Mohon tunggu...
Suhadi Rembang
Suhadi Rembang Mohon Tunggu... Guru Sosiologi SMA N 1 Pamotan -

aku suka kamu suka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hegemoni dan Perlawanan (Terhadap) Kurikulum 2013

11 Desember 2014   17:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:32 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Entah sampai kapan, tiap kali diberlakukan kurikulum baru dalam pendidikan, cenderung menuai polemik yang tidak kunjung padam. Hal ini dapat dilihat ekspresi penolakan secara massif terhadap kurikulum 2013 oleh guru, siswa, dan masyarakat. Namun sebaliknya, pengusung kurikulum menanggapi dengan ekspresi ngotot, pokoknya harus diberlakukan. Tampaknya, pengetahuan macam apa yang diperlukan anak didik dan bagaimana cara menanamkannya, masih belum final. Padahal idealnya kita harusnya sudah selesai dalam tataran tersebut. Lantas mengapa terdapat ekspresi yang bertolak belakang dalam menanggapi kurikulum baru yang diberlakukan?

Hal yang perlu dicermati adalah posisi lembaga pendidikan terhadap lembaga sosial lainnya yang berperan vital dalam pencukupan kebutuhan sosial. Melalui relasi fungsi antara lembaga pendidikan dengan lembaga sosial lainnya inilah, dapat dipetakan mengapa terjadi ekspresi penolakan setiap ada pembaruan kurikulum dalam dunia pendidikan.

Kurikulum memiliki kedekatan dalam hal pengetahuan apa yang diberikan dan pendekatan apa yang digunakan. Konsekwensi dari perubahan kurikulum yang dipilih selalu memiliki konsekwensi perubahan terhadap berbagai hal. Berbagai hal itu diantaranya; sumber belajar, alat peraga, sarana dan prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem evaluasi belajar, hingga keterhubungan dengan industri pencitraan dan lokomotif politik anggaran. Beberapa pertanyaan dapat diajukan untuk melihat relasi-relasinya adalah sebagai berikut.

Sumber belajarnya apa, asalnya dari mana, siapa yang membuat, siapa yang menggandakan produknya, dan berapa harganya? Alat peraganya apa, bagaimana relevansi alat peraga terhadap permudahan dalam memahami materinya, siapa yang memproduksi, dan bagaimana cara mengoperasikanya? Sarana dan prasara apa yang harus tersedia, siapa yang membiayai, dan siapa yang mengerjakanya? Butuh tenaga pendidik dan  kependidikan dari jurusan apa, kompetensi apa yang dimiliki, pelatihan apa yang diperlukan, apa saja yang perlu dibuat dan dilakukannya? Sistem evaluasi apa yang digunakan, alat ukur yang perlu disiapkan, dan bagaimana cara pengukurannya? Kemudian industri pencitraan apa diharapkan, siapa penentu anggaran pendidikan, hingga siapa saja yang dilibatkan dalam pengguna anggaran.

Dari beberapa pertanyaan di atas, tampak jelas bahwa perubahan kurikulum memiliki relasi kompleks yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Perihal sumber belajar setidaknya melibatkan para ahli, penulis, percetakan, distributor, dan penjual. Begitu halnya dengan alat peraga. Perihal sarana dan prasarana setidaknya melibatkan besaran anggaran yang alokasikan, kejelasan sumber anggaran, pelaksana anggaran, kontraktor bangunan, dan tenaga yang terlibat dalam pengerjaannya. Perihal tenaga pendidik dan kependidikan setidaknya melibatkan perguruan tinggi dalam membuka program jurusan, antrian lulusan yang penuh harap kerja, penambahan keahlian dan keterampilan. Perihal sistem evaluasi juga setidaknya berhubungan dengan peran yang dilakukan siswa, keterampilan guru dalam menilai, alat ukur penilaian yang dipasarkan, kepastian orang tua dalam menerima hasil belajar anak, hingga kepastian anak dalam memutuskan diri untuk memilih jurusan pendidikan dan mengimplementasikan dalam dunia kerja. Dan perihal industri pencitraan dan lokomotif politik anggaran, setidaknya melibatkan strategi pemerintah dalam membangun citra mulia melalui layanan pendidikan, dan ploting proyek pendidikan, dan masih banyak lagi.

Berdasarkan deskripsi diatas, ternyata pemberlakukan kurikulum memiliki relasi terhadap mozaik kehidupan sosial sekaligus bertalian dengan lembaga-lembaga sosial lainnya. Tampak jelas lembaga yang bertalian mesra dengan kurikulum adalah lembaga ekonomi dan politik. Melalui kurikulum, lembaga pendidikan telah dipaksa melampaui batas fungsinya. Perluasan fungsi itu adalah lembaga pendidikan sebagai saluran lapangan pekerjaan dan melanggengkan kekuasaan yang ada.

Dengan reproduksi fungsi di atas, kurikulum telah tampil sebagai penentu dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai kunci dalam membangun dinamika sosial yang ada, melalui kurikulum yang diberlakukan di lembaga pendidikan, pemerintah telah mendominasi apa yang harus dilakukan dan apa yang akan didapatkan masyarakatnya. Kurikulum juga telah menjadi alat untuk mempertahankan dan melegitimasi kedudukan dan posisi pemerintah yang berkuasa. Pada saat itulah pemerintah telah mendominasi masyarakatnya tanpa merasa terancaman, dan apa yang diputuskan pemerintah telah diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense). Realitas ini lah yang kemudian dapat disebut sebagai hegemoni kurikulum pendidikan. Hegemoni kurikulum merupakan sebuah   instrumen   dominasi   yang   memberikan  pada   kelompok penguasa legitimasi untuk berkuasa dengan upaya-upaya politis, kultural dan intelektual, bukan dengan kekerasan.

Karena relasi antara kurikulum lebih berkiblat pada pemenuhan kesejahteraan dan kekuasaan, bukan lagi pada proses sadar untuk terbebas dari keterbelakangan dan pencerahan, maka semakin buruk kualitas kurikulum kita, semakin pula memberi harapan terhadap keberlimpahan kepemilikan dan kekuasaan. Pada saat itulah reproduksi keterpurukan kurilulum diulang-ulang. Perbaikan kurikulum adalah simbol dari ancaman kesejahteraan dan kekuasaan.

Ketika pembaruan kurikulum memiliki relasi kuat terhadap perubahan kesejahteraan dan kekuasaan menjadi kelanggakaan kepemilikan dan kewenangan, maka perlawanan menjadi tindakan yang sangat wajar untuk ditampilkan. Mereka yang terancam, akan berlomba-lomba menolak pemberlakukan kurikulum baru yang digunakan dalam lembaga pendidikan.

Meraka yang memiliki relasi terhadap konsekwensi perubahan kurikulum, akan saling melawan. Mulai dari para ahli, penulis, percetakan, distributor, penjual, broker, wakil rakyat, pelaksana anggaran, kontraktor bangunan, perguruan tinggi, lembaga pelatihan, tenaga pendidik dan kependidikan, siswa, guru, orang tua, hingga industri dan perusahaan, saling melawan satu dengan yang lainnya.

Perilaku menyontek, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, bolos sekolah, tawuran pelajar, penggunaan narkoba, adalah ekspresi kecil dari perlawanan siswa. Selanjutnya perlawanan guru ditunjukkan dengan tidak mematuhinya pendekatan pembelajaran dengan baik. Mereka para guru cenderung meyakini dengan kurikulum sebelumnyalah yang lebih tepat dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Para orang tua pun demikian. Penolakan menjadi alasan halus dalam melawan pemberlakuan kurikulum baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun