Apapun jenis mata pelajaran dalam kurikulum kita, baik mulai mata pelajaran sosial, eksak, agama, seni, bahasa hingga keterampilan dan muatan lokal bahkan mata ekstrakulikuler lainnya, harus mengarah pada kesadaran dalam mengidentifikasi daya perang untuk meraih kedamaian. Jika dalam mendudukkan mata pelajaran saja tidak pecus, mana mungkin juru damai akan terlahirkan?
Kedua adalah sumber belajar. Adalah penting untuk diketahui ketika menyoal apakah sumber belajar kita telah berlimpah nilai-nilai perdamaian. Dalam meraih perdamaian, sumber belajar kita tidak boleh stagnan. Sumber belajar untuk para siswa harus selalu bergerak. Sumber belajar adalah kita sendiri, udara, air, tanah, cuaca, rasa, hingga keinginan baik yang ingin kita miliki. Apapun yang di sekitar kita, siapapun jauh dan dekatnya, semuanya dapat dijadikan sumber belajar. Dengan inilah, sumber belajar akan sangat peka terhadap arah dikemudian nanti.
Kapan “apa yang ada di dekat kita” menjadi sumber belajar? Kapankah “siapa yang ada” juga menjadi sumber belajar. Sumber belajar menuju kehidupan yang damai adalah mempelajari nilai-nilai hidup damai kita sendiri. Walaupun kita telah belajar nilai-nilai kedamaian dari luar, belum tentu pengalaman belajar kita dapat kita terapkan. Hal yang paling mendasar adalah memuliakan nilai-nilai perdamaian yang ada pada masyarakat Indonesia untuk dipelajari para siswa. Dengan menggunakan sumber belajar tersebut, setidaknya anak didik kita mengetahui keragaman nilai-nilai damai.
Kalau kita mau jujur, jika kita dicubit sakit, harusnya kita tidak mencubit. Kalau kita dihianati sungguh sakit, pastilah kita tidak akan berhianat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, kita saling mencubit dan saling berhianat hanya atas dasar ingin hidup damai. Inilah bukti bahwa kita selama ini tidak menggunakan sumber belajar akan nilai-nilai perdamaian yang ada disekitar kita. Kita cenderung asyik dengan sumber kedamaian yang semu. Dan ironisnya, kita merasa benar-benar bangga akan semua itu.
Sudah saat kita serius menggunakan sumber belajar ragam nilai-nilai perdamaian dari masyarakat kita sendiri. Sudah saatnya kita gunakan sumber belajar yang berlimbah nilai-nilai perdamaian akan hukum alam. Sudah saatnya kita cakap dalam menggunakan bahasa kita dalam menjalin sosialisasi, internalisasi, dan enkulturasi kasih sayang. Saatnya pula kita menggunakan ruh keimanan kita untuk sumber belajar perdamaian. Dan juga, sudah saatnya kita percaya diri dalam sumber belajar seni kita sendiri. Kesenian milik kitalah yang memahami alur apakah kita ini mahluk pecinta seni, yaitu jujur, suci, dan mawas diri, atau sebaliknya.
Lanjut ketiga adalah metode mengajar perdamaian untuk calon juru damai. Bagaimana metode mengajar untuk calon juru damai? Apakah selama ini metode mengajar kita telah mengantarkan anak didik kita menjadi juru damai yang handal? Atau sebaliknya, bahwa metode mengajar kita cenderung membangkit ketidakadilan hingga berujung cinta akan peperangan. Jawabnya memang demikian.
Kita punya Ki Hajar Dewantara, kita punya Taman Siswa, kita punya alur macapat yang penuh makna, kita punya Pondok Pesantren, kita punya Vihara, kita punya Pura, kita punya Gereja, kita punya Pohon, kita puya Gunung, kita punya laut, dan kita punya alam yang di atasnya terbentang garis khatulistiwa, tapi sayangnya kita tidak piawai dalam menurunkan DNA metode pembelajaran itu di dalam kelas yang eropa sentris itu. Sungguh sangat muak melihat ini semua!!!
Liihat saja metode pembelajaran yang dihantarkan pada anak-anak didik kita. Metode pembelajaran kita semakin sepi dengan kunjungan akan kawah nilai-nilai perdamaian. Metode belajar kita hanya dekat dengan peralatan elektronik, namun menjauhkan dari asal muasal pesan moral peralatan itu tercipta. Ruang kelas kita pun tak ubahnya seperti ruang expo dan pentas elektronik semata, dan selebihnya metode pembelajaran digunakan pintu transaksional dalam mendisribusikan peralatan yang tidak lagi ramah, tidak hemat energi, dan penghisap keringat buruh di negeri ini.
Menjadi bangsa bahari, metode pembelajaran terbaik adalah berkunjung dan saling mengunjungi. Kunjungan lapangan adalah strategi pembelajaran untuk menjaga dan melestarikan modal sosial kita nanti. Merasakan dari apa yang mereka rasakan, melakukan dari apa yang mereka lakukan, adalah strategi pembelajaran berbuah empati. Teknik kunjungan lapangan adalah cara merajut kembali dari benang kehidupan yang semakin berkarat dan terurai di hari ini. Dengan demikian, metode pembelajaran kita nanti selalu berlimpah makna damai disepanjang hayat nanti.
Mari sejenak kita tundukkan kepala. Masih banyak isi kurikulum di setiap satuan pendidikan ini yang perlu kita koreksi. Mulai dari mata pelajaran, sumber belajar, hingga metode belajar sudah saat nya memihak kedamaian. Kurikulum kita harus dijauhkan dari rasa ancaman. Memuliakan antar suku, agama, ras, hingga golongan adalah harga mati. Namun jangan lupa, jangan pernah sekali-kali memasukkan kurikulum kita akan perangai. Bangsa ini sungguh memiliki alur dan nada perang yang begitu tinggi. Hanya kurikulum perdamaian-lah yang akan merajut keberagaman ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H