Banyak yang menilai saya punya dua kepribadian. Keseharian, tampil tidak serius, seenaknya serta jauh dari kesan intelektual. Lalu dunia tulis menulis, dimana saya membawa pribadi yang bertolak belakang jauh, serius, berat dan terkesan cerdas. Apa berarti saya ahli menulis? Punya pendidikan khusus? Gak juga. Ihwal saya menulis, sebenarnya klise, saya suka membaca. Bahkan tergolong kutu buku, sulit dipercaya memang, but it is! Sejatinya semua yang suka membaca, mudah menulis. Minimal, karena rekaman kosa kata di kepala, plus alur informasi yang tergolong membludak memenuhi memori otak.
Kemudian saya tercemplung menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah. Yang diawal menuntun (kalau gak bisa dibilang menjebak) saya untuk rutin menulis, setidaknya ‘editors note’ di tiap edisi. Lama-lama job desk ini berkembang dalam rapat redaksi untuk membantu meringankan pekerjaan tim. Sekaligus mengusung semangat kebersamaan. As a leader, I should lead from the very basic subject, menulis Berkembang-berkembang-berkembang, tulisan saya mulai memenuhi banyak wadah. Majalah sendiri lalu blog dan kemudian media cetak lain yang menganggap saya sebagai praktisi (dalam beberapa bidang) yang ahli mengolah kata. Banyak praktisi hebat, tapi saat disuruh mengetik isi kepala mereka, jari-jari tangannya mendadak gagu seperti sedang sariawan. Tulisan ini mulai lah didesak untuk didokumentasikan dalam bentuk buku, juga muncul tawaran untuk menulis buku dengan subjek lain. Lama-lama desakan ini menggoda juga. Kalau tadinya didesak, mulailah saya hunting mencari penerbit. Penerbit Sama seperti penulis kebanyakan, awal karir menulis buku, saya bukan tipe penulis berbakat yang mendapat anugrah dikejar-kejar oleh penerbit. Saya yang harus hunting mencari-cari sendiri. Mulai dari pendekatan ke penerbit besar yang menerbitkan buku teman dekat, sampai ke mencari alamat kontak penerbit di back cover buku apapun yang saya baca. Mulailah proses kirim-kiriman naskah. Macam-macam sambutannya. Ada yang tertarik di depan, membuat penulis antusias, lalu tidak ada follow up, kondisi yang banyak membuat penulis pemula putus asa dan melemparkan naskah ke tempat sampah. Ada juga yang tertarik, mengajak ketemuan, tapi belum-belum sudah memaksakan suntingan sana-sini atau malah topik baru untuk ditulis, kalimat “bakalan lebih laku, deh”, “kita lebih butuh tulisan model begini” adalah contoh tawaran yang diberikan. Ada juga yang sudah bolak-balik ngajak meeting, minta edit sana-sini, tau-tau proyek bukunya batal, karena person in charge-nya pindah kerja. Dari semua ‘hambatan’ itu saya tetap bersyukur dan menganggapnya sebagai pengalaman baru. Lagipula beruntung juga saya tidak pernah masuk fase dimana naskah yang saya kirim tidak mendapatkan tanggapan. Juga kondisi yang banyak membuat penulis pemula melupakan impian punya buku. Apa tipsnya membuat penerbit selalu melihat naskah yang saya kirim? Pertama, ya jangan asal kirim naskah! Kalau penerbitnya terkenal dengan buku rohani semisal, janganlah kirim naskah novel fiksi. Kedua, coba cari kenalan ‘orang dalam’ yang bisa memberikan by pass informationkepada tim seleksi naskah. Maklum penerbit besar itu punya tim seleksi yang sibuk menyortir tumpukan kiriman naskah menggunung, kadang tanpa bantuan, kemungkinan naskah (yang baik sekalipun) terlewat itu sangat besar. Ketiga, usahakan membuat naskah yang memiliki nilai jual, apapun jenisnya, namanya bisnis, orientasi utama penerbit pastilah mencetak buku yangprofitable. Tapi obsesi menerbitkan buku itu harus terhindarkan dari konsep ‘asal terbit buku’, sehingga mencari penerbit yang juga asal. Hati-hati, banyak sekali penerbit nakal yang mencari mangsa penulis pemula, lalu dicetak kemudian dilupakan, promosi terbengkalai, distribusi buku seadanya, dan pasti royalti tak terbayar. Buat mereka, mencetak buku berlaku teori probabilitas dan kuantitas, cetak sebanyak mungkin judul, lempar ke pasar, lihat mana yang laku? Nah, urusin aja yang laku ini. Yang lain? Ya itu namanya colateral damage. Bahkan saya sering mendengar beberapa penerbit yang sekilas punya nama lumayan besar pun memiliki masalah sama. Bagusnya sih, browsing dulu deh kalau naskahnya diminati oleh penerbit yang namanya masih asing di telinga. To cut the long story short. These are my books yang akhirnya dicetak dan bisa didapatkan di pasar. Yoga Sehari-hari Untuk Kesehatan Jujur ini buku terbaik dan paling niat yang saya buat. Dengan segala keluguan dan energi yang melimpah-limpah. Isinya tentang pemahaman cross subject yang saya miliki tentang yoga dan kaitannya dalam kesehatan. Cover depannya Ratih Citra Sari, sahabat saya yang sukses menyembuhkan dirinya dari serangan kanker ganas dan langka lewat latihan yoga teratur. Penerbitnya sendiri dikenalkan oleh pak Wied Harry.
Walau hasil output sangat baik, tapi sayangnya secara promosi dan taktikal saya masih tergolong lugu dalam memasarkan buku ini ke pasar. Hasilnya kurang memuaskan. Walau masuk rak ‘best seller’ di beberapa toko buku, tapi untuk ukuran buku yang diproduksi dengan biaya besar, penjualannya tergolong tidak terlalu menguntungkan pihak penerbit. Butuh waktu 2.5 tahun untuk cetakan pertama buku ini habis. Walau terserap tak bersisa oleh pasar, dan masih terus dicari, tapi penerbit berpikir dua kali untuk mencetak ulang, mungkin salah satunya karena biaya produksi yang juga tinggi.
Saya sih masih bersyukur, minimal buku ini ludes dibeli. Mayoritas buku yang dipajang di toko buku berakhir di paper shredder atau alat pemusnah document lain, karena kembali lagi ke penerbit begitu saja, akibat seret penjualannya. Mitos dan Fakta Kesehatan Nah ini mungkin buku karya saya yang paling gak ada persiapan dibuat tapi sejauh ini malah yang paling laris. Awalnya dari twit-twit kesehatan yang saya sebarkan secara rutin di jejaring sosial, Twitter, yang follow saya disana juga saat itu belum banyak-banyak amat, baru sekitar 2000-3000an orang, sama istri saya @nina_tamam yang ratusan ribu saya masih kalah jauh, apalagi sama @agnezmo, akun Agnez Monica, yang waktu itu satu jutaan. Hanya saja berbedanya follower saya dengan para artis adalah sikap fanatisme dan mereka follow karena ingin belajar serta berinteraksi. Sebagai non selebritis, saya mencatat penambahan follower antara 1000-2000 perbulan, lumayan. Kok bisa? Umumnya berlaku sistem promosi word mouth atau getok tular, si anu cerita ke komunitasnya, sukses melakukan apa yang saya sarankan, si A me-retweet (fasilitas twitter) anaknya sembuh dari penyakit menahun setelah denger tipsnya si @erikarlebang, begitulah cara akun saya berekspansi. http://kompasgramedia.com Isi twit saya umumnya diberi hastag (pengelompokan) dengan embel-embel #kibulan. Kenapa kibul? Awalnya saya sering berbagi tips kesehatan, di Facebook atau Twitter atau dimana deh, tapi karena bukan ahli medis resmi, tips saya ini saya beri label kibulan supaya yang baca menerimanya secara ringan. Dicoba sukur, tidak dicoba pun saya tidak peduli, namanya cumasharing. Ada banyak #kibulan populer di dalam twit saya. Mulai dari #kibulansehat, #kibulancerna, #kibulanair sampai yang paling fenomenal #kibulansusu. Singkat kata setelah melalui popularitas dan kontroversi yang tinggi, banyak follower meminta twit ini dibukukan, saya cuma tertawa saja awalnya. “Siapa juga yang mau beli?” Dan berdasar pengalaman sulitnya mencari penerbit, komentar lanjutan saya adalah “Siapa yang mau nerbitin?”. Eh, tanpa disangka, Penerbit Kompas, menyambut twit saya itu. Lewat akun, kini sahabat saya, @tinoekreswanto (karyawati di sana) ia menyampaikan minat membukukan twit saya. Problem baru muncul! Saya belum menyimpan twit-twit saya secara baik. Ada sih di http://erykar.posterous.com, tapi tidak banyak dan belum terorganisir baik. Eh, dasar sudah takdir, follower-follower saya ternyata banyak sekali yang menyimpannya dengan rapi, mereka beramai-ramai menyumbangkan link dimana twit saya bisa ditemukan. Mengharukan! Dari sana, proses mengalir lancar dan mudah. Tim penerbit responsif dengan keinginan saya, bertemu dengan disainer grafis muda berbakat yang mudah diarahkan (saya kan juga mantan disainer profesional), tim produksi yang terbiasa mencetak produk berkualitas. Singkat cerita lahirlah buku ini. Belajar dari pengalaman buku sebelumnya. Saya ikut terjun langsung dalam memasarkan buku ini. Ilmu pemasaran dan promosi yang ada di kepala (sebagai mantan anak iklan, praktisi pemasaran dan media cetak) keluar semua, mudah saja kok, banyak ide aplikatif yang diadposi oleh penerbit dan membuat buku ini sukses besar di pasaran. Dalam dua minggu, 5000 buku terserap habis oleh pasar. Not bad untuk ukuran buku kesehatan. And it still going strong up until today, hopefully in the future, amen! Food Combining Itu Gampang Buku ini mungkin yang pembuatannya paling mudah dari semua buku lain. Awalnya awak Mizan, mbak Dhyas ikut dalam seminar yang saya buat untuk http://YogaLeaf.com saat istirahat, menghampiri lalu berkata, “Mas, materinya dibuat buku dong! Seru nih, soalnya buku food combining yang ada umumnya masih susah dimengerti dan gak gampang dilakukan”. Saya sih cuma cengar-cengir saja. Apa susahnya memindahkan materi yang sudah ada ke bentuk lain? Paling cuma nambah ngecap-ngecap sedikit. Prosesnya cepat? Gak juga! Saya adalah penulis model procrastinator paling ahli menunda. Berasa menulis artikel itu enteng, saya acap menunda-nunda penulisan. Walhasil saya harus menghadapi kenyataan ‘ditendang-tendang terus bokongnya’ oleh tim redaksi Mizan. Maklum mereka juga ketar-ketir, kan buku saya diprediksi untuk dicetak tanpa melalui proses sunting naskah normal. Bagaimana kalau naskah yang muncul gak sesuai harapan? Untung saja, proyek ini memang aslinya gak sulit-sulit amat, kan tinggal dimelarin dari materi presentasi saja. Lalu lahirlah buku ini.
http://mizan.com Jualan buku ini lumayan gampang, karena positioningnya sudah jelas. Food combining gampang! Sejauh ini buku-buku pendahulunya tergolong rumit, jadi walaupun laku, biasanya berakhir di rak buku, jarang dibaca habis. Buku ini ringan namun informatif, rata-rata mengatakan “dua jam baca juga kelar buku ini”, pembelian secara frekuentif sangat mungkin terjadi, karena orang yang membaca sekali ingin membagi pengetahuannya dengan orang lain, tapi mereka juga masih perlu sesekali membaca lagi, jadi mereka membeli buku baru untuk diberikan kesana-sini. Ini salah satu trik pemasaran yang lumayan jitu untuk bisa dijadikan acuan saat menulis naskah sebuah buku. Semoga umur buku ini di pasar juga berlangsung panjang, potensinya sih begitu, amiin! Mitos dan Fakta Yoga Olahraga http://kompasgramedia.com Buku ini lahir tanpa banyak persiapan ataupun antusiasme dari saya. Kumpulan tulisan selama saya menjadi pemilik rubrik The Motivator, di majalah Prevention, waralaba majalah kesehatan di US yang dibeli hak edarnya oleh PT. Gramedia. 4 tahun saya menulis di rubrik itu, hadirlah buku ini. That’s all Buku Laris Dulu sebelum punya buku sendiri, saya sering melewati rak-rak buku laris di toko buku besar. “Wuih, apa rasanya ya jalan di toko buku, terus melihat buku-buku kita dipajang dengan embel-embel buku laris!”. Gak terbayangkan! Tapi saya mencoba sekuat tenaga, memvisualkan hal tersebut dalam angan dan meyakinkan itu pasti terjadi. Becareful what you wish for!
Thank God! Ini adalah pemandangan yang ditangkap oleh teman saya, Bimo Prasetio di toko buku Gramedia, Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan, salah satu toko buku terbesar dan landmarkseluruh toko buku di negara ini. Rada bengong dan speechless pas terima mention foto ini di Twitter: Bimo Prasetio @BPrasetio21 Mar @erikarlebang Ciye yg laris manis, besok gw bedah deh bukunya ;phttp://lockerz.com/s/287722741
Di pintu depan, seksi buku laris kesehatan, visualisasi saya itu benar terjadi! Lucunya lagi, dari 6 buku yang terpampang di foto tersebut, 3 adalah karya saya dan 1 buku memuat potongan kalimat endorser yang saya buat di covernya, buku dr. Hiromi Shinya “Rahasia Awet Muda”. Dahsyat juga ya? Again, thank God!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H