Mohon tunggu...
Suhadi Rembang
Suhadi Rembang Mohon Tunggu...

aku suka kamu suka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Situs Terjan Rusak?

24 Februari 2013   13:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:46 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13617137431910437707

Penelitian ini berangkat pada pertanyaan mengapa terjadi perusakan Situs Selodiri Terjan beberapa waktu lalu, tahun 2011. Jelas-jelas Situs Terjan ini telah menjadi benda purbakala yang dilindungi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya dalam eksistensinya.

Dengan perspektif fungsional yang didukung data wawancara mendalam dengan empatinforman serta data kuesioner dari duapuluh dua responden, penelitian ini mencoba untuk mengangkat berbagai aspek yang teryakini ada hubungannya dengan Situs ini. Sejak akhir tahun 2011 hingga awal tahun 2013, penelitian ini dilakukan. Adapun beberapa aspek yang dikaji terhadap rusaknya Situs Terjan yaitu aspek sejarah, politik dan hukum, pendidikan, ekologi, serta aspek ekonomi.

Adapun alur berfikir dalam penelitian ini yaitu semakin berhubungan fungsi antara lima aspek di atas, maka semakin lestari Situs Terjan. Sebaliknya, jika lima aspek tersebut tidak memiliki relasi fungsi, maka Situs Terjan terancam tidak lestari.

Mengenal Situs Terjan

Menurut pembaharuan data benda cagar budaya BP3 Jawa Tengah tahun 2011, Rembang tercatat memiliki 37 Benda Cagar Budaya (BCB) tidak bergerak. Satu dari 37 BCB tidak bergerak adalah Benda Cagar Budaya Situs Terjan.

Situs Terjan secara astronomis terletak pada koordinat 111 derajat 34'51'' Bujur Timur dan 6 derajat 41'2" Lintang Selatan. Sesuai dengan namanya, objek tersebut terdapat batu-batuan zaman prasejarah berupa pintu gerbang, kepala binatang berupa kepala katak, kepala buaya, dan batu kepala ular.

Penelitian terdahulu tentang Situs Terjan pernah dilakukan oleh PUSLITARKENAS semenjak tahun 1977 dan dilanjutkan pada tahun 1981. Fokus penelitian tersebut yaitu mengadakan ekskavasi di pusat situs. Ekskavasi tersebut menemukan kerangka manusia dan ditambah dengan sejumlah temuan permukaan lainnya yang kemudian disimpulkan bahwa Situs Terjan adalah situs megalitik. Temuan permukaan yang dimaksud adalah adanya tatanan kursi-kursi batu, arca-arca kepala binatang serta penataan batu yang merupakan temu gelang (Balar, 1981).

Balar (1977-1981) menegaskan Situs Terjan merupakan situs penguburan yang berasal dari masa akhir prasejarah dan melanjut hingga akhir masa klasik atau masa megalitik muda, ketika sudah ada pengaruh Hindu dan Budha sudah masuk di Indonesia (Sukendar dan Awe, 1981;02).

Eksavasi Sukendar dan Awe (1981) berhasil menemukan rangka pada kedalaman 60 cm, di dalam lubang karasan (liang lahat) yang dipahat pada padas keras berukuran 42 x 180 cm. Posisi rangka membujur barat laut tenggara dengan kepalanya di barat laut. Letaknya miring ke kanan karena disangga oleh lima buah gelu. Gelu yaitu batu bulat yang sengaja ditempatkan untuk menjaga mayat.

Temuan ini telah menjadi penjelas dari beberapa studi sebelumnya yang dilakukan oleh Van heekeren (1958), Hadimoelyono (1969), serta Tegus asmar dkk (1975) yang hanya menempatkan Situs Terjan dalam periode megalitik tetapi belum memberi keterangan mengenai fungsi peninggalan tersebut.

Sumber: BP3 Jateng 2011, dalam http://purbakalajawatengah.org/

Menurut tim Balar (1981) bangunan megalitik ini digunakan untuk melindungi perjalanan arwah yang meninggal dalam perjalanannya, hal senada juga diungkapkan Geldern (1945). Keberadaan kursi-kursi batu ini juga pernah disampaikan Perry (1918) yang berfungsi sebagai tempat duduk roh nenek moyang pada upacara pemujaan.

Menurut Haris Sukendar (dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 27 Tahun 1981) melaporkan, patung kepala atau wajah pada Situs Terjan yang digambarkan dengan hidung panjang dan mata bulat, disimpulkan sebagai pola hias wajah atau kedok yang berfungsi sebagai penolak bahaya. Hal senada juga diungkapkan Soejono (1961) dimana pola hias kepala arca yang menyerupai binatang dengan penataan kearah luar dimaksudkan sebagai upaya penolak bahaya yang setiap saat diyakini berfungsi sebata petanda ancaman

Namun pandangan tersebut diragukan oleh Gunadi Kaniwiharjo (kompasinana.com, 13 Januari 2012) dimana patung wajah itu bukan bermakna penolak bahaya. Gunadi Kaniwiharjo lebih memaknai pola hias wajah itu dekat dengan kesatuan dualisme antara manusia dan binatang yang mana sebagai jelmaan nenek moyang atau kepercayaan totemisme. Namun kenyataannya, kedua-duanya pendapat itu tidak berfungsi dalam kehidupan masyarakat sekitar Situs Terjan. Tidak satupun anggota masyarakat sekitar situs yang menggunakan situs ini untuk tolak balak.

Sosiohistoris Masyarakat Terjan

Desa Terjandapat dikunjungi dari Rembang menuju ke jalan pantura Desa Pandangan sejauh 6 km ke arah selatan. Setibanya di desa Sedan, pengunjung dapat berbelok ke kanan sejauh 1 km, di desa inilah terdapat Situs Terjan.

Masyarakat Terjan sendiri tidak begitu mengenal apa itu Situs Terjan. Mereka lebih mengenal makam Mbah Dresmo yang terletak pada sebuah Bukit Selodiri ini, itupun terbatas. Hanya generasi tua saja yang mengenal makam tersebut. Masyarakat Terjan lebih mengenal tokoh Buyut Kandut.

Informan menuturkan, terdapat beberapa pemimpin formal di desa Terjan ini. Dimulai pada tahun 1811-1936, desa Terjan dipimpin oleh Gacon Surodiwongso alias H. Abdul Manaf. Gacon dikenal Orang Terjan selaku orang yang badannya tidak mampu ditembus peluru.

Pada periode berikutnya, Suromadi menggantikan Gacon sebagai pemimpin sejak tahun 1936-1964. Tokoh ini dikenal memiliki penguasaan seni beladiri pencak silat. Pada periode berikutnya tahun 1945-1968, Kaelani memimpin desa Terjan yang pada saat itu berafiliasi dengan partai komunis. Hingga pada periode 1965-1988 Terjan dipimpin oleh Tasmuri. Selanjutnya Darsono menjadi pemimpin formal di desa ini, hingga Abdul Hadi hingga sekarang.

Penutur menceritakan, pada saat penjajahan Belanda, pihak kolonial melarang keras tokoh desa maupun masyarakat untuk melestarikan situs. Belanda khawatir dengan keterlibatan tokoh lokal dalam melestarikan situs, pengaruh tokoh lokal semakin tidak terkendali dalam melawan kolonial. Mulai saat itulah para pengikut situs tidak lagi berhubungan dengan situs megalitik ini.

Hal senada juga diungkapkan responden, dimana setiap suksesi dalam memilih Kepala Desa, para calon pemimpin desa ini justru mendatangi punden desa yang letaknya ada di sebelah utara. Menurut penutur, masyarakat Terjan sangat meyakini bahwa di punden itulah tempat bersemayamnya sosok yang bernama Buyut Kandut.

Masyarakat Terjan meyakini Buyut Kandut adalah cikal bakal terbentuknya desa Terjan, bukan Situs Terjan. Menurut penutur, Buyut Kandut adalah tokoh desa yang berhasil membuat sumur untuk mencukupi kebutuhan akan air minum untuk masyarakat Terjan.

Para penutur dan responden sepakat bahwa Situs Terjan di masa lalu sering dijadikan sebagai tempat sembahyang oleh masayarakat di luar daerah Situs Terjan, tepatnya masyarakat Tuban. Dengan cara duduk bersila menghadap ke arah timur, membakar dupa, dan membawa sesaji, sembari memanjatkan doa. Beberapa perlengkapan sembahyang diantaranya; bunga, minyak wangi, makanan/ tumpeng, dan buah-buahan. Mereka meyakini ada roh-roh yang akan membantu mereka mencapai apa yang mereka inginkan di dunia, misalnya kekayaan, pangkat atau jabatan dan sebagainya.

Mereka memanjatkan doa untuk mengharap akan kesejahteraan hidup, kesuksesan, kekayaan, dan dikabulkan apa yang menjadi hajatnya. Apabila doayang dipanjatkan terkabul, mereka melakukan syukuran sebagai bentuk ucapan terimakasih kepada Situs Terjan.

Situs Terjan Rusak

Namun pada akhir tahun 2011 lalu, bermunculan pemberitaan perihal perusakan benda pubakala Situs Megalitik ini. Beberapa laporan perusakan dan penghilangan benda cagar budaya itu telah dikabarkan oleh beberapa media massa.

Sebanyak 38 kursi batu peninggalan megalitikum di kawasan Situs Terjan di Bukit Selodiri diketahui raib (H.U. Kompas, 2011), dua tumpak batu diketahui raib dari situs (H.U. Republika, 2011), empat arca kepala hewan sebagai mitos era megalitikum masing-masing kepala katak, kepala naga, kepala kuda dan kepala buaya dinyatakan rusak parah (H.U Suara Merdeka , 2011), dan kerusakan arca pada sebagian bentuknya (H.U Kompas, 2011). Hanya arca kepala singa saja yang tersisa (H.U. Kompas, 2011) pada Situs Terjan ini.

Relasi Ritus Terjan

Menurut informan, sejak dahulu hingga akhir tahun 2011, Situs Terjan tidak pernah dikunjungi anak-anak sekolah. Sejak dikabarkan terdapat perusakan situs, beberapa kelompok siswa yang didampingi guru, mengunjungi situs sebagai sumber belajar.

Beberapa responden menyatakan, tidak pernah ada pertunjukan seni yang digelar di Situs Terjan. Hal senada juga diungkapkan para informan, pagelaran seni pada saat sedekah bumi dilangsungkan di tempat punden Buyut Kandut. Dalam bermasyarakat, masyarakat Terjan tidak memiliki aturan sosial yang berhubungan dengan Situs Terjan. Menurut penutur, Situs Terjan tidak pernah digunakan sebagai media musyarawarah dan tidak pula sebagai tempat untuk menghukum orang-orang yang bersalah. Masyarakat Terjan tidak meyakini adanya bencana atau pagebluk yang bersumber dari Situs.

Melimpahnya sumber daya mineral di sekitar Situs telah manarik para perusahaan tambang melakukan eksplorasi. Tindakan eksplorasi inilah diyakini akan menghasilkan keuntungan yang berlimpah.

Masyarakat Terjan yang memiliki lahan dekat situs, menjualnya kepada perusahaan. Masyarakat senang dengan hasil penjualan tanah di kawasan perbukitan selodiri ini, karena tanah tersebut dianggap tidak produktif untuk bertani. Harga per meter tanah di sekitar Situs Terjan bervariasi. Mulai dari Rp. 30.000 s.d Rp. 40.000 rupiah permeter hingga harga Rp.50.000 s.d Rp. 100.000 rupiah per meter.

Pascamenjual perbukitan Selodiri Terjan tersebut, uang yang mereka peroleh diperuntuk naik haji, membeli kendaraan bermotor, merenovasi rumah, membeli emas, membeli sawah atau tanah, dan membeli ternak.

Tindakan eksplorasi yang dilakukan oleh perusahaan tambang telah membuka lahan pekerjaan tersendiri kepada masyarakat sekitar situs. Perusahaan melibatkan penduduk sekitar untuk menjadi pekerja. Mereka bekerja sebagai kuli panggul, operator alat berat, dan hingga menjadi mandor.

Besaran upah pekerja yang didapatkan dari perusahaan tambang adalah bervariasi. Untuk kuli panggul Rp. 50.0000 dengan jam kerja pukul dua malam sampai tujuh pagi. Mereka yang bekerja sebagai operator alat berat diberi upah sebesar Rp. 600.000 per bulan. Selanjutnya bagi mereka yang menjadi mandor,mendapatkan gaji sebesar Rp. 1.200.000 per bulan.

Mengapa Situs Terjan Rusak

Berdasarkan data lapangan di atas, ditemukan lima aspek yang berhubungan dengan rusaknya situs terjan ini. Lima aspek tersebut meliputi aspek sejarah, politik dan hukum, pendidikan, aspek ekologi, serta aspek ekonomi.

Pertama, aspek sejarah. Terdapat pengaruh kebijakan Pemerintah Kolonial saat itu yang melarang keras tokoh desa maupun masyarakat untuk melestarikan situs. Hal inilah yang kemudian menyebabkan hubungan antara masyarakat Terjan dengan Situs Terjan tidak terbangun. Tidak satupun sistem kepemimpinan yang ada di desa Terjan, menyentuh hingga ke ruang lingkup Situs. Jika sentuhan dari sistem kepemimpinan itu ada, itu hanya setelah terjadinya perusakan benda purbakala yang ada di atas bukit Selodiri Terjan.

Kedua, aspek politik dan hukum. Dalam hal perpolitikan tingkat desa, Situs Terjan tidak memiliki tarikan sedikitpun dengan masyarakat sekitar. Masyarakat Terjan cenderung meyakini bahwa Buyut Kandut-lah yang memberi kekuatan dan restu ketika ada penduduk yang memiliki hajat politik. Buyut Kandut-lah yang dijadikan tokoh sosial. Tampaktiap tahunnya diadakan pagelaran sedekah bumi beserta kegiatan kesenian dan keagamaan, tepat di makam Buyut Kandut, bukan Situs Terjan.

Ketiga, aspek pendidikan. Dua hal yang perlu diperhatikan dalam aspek pendidikan ini. Pertama hubungan Situs Terjan dengan kurikulum sekolah. Kedua, hubungan situs terjan dengan tindakan penelitian terdahulu.

Memang secara kurikulum sekolah, Situs Terjan sebagai peninggalan masyarakat megalitikum, dapat dijadikan sumber belajar, namun kenyataannya tidak digunakan sebagai sumber belajar. Masyarakat sekolah sekitar situs hingga sekarang tidak menggunakan sumber belajar yang langka ini. Begitu juga dengan peneliti dari tim Balar tentang Situs Terjan yang dilakukan semenjak 1977 hingga tahun 1981, tampaknya tidak melibatkan masyarakat sekitar. Sehingga pesan penting dari hasil penelitian untuk kehidupan masyarakat Terjan, tidak tersampaikan.

Situs Terjan yang harusnya tampil untuk dijadikan sebagai instrumen dalam mengenali hingga menggunakan kembali ilmu pengetahuan yang pernah berkembang dan dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah hidup dikemudian, tidak terbukti. Dapahal dengan mengenali dan menggunakan ilmu pengetahuan itu, identifikasi menuju masyarakat sebagai simbol peradaban yang agung bisa didapatkan, namun sayangnya tidak terjadi.

Keempat, aspek ekologi. Bukit Selodiri yang terdapat situs terjan tersebut, tidak diyakini memiliki hubungan relasioner dengan ketersediaan air di sekitar. Keyakinan masyarakat Terjan terhadap sumur yang di buat oleh Buyut Kandut lebih dominan dalam mencukupi kebutuhan air minum sehari-hari di banding sumber air dari bukit Selodiri.

Kelima, aspek ekonomi. Adanya kekuatan investor yang masuk untuk mengeksplorasi. Bukit Selodiri Terjan adalah tanah berpajak milik penduduk Terjan, bukan tanah milik pemerintah. Sehingga pemilik sekitar situs, termasuk pemilik tanah yang diatasnya ada benda purbakalanya ini, ingin segera menjual tanahnya kepada penambang. Mereka juga ingin naik haji, membeli kendaraan bermotor, merenovasi rumah, membeli emas, membeli sawah atau tanah, dan membeli ternak seperti yang dirasakan penduduk lainnya yang telah berhasil menjual tanah di kawasan bukit selodiri terjan ini.

Hingga sekarang, keberadaan perusahaan tambang bahan baku semen di kawasan bukit ini, telah memberi lahan pekerjaan kepada masyarakat sekitar. Sebagai kuli panggul, operator alat berat, dan mandor merupakan pekerjaan alternatif, setelah petani dan buruh kasar lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Berdasarkan temuan lapangan di atas, dapat disimpulkan bahwa relasi antara Situs Terjan dengan lima aspek di atas memiliki kecenderungan disfungsi. Dengan demikian, wajar jika Situs Terjan ini rusak dan berpotensi tidak lestari.

Pamotan, 24 Februari 2013

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun