memiliki pandangan yang bagus untuk menciptakan kawasan wisata baru. Tidak seperti di kota Jogja, dimana tidak begitu banyak perubahan, padahal sudah melakukan study tour ke Amrik. Hasilnya tetap aja nihil dan mubadzir. Padahal jika dilihat potensi kota Jogja begitu hebatnya, terlebih di sana banyak sekali seniman kondang. Sayang, pemerintah belum mampu merangkul para seniman, semoga ada pencerahan untuk Jogja yang lebih baik.
PERTEMUAN PERTAMA DAN UJIAN PERTAMA
....Inikah tempat saya menimba ilmu? Waoww ramai sekali. Apa mungkin karena menjadi satu dengan TPS jadi terlihat ramai?...
Sesuai dengan tujuan kedatangan, saya harus melapor kepada pihak berwajib. Yaitu para pegawai di Office GE di Jalan Brawijaya no.66 Pare. Minder? Jelas. Setelah kemarin sempat dijatuhkan mentalnya dan sedang dalam tahap recovery, kini masih sedikit trauma dengan makhluk Bahasa Inggris. Beberapa pemudi duduk berkumpul di sebelah kanan teras office, sedangkan beberapa pemuda duduk di halaman dengan meja payung mirip di cafe. Waktu itu hanya bermodal nekad saja dan terus menggerakan kaki untukmasuk ke dalam office, karena mau tak mau saya harus mendaftar ulang sebagai syarat registrasi.
.."Silahkan mas, di uji dulu agar tahu kelas mana besok. Ms Aisyah sedang kosong kah?" tanya salah satu pgawai di Office. "Iya mbak", jawabnya sambil membuka pandangannya dari sebuah buku yang dibaca. "Silahkan mas sama Ms Aisyah, nanti kalau sudah kembali kesini lagi", lanjutnya...
Hhhaaaa....hhh ujian lagi ujian lagi. Kenapa harus dengan ujian terus sih, orang cuma mau belajar saja pakai di uji segala. Manusia, manusia sudah kayak Tuhan saja ikut-ikutan menguji, gerutu dalam hati. Segala kejengkelan tiba–tiba sirna ketika tahu siapa asli Ms Aisyah. Hhmm wajahnya begitu cerah, terlebih dengan senyumnya yang bisa membikin adem suasana. Semua hal buruk tentang ujian berubah menjadi kegembiraan. Maklum saja dari seharian tadi sudah dibuat jengkel dengan berbagai kejadian, dan sekarang mendapati penguji yang manis jadi bening nih mata.
Seperti biasa setiap peserta yang datang pasti akan diuji sejauh mana kemampuan dasarnya, dan dimana besok dia akan memulai kelas. Pertanyaan tentang perkenalan diri sendiri, hobi, kegiatan sehari–hari menjadi pertayaan sakral. Jika itu sudah mampu dilampui biasanya ada pertanyaan tambahan yang lebih bersifat berdialog. Jika kemarin dengan Ms Aisyah saya membicarakan tentang buku Moh.Hatta, kemudian masakan khas asal daerah masing–masing, serta tentang hobi menulis saya. Anehnya ketika saya diuji berdialog dengan bahasa inggris, saya masih bisa menyombongkan kemampuan yang saya miliki. Berbeda dengan interview kerja beberapa waktu lalu dimana hanya “ Hello my name is Esang Suspranggono, I was born in Bantul.” Padahal interview kemarin adalah hal yang sangat berharga dan perusahaan itu adalah perusahaan impian saya. Namun saat itu saya benar–benar seperti pecundang yang gagal tampil sebelum pertandingan.
Apa mungkin karena tegang? Ataukah harus dengan orang seperti Ms Aisyah ini baru kemampuan bahasa Inggris yang ada di dalam otak ini bisa keluar. Itu yang masih menjadi teka–teki kenapa waktu itu tidak senekad ujian tes di GE. Menyesal menyesal dan berusaha kembali jikalau waktu itu kembali atau ada kesempatan lagi.
Dari perbincangan dengan Ms Aisyah, sedikit informasi tentangnya. Ia adalah gadis Cirebon yang usianya masih di bawah 20 tahun.Yah beda dikitlah dengan umur saya saat ini yang tanggal 4 Mei kemarin genap seperempat abad. Masih belum tahu kenapa ia memutuskan untuk menunda kuliahnya dan melanjutkan studi di Pare ini. Mungkin ia ingin melancarkan kemampuan Bahasa Inggrisnya, sehingga ia memutuskan menunda kuliahnya. Apapun itu saya baru saja melihat semangat anak muda yang luar biasa hebatnya. Sedikit sih 'merasa wah terlambat nih belajar bahasa Inggris', namun rupanya pepatah tidak ada kata terlambat dalam belajar menyelamatkan saya dalam kondisi seperti ini, ehehehe. Satu hal yang tidak bisa hilang dari pengalaman pertama Bahasa Inggris, pertemuan dan ujian pertama dengan Ms Aisyah membawa bekas yang indah. Senyumnya yang ibarat bunga mekar, suaranya yang lembut tapi sedikit tegas, serta gestur tubuhnya yang penuh isyarattak terlupakan.
“Speaking 2? Maksudnya apa ni Ms , tanya ku. "Iya Mr Esang masuk di kelas speaking 2", jawab Ms Aisyah sambil tersenyum.
Wah rendah sekali kelas saya ketika mengetahui hasil tesnya. Tapi tak apalah mengingat saya ingin belajar total mulai dari bawah agar paham. Setelah mendaftar ulang dan mengetahui kelas mana saya akan memulai saya pun diantar ke dormitory. Di perjalanan menuju dorm, saya mencoba meraba informasi yang ada di sini.
“Kenapa sih mas kok saya dipanggil Mr, padahal masih muda saya ini. Begini Mr semua orang disini dipanggil Mr untuk yang cowok dan Ms untuk yang putri, ujarnya. Ooww tapi kenapa harus Mr dan Ms gitu lho, begitu penasarannya saya. Eheheh Wah kurang tau juga Mr, soalnya saya juga pendatang dan tau tau udah seperti itu.“
Hidup baru Male 3
....Yaak ini dia Mr, dormitorynya. Nanti Mr tinggal nyerahin kertas merahnya ke pengampu dorm, Mr Azam. Ok mas, sambil berjalan menuju masuk...
Bingung antara harus ketawa bahagia atau pura-pura memasang muka senang ketika melihat dorm ini. Sangat kontras dengan dorm lainnya yang sempat ditunjukan oleh Mr yang saya lupa tanyakan namanya. Tempatnya terlihat panas dan gersang. Hanya terlihat sebuah pohon redberry jawa, itupun saya tidak bisa menjamin apakah ia benar suka tinggal di tempat itu atau karena terpaksa. Sebuah rumah yang dari depan tidak terlihat besar namun cukup panjang. Jika di tempat lain hiasan halaman rumah adalah pepohonan yang membuat rindang, disini beda. Di dorm ini terdapat tumpukan batu bata yang sudah lama mendiami halaman. Mungkin jika sewaktu–waktu terjadi tawuran, kami yang di Male 3 sudah siap dengan berbagai senjata salah satunya tumpukan batu bata.
Memang sih halaman dorm GE 3 jauh lebih luas dibanding dorm lainnya. Apalagi untuk masuk ke kawasan asrama kami harus menyebrangi sungai yang berada di depan. Masih begitu berharganya peninggalan letusan Gunung Kelud di tempat ini. Tumpukan pasir di depan dan samping rumah seakan menjadi ujian berikutnya sebelum masuk ke asrama.Kesan pertama melihat asrama ini adalah “ Oh My God this house like a broken ship that wait the time until sink in ocean “.
Waktu itu pengampu dorm masih belum ada di tempat, konon katanya ia sedang mudik. Hanya ada beberapamember lama dan baru seperti Mr Khoir, Mr Babel, Mr Rinto, Mr Fawa, dan Mr Sadam. Suatu kehormatan ketika disuruh memilih kamar, mengingat waktu itu kamar di male 3 banyak yang baru terisi satu orang. Sedikit memanfaat kecerdikan dengan memilih kamar tengah. Alasannya sih tak perlu repot repot untuk keluar menonton tv, sebab ruang tv sudah langsung berhadapan dengan ruang tv.
Rasa terkejut pun bertambah ketika melihat ke dalam ruang kamar. Bukan main kotornya kamar ini. Ya kalau sekedar kotor itu sudah biasa, namun dengan suasana yang hanya bisa bilang astagfirullah ini baru pertama kali terjadi. Mungkin ini bagian ospek pertama ketika seorang member baru masuk ke dalam asrama.
Sambil sedikit bersih–bersih seorang senior datang ikut menyapa kami. Mr Saddam namanya, pemuda asal Sumatra ini sudah hampir 4 bulan tinggal disini. tujuannya sih ingin mengejar TOEFL agar bisa masuk ke perguruan tinggi. Ia banyak bercerita ngalor-ngidul tentang pengalaman di Pare. Setidaknya saya bisa mendapat sedikit informasi tentang Pare. Sambil sesekali kami berdialog tentang hasil quick count Pemilu.
Ngobrolin hasil Pemilu, saya, Mr Babel, Mr Khoir, Mr Rinto, Mr Saddam punya pandangan sendiri–sendiri. Ada yang cenderung ke partai si Banteng namun ada pula yang condong ke partai burung Garuda. Selain itu kami juga bercerita tentang kecurangan Pemilu yang terjadi. Serangan fajar nampaknya menjadi topik utama. Cukup logis ketika si Mr mata kedip alias Mr Saddam ngomong bahwa, masyarakat khususnya masyarakat kecil tidak begitu tertarik dengan adanya Pemilu. “Daripada buat ikut milih gitu mending mereka bertani yang jelas menghasilkan uang, ngapain coba ikut Pemilu? Buang buang waktu mereka", jelasnya.
“Mas kalau mau ambil speaking yang bagus disana tuh, kalau mau ambil grammar yang bagus sebelah sana, dan masih banyak lainnya," ujar Saddam.
Mendengar perkataan barusan tiba tiba menggoyahkan iman. "Apa benar saya sudah berada di tempat yang terbaik untuk melatih Bahasa Inggris saya?" dalam hati terus saja bertanya. Namun itu adalah sekedar informasi, dan saya pun harus membuktikan bahwa itu tidak seratus persen benar. Berdasar pengalaman yang ada, saya hanya mengambil informasi itu sebagai gambaran saja. Fokus utama adalah belajar bahasa Inggris. Toh sama saja jika kita bilang di tempat A adalah tempat terbaik, atau B terbaik untuk grammar. Terbaik itu kan dalam konteks apa dan siapa. Kalau pun kita ikut di tempat kursus A yang terbaik untuk speaking namun kita sendiri tidak nyaman dan tidak bisa ikut dalam suasana, sama aja tidak menjadi tempat yang terbaik. Itu asumsi saya, ketika mendapat informasi yang galau. Sayangnya ada beberapa member baru yang merasa terbelah pemikirannya dengar informasi tersebut. Mereka mencoba untuk ikut kursus bimbingan lainnya, yang pada akhirnya membelah fokus utama mereka.
Siang yang begitu terik kini perlahan berubah menjadi malam yang lembut. Sekitaran habis Magrib terdengar obrolan beberapa anak muda yang mengarah masuk ke asrama. Ada sekitaran 4 orang masuk ke dorm. saya pikir mereka adalah member baru namun rupa–rupanya mereka sudah termasuk member lama. Ada Mr Tinton, Mr Akbar, Mr Hari, dan Mr Jay. Mereka sudah seperti super hero fantastic four dengan perawakannya. Mr Tinton asli Lumajang, tubuhnya cukup besar dengan suara yang sama dengan tubuhnya. Berbeda dengan Mr Akbar yang terlihat ramping meskipun sama tempat asalnya yaitu Lumajang. Mr Jay berperawakan kecil, jika dilihat dari gayanya sih anak SMA lulusan kemarin. Ia berasal dari Bandung. Nah ini dia yang cukup sangar. Raut wajahnya sih menggolongkan dia ke dalam mature. Suaranya cukup menggelegar dengan logat jawa yang kental. Tubuhnya pun lebih tinggi dibanding dengan Mr Tinton. Dengan potongan rambut ditata mundur mirip mafia Itali, ia memperkenalkan dirinya.
“Halo saya Hari. Asli mana mas?" tanyanya kepadaku. "Saya asli Jogja mas", jawab saya. "Ohh kalau begitu dekat dengan rumahku, aku Solo."
Jujur waktu itu saya sedikit merinding ketika diajak ngobrol sama mas Hari. Perawakannya memang sedikit berlebihan. Tapi dialah yang pertama kali mengajak saya untuk makan malam dan mengobrol. Di rumah makan Lamtana lah pertama kali saya makan malam di Pare bersama dua senior saya. Berawal dari ngobrol ternyata Mr Jay memang seperti dugaan saya, bahwa ia memang anak SMA yang baru lulus tahun kemarin dan baru mau masuk universitas tahun ini. mimpinya sih bisa masuk ke Unbraw.
Berbeda dengan Mr Hari. Ia sudah cukup lama duduk di bangku universitas. Bukan karena kemampuan RAMnya yang kurang melainkan ia melanjutkan studi dari D3 ke S1 dan kebetulan tahun ini ia akan di wisuda. Plok...plok...plok... tepuk tangan dulu untuk semangat belajarnya yang membara. Cukup asyik dengan gaya ngobrol Mr Hari. Saya pun merasa cocok dengan suasana ngobrolnya. Kalau dibilang njawani banget orangnya. Saya pikir semua orang yang diajak ngobrol olehnya pasti merasa senang. Pelajaran pertama di Pare,”Jangan melihat orang dari wujudnya".
Ternyata biaya hidup disini hampir sama dengan di Jogja. Untuk nasi ayam serta segelas es teh saya cukup merogoh kocek 7500 rupiah. “Wuah asyik bisa ngirit ini makannya, apalagi perbekalan pundi pundi rupiah memang terbatas”. Ini salah satu rumah makan yang masuk dalam kamus ekonomi saya. Setelah selesai makan kami pun kembali ke dorm. Tidak jauh sih tempatnya sehingga kami mengandalkan transportasi bawaan lahir yaitu kaki. Sempat mampir sebentar ngobrol dengan teman–teman yang sedang asyik bermain gitar. Saya pun menanyankan kebijakan tentang ngobrol sehari dengan bahasa Inggris.
“Biasanya dimulai setelah awal program Mr, jawab Mr Akbar.”
Alhamdulillah, karena jujur, waktu itu belum siap sama sekali dengan kebijakan tersebut. Walaupun dulu sebelum mendaftar saya sempat ditanyai keputusan mau tinggal di dorm atau mengekos biasa oleh pacar saya. Lagi–lagi ilmu nekad digunakan agar memacu untuk bisa berbicara Inggris. Berhubung besok sudah mulai kels, saya pun lebih memilih menyiapkan kondisi yaitu tidur lebih awal supaya besok bisa bangun lebih pagi dan lebih segar dibanding yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H