Sedikit Perjalanan Silat
Pencak Silat merupakan bagian dari paket besar kebudayaan Indonesia yang begitu kental dan sudah tertanam sejak lama sekali. Silat diperkirakan sudah ada sejak peradaban Austronesia yaitu tahun 6000 SM-1 M di Nusantara (Wirayudha, 2018). Kebutuhan akan bela diri ini adalah bentuk dari persaingan antar kelompok dan keterampilan untuk bertahan hidup. Silat merupakan salah satu budaya Indonesia yang lahir dari berbagai percampuran budaya bangsa-bangsa lain seperti Arab, India, Jepang, dan Cina.
Kuntao yang merupakan salah satu seni bela diri yang berasal dari Cina, berperan besar sebagai asal-muasal kelahiran berbagai beladiri diri baru di Asia Tenggara pada abad ke-19 dan silat menjadi salah satu bela diri yang terinspirasi dari kuntao (Draeger, 1972). Silat terus mengalami transformasi dan revolusi dalam ajaran fisik dan nilai filosofisnya. Hingga pada abad ke-20 awal, sebuah perguruan silat lahir pertama kali di Indonesia dengan nama Perguruan Setia Hati (PSH) yang berdiri pada 1903. Disusul oleh berdirinya Perguruan Setia Hati Terate (PSHT) pada 1922 yang menjadi cikal bakal perguruan silat terbesar di Indonesia nantinya (Imaduddin, 2020).
Keresahan Masyarakat
Bela diri silat banyak dikagumi di luar negeri sebagai bela diri yang memiliki gerakan dan jurus-jurus yang indah. Di Indonesia sendiri, silat dianggap sebagai warisan budaya yang masih banyak digandrungi para pemuda hingga orang yang sudah tua sekalipun. Label “Bela Diri” yang melekat pada silat berimbas pada kesalahpahaman masyarakat perihal silat itu sendiri. Silat yang awalnya dikembangkan sebagai seni dan warisan kebudayaan, berubah menjadi sebuah metode bertarung dan cara berpikir yang arogan mengenai kekerasan.
Arogansi yang diciptakan dari mempelajari silat membuat para murid perguruan silat memiliki cara pandang yang ekstrim dan mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam ruang lingkup masyarakat. Meskipun pihak-pihak yang bermasalah dari kelompok silat sering dianggap sebagai oknum, rasanya ada sesuatu yang salah dari akar pembelajaran di pendidikan silat itu sendiri.
Silat dan organisasi-organisasi yang membawa nama “silat” sebagai marwah perguruan mereka seharusnya menjadikan silat sebagai sebuah produk budaya yang bisa dilihat keelokannya oleh masyarakat awam. Gerakan-gerakan unik secara fisik dan pengaturan diri dari segi spiritual mestinya membuat silat dikenal sebagai bela diri yang diselubungi kesehatan berpikir dan hangatnya sebuah kebijaksanaan dari ide-ide yang merumuskan tatanan silat.
Namun, kini yang melekat pada perguruan silat dan pegiat silat didominasi oleh stigma yang buruk dari perspektif masyarakat awam. Hal ini terjadi karena perkembangan silat akhir-akhir ini nampaknya hanya menghasilkan konflik sosial yang melibatkan banyak anggota perguruan silat. Tawuran antar perguruan silat, perundungan di dalam perguruan silat, kasus kekerasan yang melibatkan anggota perguruan silat, merupakan hal-hal yang mencoreng citra silat itu sendiri. Seolah-olah silat semacam ideologi yang menuntun siapapun yang mempelajarinya ke arah jalan kekerasan dan fanatisme yang berlebihan.
Kekerasan Hal yang Lumrah bagi Para Pesilat?
Pesilat biasanya menamai diri mereka sebagai seorang pendekar. Pendekar yang dimaksud tentunya adalah orang yang kerap bertarung dan berselisih dengan jalan kekerasan fisik. Di beberapa kasus terjadinya bentrok antara para pesilat, motif untuk memulai perseteruan menggunakan jalan kekerasan tidaklah terlalu jelas.
Bisa disimpulkan bahwa motif-motif tersebut terkesan sepele, seperti kasus pengeroyokan di Gresik yang diawali dari dua anggota silat yang sedang duduk di warung kopi mencegat gerombolan anggota silat dari perguruan lain. Hal sepele itu ternyata memicu peristiwa berdarah yang nantinya akan mengakibatkan salah satu anggota silat meregang nyawa (Arfah, 2024). Peristiwa-peristiwa yang menyebabkan kerugian fisik dan psikis ini sepertinya sudah menjadi pola umum dan melekat kepada anggota silat di Indonesia. Lalu, mengapa hal-hal ini bisa terjadi dan menjangkiti para pelaku bela diri kebanggan Indonesia ini?
Menurut Isnawan (2023), salah satu hal yang memicu terjadinya tawuran di antara para pemuda adalah krisis jati diri dan perilaku yang timbul akibat keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari kelompok lain. Sangat cocok jika kita mencoba memahami para pelaku tawuran antar perguruan silat yang sedang marak terjadi hari-hari ini. Para oknum penyebab memburuknya hubungan antar perguruan silat biasanya memang mencari celah sekecil apapun untuk memulai perselisihan dengan pesilat dari perguruan lain. Isnawan (2023) menambahkan bahwa pelaku tawuran cenderung melakukan kekerasan akibat tekanan sosial kelompoknya sendiri, entah dipengaruhi oleh teman sebaya ataupun pemuka kelompok yang lebih senior dan sudah akrab dengan tawuran.
Selain itu, fanatisme yang berlebihan terhadap kelompok sendiri menjadi pemicu terbesar mengapa para oknum pesilat ini berujung melakukan tindak kekerasan terhadap pesilat dari perguruan lain. Fanatisme ini lebih lanjut membuat individu lebih mementingkan tujuan kelompok dan menaruh rasa emosional yang tinggi terhadap perguruan silatnya sehingga secara tidak sadar melupakan dirinya sendiri sebagai makhluk yang bisa berpikir secara logis.