Mohon tunggu...
Erwin Renaldhy
Erwin Renaldhy Mohon Tunggu... wiraswasta -

IT Humanity...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Teknologi Berkarat di Republik "Impor"

9 Februari 2014   17:35 Diperbarui: 29 November 2015   01:08 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13919626231154223892

Tapi apalacur. Program kemandirian teknologi diserang ekonom didikan Barat terutama AS. Dianggap tak efisien, rugikan negara, IMF larang program strategis ini diteruskan. Alasannya sebagai penyebab krisis, faktor inefisiensi. Pasca reformasi, industri strategis terbengkalai. Dana riset dipangkas habis, privatisasi BUMN. Industri smaput teknologi sekarat. Ribuan ahlinya tunggang langgang. Ada jadi birokrat, politisi atau sekalian minggat ke negara yang industrinya serius mau maju.

Kita mundur 20 tahun. Proyek strategis banyak dihentikan termasuk pabrik torpedo mangkrak, berkarat, jadi besi tua  akan menyusul program mobil nasional esemka. Kasihan. Hampir semua industri strategis Indonesia dijagal. Semua berjalan tak sesuai rencana. Bangsa ini gagal mandiri secara teknologi. Kebijakan berbelok kadang bersayap itu tak pernah lepas dari negara yang getol menyadap apa saja informasi yang ada di sini. Sisipkan pemikiran untungkan sistem mereka. Saat ini sistem politik kita amat terbuka, cenderung liberal. Maka sistem ekonomi pun ikut terbuka.

Produk asing membanjiri, NKRI jadi Negara Kesatuan Republik “Impor”. Importeknologi, imporsistem, imporideologi, imporpolitik, semua dan semaunya. Entah sampai kapan. Teknologi komunikasi yang digunakan masyarakat adalah produk mereka. Resikonya, kita makin terbuka, “telanjang”, mudah di intip, di main-maini, di kurangajari, sampai level VVIP “RI-00”. Cermin dari kasus aussie kemarin. Itulah konsekuensi ketidak mandirian. Para komplotan ekonom ‘neolib’ senang, Indonesia tidak perlu susah payah bangun teknologi mandiri, cukup jadi pasar global yang “sexy, aduhay, indehoy”. Tetap untung walaupun receh.

 

Republik “Impor”

Bagaimanapun, mandiri lebih baik dibanding harus bergantung. Mencipta lebih utama daripada mengikuti, itu berlaku untuk bangsa maupun individu manapun. Mandiri secara teknologi buat kita tidak perlu selalu turuti asing. Apalagi ikuti sistem mereka. Saatnya bangsa ini harus percaya diri mengembangkan sistemnya sendiri didasari hasrat keinginan untuk mandiri. Kita sudah punya banyak ahli, peneliti juga, meski outcamenya masih parsial tidak seluruhnya aplikatif sehingga manfaatnya belum terasa langsung. Butuh waktu dan konsistensi, bukan sekedar skor untuk mengalahkan jumlah publikasi ilmiah dan hak paten negara sebelah. Impian Indonesia untuk mandiri secara teknolgi harus di reaktivasi kembali demi masa depan bersama. Ironisnya, di negara ini pengembangan teknologi tidak dapat tempat cukup.

Tapi dana ratusan trilyun mudah cair untuk BLBI, anggaran untuk saksi pemilu dan biaya politik lainnya. Sosial politik dan ekonomi jauh lebih kuat pengaruhnya dibanding pertimbangan untuk majukan teknologi. Diskusi sosial politik lebih mendominasi ruang publik dibanding  gerakan yang usung teknologi alternatif kerakyatan. Ilmu sosial, politik, dan hukum berkembang pesat kuantitasnya, mereka seolah lebih produktif hasilkan wacana yang hanya habiskan energi.

Banyak bicara, miskin karya kurang bekerja. Padahal ranah informasi dalam membentuk opini tidak segannya bersifat provokatif, mendeskreditkan bahkan adudomba. Kebohongan yang diulang-ulang bisa bikin orang percaya, ini doktrin lama dikenal dengan agitasi propaganda, jauh beda dengan sikap kritis yang rasional-objektif dimana bahan bakunya berdasar fakta/data.

Sehingga jangan heran jika semua " informasi"bisa dibolak balik Tergantung pesanan dan kepentingan. Kita mengulang kesalahan Eropa. Sibuk dengan ilmu humanisme dibanding science teknologi. Jepang, Korea, China tetap konsisten utamakan teknologi. Opini pengembangan teknologi hanya terjadi di ruang terbatas, laboratiorium dan kampus, sedangkan ruang publik ditutupi riuhnya bunyi politik. Tidak banyak yang tau bahwa melalui tangan IMF, program teknologi strategis kita diberangus.

Sekarang kita hanya pasar dari produk asing, RI jadi Republik Impor. Rasa-rasanya pemikiran dan kiprah Prof. B.J. Habibie di bidang teknologi tinggal kenangan. Padahal dalam situasi tumbuhnya kekuatan ekonomi baru seperti China, India, Russia, dan Brasil, justru “Kemampuan Penguasaan Teknologi” jadi kunci sukses. Ini bukan murni pendapat pribadi, tetapi juga kegundahaan tersirat dalam buku “Jejak Pemikiran B. J. Habibie” dan pandangan seorang Dosen Komunikasi Univesitas Airlangga Surabaya, Dr. Henry Subiakto.

Semoga kegelisahan mereka masih akan bergaung di nurani bangsa ini, paling tidak idealisme itu tetap ada. Kalaupun bukan pada masa pemerintahan sekarang, kita berharap akan jadi pokok perhatian pemerintahan berikutnya untuk bisa membangkitkan kembali Kemandirian Teknologi Nasional. Semoga saja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun