Mohon tunggu...
Muhammad Erza Aimar Rizky
Muhammad Erza Aimar Rizky Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Indonesia

Tertarik pada isu keamanan dan geopolitik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjadi Garuda di Angkasa dan Landak di Samudera: Pelajaran dari Taiwan dan Ukraina untuk Doktrin Maritim Nasional

31 Mei 2024   22:31 Diperbarui: 31 Mei 2024   22:49 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Potensi ketegangan di Laut Natuna Utara telah menjadi salah satu fokus utama dari pembuatan kebijakan keamanan nasional. Kementerian Pertahanan dan TNI dalam satu dekade terakhir telah berupaya meningkatkan kapabilitas pertahanan nasional melalui pembelian alutsista dan exercises yang dilakukan dengan negara-negara sahabat. 

Exercises ini dijalankan secara rutin agar personel militer dalam TNI dapat berinteraksi dan mendapatkan metodologi, teknik, dan taktik paling mutakhir melalui latihan bersama. Pada aspek yang lain, untuk mengejar rencana Minimum Essential Force (MEF) yang sempat mandek, pembelian alutsista modern yang sangat dibutuhkan untuk menjamin kapabilitas TNI terhadap potensi-potensi konflik di masa depan. 

Inisiatif modernisasi pertahanan yang telah memakan porsi biaya paling besar adalah pertahanan di sektor udara melalui pembelian alutsista canggih seperti 42 unit pesawat tempur Dassault Rafale, 24 unit pesawat tempur Boeing F-15EX, hingga 24 unit helikopter Lockheed Martin S-70M Black Hawk (Laksmana, 2023). 

Penulis berargumen bahwa upaya tersebut telah membuat Indonesia berpotensi memiliki kapabilitas menjadi "Garuda" di udara pada masa depan. Pekerjaan rumah yang masih perlu diperhatikan bagi modernisasi pertahanan Indonesia yang diberi jargon Archipelagic Trident Shield (Trisula Perisai Nusantara) adalah sektor laut yang menjadi esensial karena ambisi Indonesia untuk menjadi global maritime fulcrum atau poros maritim dunia. Indonesia dapat belajar dari pengalaman Taiwan dan Ukraina pada beberapa tahun terakhir yang telah menjadi "landak" dan telah sukses menahan musuh yang ukuran dan kekuatannya jauh lebih besar.

Angkatan laut Republic of China atau secara umum disebut Taiwan memiliki komposisi armada yang cukup tua dengan kebanyakan berasal dari kapal bekas US Navy seperti Kapal perusak kelas Keelung (dahulu kapal perusak kelas Kidd milik US Navy), Fregat kelas Chi Yang (dahulu fregat kelas Knox milik US Navy), dan Fregat kelas Cheng Kung (dahulu fregat kelas Oliver Hazard Perry milik US Navy). Kapal-kapal ini dikhawatirkan sangat rawan terhadap serangan misil dan udara jika invasi dilakukan dari arah Selat Taiwan. Pada Oktober 2022, Kemenhan Taiwan merubah rencana pembuatan kapal fregat dalam negeri yang awalnya berukuran besar dan didesain secara tradisional menjadi pembuatan dua prototipe fregat yang lebih kecil (sekitar 2.000 ton) yang masing-masing memiliki peran anti-udara peran anti kapal selam. 

Program akuisisi angkatan laut Taiwan menunjukkan orientasi dan fokus baru pada pembangunan armada kapal yang secara kuantitas lebih banyak dan beratnya lebih ringan dalam memenuhi strategi pertahanan asimetris untuk menghadapi ancaman musuh yang lebih kuat dan canggih. Hal ini merupakan upaya untuk menyeimbangkan dua prioritas penting yaitu kesenjangan kapabilitas militer dan kemampuan untuk menjadi asertif terhadap upaya pelanggaran kedaulatan (Dotson, 2022). Target ini cukup mirip dengan kepentingan yang dimiliki TNI AL dalam potensi insiden di Laut Natuna Utara. Perencanaan kapal-kapal baru untuk armada pertahanan nasional dapat mencontoh strategi yang diambil oleh Taiwan.

Pada 22 Oktober 2022, Ukraina melancarkan serangan ke Pangkalan Angkatan Laut Sevastopol yang menampung Armada Laut Hitam Rusia dengan drone dan "drone boats" kamikaze, berupa kapal kecil berisi bahan peledak yang dikendalikan dari jauh Serangan ini merusak setidaknya satu kapal penyapu ranjau dan satu kapal fregat yang dilengkapi dengan rudal jelajah Kalibr. 

Hal ini memperlihatkan bahwa Ukraina telah sukses mengurangi kapasitas Rusia untuk meluncurkan rudal berbasis laut dengan biaya minim dan tanpa korban jiwa. Perang Ukraina telah membuat negara ini berinovasi dalam pengembangan dan pengerahan platform tanpa awak dalam konflik abad ke-21. Drone boats yang membawa bahan peledak dan dikerahkan bersama dengan drone udara telah terbukti mengejutkan dan bahkan membuat sistem pertahanan Rusia kewalahan di Teluk Sevastopol pada Oktober 2022. 

Demikian pula, pada bulan April, hanya dua bulan setelah perang, pasukan Ukraina menenggelamkan kapal penjelajah Moskva, kapal flagship Armada Laut Hitam Rusia dengan bantuan penggunaan drone. Di masa depan, drone laut yang digunakan bersama dengan drone militer udara tidak hanya dapat bertindak sebagai umpan untuk mengalihkan perhatian pertahanan, tetapi mempunyai potensi untuk dapat berfungsi sebagai platform pengintaian dan akuisisi target (Kunertova, 2023). 

Penggunaan drone boats ini dapat menjadi cara yang murah dan efisien bagi TNI AL untuk menghadirkan pukulan psikologis bagi musuh ketika terjadi konflik karena alat ini bersifat kamikaze atau nirawak dan sangat sulit terdeteksi. Kedua contoh adaptasi strategi pertahanan ini menjadi cukup relevan bagi Indonesia yang memiliki keterbatasan sumber daya dalam mempertahankan lautnya. Penulis berargumen bahwa TNI akan memiliki potensi manfaat yang sangat banyak dan biaya relatif sedikit dengan menggunakan taktik-taktik yang mengutilisasi kemajuan teknologi seperti strategi asimetris dan penggunaan drone boats dalam doktrin maritim nasional.

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun