Mohon tunggu...
Suhadi Rembang
Suhadi Rembang Mohon Tunggu... Guru Sosiologi SMA N 1 Pamotan -

aku suka kamu suka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kembalikan Ruang Kelasku

22 November 2016   17:46 Diperbarui: 22 November 2016   19:42 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang kelas mereka adalah sejauh mata memandang

Ruang kelas sekolah hari ini tak ubahnya menjadi ruang ekspo elektronik. Ruang kelas semakin berjubel dengan peralatan kursi, bangku, AC, LCD, speker aktif, dan komputer. Kabel dan kabel berserak entah kemana. Ruangan semakin jauh menutup diri.

Ruang kelas mereka adalah sejauh mata memandang
Ruang kelas mereka adalah sejauh mata memandang
Alih-laih dunia ada di gengaman, hadirnya smartphone semakin menutup diri. Masuk pagi, pulang menjelang sore, mereka para murid, tak ubahnya seperti domba-domba. Dan ironisnya, mereka digembala oleh penggembala yang sibuk dengan domba-domba semu lainnya. Jauh dan semakin jauh dari kehidupan yang nyata.    

Walaupun tidak semuanya, itulah sedikit kritik atas gambaran dinamika ruang kelas yang ada di sekolah saat ini. Semua diatur sedemikian rupa dengan kendali struktur yang ada. Siswa tak lagi mampu menembus temboknya. Apalagi menembus tembok, mengintip tembok sekolah saja tidak bisa. 

Bukankah para siswa nantinya juga menjadi anggota masyarakat? Bukankah para siswa inilah yang nantinya kita harapkan menjadi para pengabdi sosial dan pemulia kemanusiaan? Mengapa mereka cenderung dijauh tutupkan pada kehidupan nyata? Terlebih skenario sekolah yang demikian sangat butuh dana yang tidak murahan?     

Lihat saja bagaimana perubahan yang cukup deras terhadap ruang kelas kita. Saat saya sekolah, jendela-jendela sekolah cukup lebar dan tinggi. Seandainya ada goncangan gempa saat itu, semua manusia yang ada di kelas tidak lagi berdesak berebut pintu untuk keluar kelas. Namun sekarang berbeda, jendela kelas jauh di atas kepala. Itupun ditutup jeruji besi dan panel plastik. Semua sepakat alasannya adalah agar pencuri tidak bisa mengambil barang-barang elektronik di dalam kelas.    

Sepoi angin nan lembut, dan hamparan taman sekolah tak lagi dijangkau oleh sejauh mata memandang. Memang berhawa dingin saat PLN tidak collaps, tetapi di saat listrik mati suri, semua berubah. Ruang kelas seakan pabrik baja. Panas, panas, dan panas. Sungguh ironis, pembelajaran desain ruang kelas masa lalu, hanyut seiring kebijakan anggaran yang memihak tekonologi, namun jauh dari sentuhan alam sosial yang humanis nan asri.    

Pun dengan model pembelajaran saat ini. Tampak guru gagah dengan keilmuan tinggi. Namun usut punya usut, semua yang dihadirkan di dalam kelas, hanya hasil download dan copy paste karya teman sana dan sini. Materi yang dihamparkan tak ubahnya riak gelombang yang menyapu bersih semua potensi alam pantai dan muara sungai nan elok ini. 

Bukankah hari ini adalah hari esok murid-murid nanti? Tetapi mengapa kebijakan 24 hanya untuk mengajar guru? Mengapa 24 jam bukan untuk belajar guru? Sudah saatnya, penguasa ruang dan waktu di kelas adalah para pemulia budi pakerti nan agung dan harmoni.    

Bukalah ruang kelas dengan lebar. Jangan berikan sekat antara ruang kelas dengan realitas. Satukan keduanya dalam skenario pembelajaran dan kehidupan yang menarik. Dan semuanya harus tunduk pada pemuliaan masa depan negeri. Mereka bukanlah domba-domba yang harus lari tunggang langgang ketika sang predator datang. Siswa harus gagah berani mangarungi sejauh asa menembus, meraih mimpi untuk memuliakan negeri.    

Memang ruang kelas tidak bisa dihilangkan. Ruang kelas harus tetap ada. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah desain kelas nan ramah, kelas nyata, bukan ruang kelas yang hanya menjadi ruang ekspo elektronik produk-produk impor luar negeri. Jangan jadikan ruang kelas hanya menjadi objek untuk pintu masuk kepentingan kantong-kantong pribadi. Desain ruang kelas sudah saatnya dikembalikan pada sang pemilik negeri. Guru, siswa, alam, udara, air, tanah, dan cahaya, harus menyatu.    

Siswa dan guru harus sama-sama belajar. Ruang kelas yang sebenarnya adalah kenyataan yang ada. Jadikan ruang kelasnya menjadi alam semesta. Jadikan ruang kelasnya, menjadi udara sejuk nan asri. Jadikan ruang kelasnya menjadi air mengalir yang menghidupkan. Jadikan ruang kelasnya menjadi tanah yang subur, dan jadikan ruang kelasnya, menjadi cahaya penerang. Bukan sebaliknya, ruang kelasnya semakin jauh dari kenyataan yang ada. Belajar adalah menembus ciptakaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Menjadi manusia yang taat, peduli, dan semakin peka terhadap masalah alam sosialnya.    

Guru dan siswa adalah pengembara dan pengelana ilmu. Mereka harusnya bebas kemana saja. Mereka harus tahu tentang asal muasal kehidupan. Dan mereka juga harus tahu, kemana saja kehidupan ini berpulang.    Ruang kelas mereka adalah sejauh mata memandang. Ruang kelas mereka adalah sedalam batin mendengar. Dan ruang kelas mereka adalah keingin-tahuan mereka terhadap memuliakan keberagaman. Bukalah tempok ruang kelasku ini. Aku sudah muak atas semua yang ditutup-tutupi. Kembalikan Ruang Kelas Sekolahku, Wahai Para Penguasa Negeri...!  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun