“Mboten. Niku wau tangklet babakan nikah. Niku lho mas, tiyang Bekasi ajeng nikah teng mriki. Dados piyambake tangklet sarate nopo mapon. Ngoten,” tegas jawab Ashadi.
“Nggih, nggih, nggih. Terus yen ajeng mangertos cerita tutur niku kalih sinten mawon?”,tambah harap kami.
Nggih niku mas. Ingkan paling mangertos nggih mbah Kadar kalian mbah Sirin. Niku tiyang kalih. Wonten malih, mbah Mad. Tapi nggih nembe mawon kapundut,” jawab Ashadi.
Seraya mengidentifikasi pelaku tutur di desa ini, malam tadi kami mendapatkan enam penutur yang akan kami datangi. Pun juga tidak lepas, melalui pak Ashadi, kami mendapatkan alur penutur pendukungnya.
Malam yang cukup banyak harapan dalam meniti cerita tutur desa Kumbo. Kami pun mendapatkan pola struktur dari beragam sudut. Pemilik tanah, pendidik, pemuda, kegiatan sosial keagamaan, hingga potensi lingkungan desa Kumbo.
Selepas dari rumahnya, kami bertiga bergegas menata buah tanya. Apakah penamaan “Kumbo” berhubungan mesra dengan barisan pegunungan nan kokoh yang mengitari pemukiman desa ini? Ataukah nama “Kumbo” bertaut kelindan dengan setting peristiwa masa lalu, yang menyimpan aroma rahasia ramai namun sunyi karena tujuan yang mulia? Ataukah yang lainnya? Nantikan kelanjutan mengungkap tabir desa kumbo part 2.
Kumbo, 07 Maret 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H