Mohon tunggu...
Suhadi Rembang
Suhadi Rembang Mohon Tunggu... Guru Sosiologi SMA N 1 Pamotan -

aku suka kamu suka

Selanjutnya

Tutup

Politik

Merajut Kedamaian dalam Kurikulum di Negeri Ini

9 Mei 2017   00:28 Diperbarui: 9 Mei 2017   04:05 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kekerasan simbolik dalam kehidupan sehari-hari (Foto Mas Ardy dan Mufid, 2017)

Apapun nama kurikulum kita, yang utama adalah yang memuat nilai-nilai kedamaian. Negara harus menjamin warganya dalam memiliki karakter juru damai. Mulai dari mata pelajaran, sumber belajar, pengajar, metode mengajar, hingga instrumen evaluasi nya harus merajut perdamaian. Bukan berarti tidak penting memahami mengapa harus memihak pada kurikulum perdamaian, namun bangsa ini sudah lelah dengan hidup dalam keadaan terancam.

Memang dalam tataran konsep, paling jagolah bangsa kita. Mendesain kurikulum ala nusantara, ala asing, hingga beraroma gado-gado, sungguh mudah. Jenis apapun kurikulum kita, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,evaluasi, dan tindak lanjut, di atas kertas kita selalu melaporkan berhasil. Namun semua itu tiada guna karena laporan itu tidak lain dan tiada bukan hanya hasil tipu-tipu alias asal bapak senang. Seakan tiap detik rasa damai ini terancam. Lihatlah, semua orang ingin menumpuk harta sebanyak-banyaknya karena terancam anak-anaknya tidak terjamin pendidikannya. Semua orang saling mencari kesempatan untuk saling memakan. Hanya tinggal menunggu ruang dan waktu yang pantas, pasti akan bergantian memakan.

Mereka yang ahli tambang, ujung-ujungnya membuat kubangan bencana. Mereka yang ahli obat, ujung-ujungnya membuat kebal penyakit. Mereka yang ahli air, ujung-ujungnya melangkakan air. Mereka yang ahli udara, ujung-ujungnya membuat bising langit. Mereka yang ahli tanah, ujung-ujungnya mempersempit ruang. Apakah yang demikian yang diharapkan kurikulum kita? Jangan jawab tidak, karena semua telah terbukti demikian.

Walalupun demikian, kita selaku warga negara Indonesia harus percaya diri bahwa ruh setiap kurikulum adalah harus memanen juru damai. Kurikulum harus digunakan untuk menyiapkan akan bagaimana suatu masa yang akan datang, tergambarkan. Terlebih Indonesia yang alam dan sosialnya cukup rentan dengan peperangan.

Lantas bagaimana kurikulum kita posisikan? Kurikulum sudah saatnya kita posisikan sebagai pintu masuk dalam mengidentifikasi tingkat rawan peperangan. Mengidentifikasi rawan perang sama halnya melestarikan kedamaian. Untuk itu, hal penting yang didudukkan dalam kurikulum adalah bagaimana kurikulum mampu mengakses mitigasi kebencanaan guna bahan racikan menuai kedamaian.

Lantas bagaimana skenarionya? Mari kita duduk bersama. Duduk bersama dalam mengintip mata pelajaran yang kita berikan, sumber belajar yang terberikan, dan metode mengajar yang kita hantarkan.

Pertama adalah pentingnya menimbang ulang mata pelajaran. Sampai kapan mata pelajaran kita memihak nilai-nilai perdamaian? Lihatlah rumpun ilmu sosial, eksak, bahasa, seni, agama, hingga keterampilan dan muatan lokal bahkan mata ekstrakulikuler. Untuk mengukur apakah mata pelajaran kita telah memihak perdamaian adalah sebatas mana materi yang diajarkan itu membuka akses dalam mengidentifikasi rawan perang. Apakah mata pelajaran sosial kita telah buka-bukaan mengantarkan anak didik kita dalam mengetahui potensi konflik sosial? Jawabnya adalah tidak. Materi sosial kita cenderung berjubel materi impor berbuih hafalan siap tertinggal zaman.

Apakah materi pelajaran eksak kita telah buka-bukaan akan daya kritis sumber daya alam? Jawabnya pu tidak. Mata pelajaran eksak kita hanya penuh dengan rumus-rumus algoritma saja. Mereka yang dianggap tuntas belajarnya, sungguh sebenarnya tidak berdaya dalam mengaplikasikan ilmunya untuk mendamaikan kasak-kusuk rebutan sumber daya alam hingga angkasa yang ramai diperebutkan.

Apakah juga mata pelajaran bahasa kita sudah duduk pada aras damai? Semakin jauh api dari panggang. Mata pelajaran bahasa kita semakin melesat jauh dari identitas kebangsaan. Guru dan para siswa semakin langka mencintai bahasa ibu. Mereka tidak lagi senang berbalas pantun apalagi bergurindam. Pilihan diksi dan rangkaian kalimatnya semakin nyinyir dan selalu semerbak aroma anyir. Bahasa kita tidak lagi mampu menembus ruang terbuka dalam mengidentifikasi rawan urat nada. Bahkan bahasa kita semakin tragis nasibnya, telah terjerembab dalam alunan dusta namun indah di hati para munafik di negeri tercinta. Bahasa kita tidak lagi menjadi juru damai. Tanda dan penanda dalam bahasa kita cenderung memasuki ruang perang, laksana api dalam sekam.

Hal yang patut kita tangisi pula adalah mata pelajaran seni kita. Seni kita tidak lagi pasti mencukupi kebutuhan keindahan. Buktinya adalah liberalisasi tubuh dan eksploitasi pornoaksi. Materi mata pelajaran seni kita tidak lagi mengakomodir aliran perdamaian. Mata pelajaran seni kita tidak mampu mengidentifikasi sebab hilangnya nada-nada damai dari penjuru kelompok etnis dan budaya. Mata pelajaran seni kita juga semakin melesat meninggalkan akar seni tradisi yang telah dipandang tertinggal. Ruang kelas kita telah dijejali pentas alat elektronik yang lewah energi. Taman pendidikan kita semakin berjubel alunan musik penuh dengan kemalasan, hura-hura, dan transaksi nada cie-cie. Pun dengan mereka yang sedang asyik memangku kuasa hingga yang terkuasakan, janganlah bermain nada perang dalam meniti masa depan. Sungguh menyebalkan dunia seni kita ini!!!

Apakah mata pelajaran agama juga bernasib demikian? Apakah mata pelajaran agama telah menuntun anak didik kita untuk mengidentifikasi menjadi juru ketenangan? Ataukah masih berkutat pada labelisasi, indoktrinasi, hingga arogansi kiblatisasi simbol suci? Lagi-lagi, jangan jawab tidak, karena kenyataannya demikian. Mata pelajaran kita tidak lagi menjadi ruh iman. Pemaksaaan untuk beribadah menjadi hal utama. Entah kapan ketaatan beragama menjadi sebuah rasa malu terhadap diri, selaku umat ber-agama. Dan tragisnya, mata pelajaran agama telah menjadi pembenar saat membenci beda keyakinan. Bahkan semangat keimanan dijadikan alat meraih kuasa untuk menindas dan mempermalukan mahluk ciptaan Tuhan. Mata pelajaran macam apa ini??? Bukankah mata pelajaran agama adalah seni menata ketenangan? Sungguh yang kita rindukan adalah mata pelajaran agama yang penuh dengan kasih dan sayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun