Mohon tunggu...
Erwin Renaldhy
Erwin Renaldhy Mohon Tunggu... wiraswasta -

IT Humanity...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Perang Informasi dalam Konteks Demokrasi Kita

2 Juni 2014   00:18 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:50 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Jelang pilpres 9 juli mendatang semakin sengit kejar-kejaran elektabilitas pasangan capres-cawapres, saling serang melalui kampanye segala penjuru  masuki babak semi final, semua media digunakan darat, laut dan udara, saling tuding dan head to head opini, negative hingga blackcampaign tak segan digencarkan. Jika ditelisik lebih jauh fenomena ini tidak lain adalah perang informasi antara isu vs fakta, siapa yang mampu menyakinkan tentang apa! Tergantung isi informasi serta kemasannya!

Agitasi Propaganda

Ranah informasi dalam membentuk opini tidak segannya bersifat provokatif, mendeskreditkan bahkan adudomba. Kebohongan yang diulang-ulang bisa bikin orang percaya, ini doktrin lama dikenal dengan agitasi propaganda, jauh beda dengan sikap kritis rasional-objektif dimana bahan bakunya berdasarkan fakta/data. Sehingga jangan heran jika semua”informasi”bisa dibolak balik Tergantung pesanan dan kepentingan.

Para pelaku agitapro memiliki karakteristik yang mirip meski modus beragam dalam menggoreng informasi untuk membangun konstruksi berfikir, sering menghubungkan hal yang tidak terkait secara langsung tapi begitu sensitif dalam domain sosial, etika, moral bahkan agama tujuannya menarik simpati publik.

Sebelum lepaskan serangan utama ke target biasanya terlebih dulu memberikan pengantar dengan meniupkan kabar angin, katanya,  rumah tangga tokoh A tidak harmonis, si B kedapatan selingkuh, bapak C konon teman yang salah gunakan kedekatan, hal ini di tayangkan berulang lalu jadi stigma. Ketika pengulangan terjadi maka bagi awam langsung dengan mudah menyimpulkan bila sosok yang dimaksud memang jelek, jahat, tak bermoral pada tingkat ini makin mulus jalankan skenario berikutnya bagaimana melakukan pembunuhan karakter, dengan mudah pelaku melakukan pemutakhiran isu dengan menyisip rumor lain untuk segera dikoneksikan dengan stigma sebelumnya isu paling panas seperti korupsi, kolusi kian meyakinkan pembaca terhadap penilaian prematurnya, padahal masih dibutuhkan penegasan melalui BUKTI-FAKTA-DATA sebagai legalitas yuridis formal yang berlaku.

Ketika target operasi sukses para pelaku melakukan rapat koordinasi karena model kerja kartel informasi ini umumnya menggunakan tim ada hukum, politik, ekonomi bahkan IT, apakah mereka akan melakukan pemerasan atau meningkatkan intensitas serangan ke target hingga korban terkondisi siap untuk diperas dengan nyaman, motifnya campur sari, bisa uang, jabatan, kekuasaan, bisa juga untuk penyelamatan kasus dimana seluruh prosesnya secara langsung, umum, bebas dan rahasia.

Dialektika Informasi

Keilmuan yang secara khusus membahas mengenai apa itu INFORMASI dan apa itu DATA?  yakni INFORMATIKA, namun sungguh disayangkan kebanyakan mereka sibuk mengurusi hal-hal teknis dan terapan padahal kehadiran mereka sangat dibutuhkan dalam melakukan CONFIRM utuk memberikan klarifikasi mana informasi original, palsu, asli tapi palsu hingga KW Super ditengah maraknya saling tuding antar pendukung capres-cawapres.

Bukan Cuma produk smartphone, gadget, DVD dan foto saja yang bisa di cloning, dibajak, dibuatkan imitasinya melainkan informasi juga bisa ditelikung, ditunggangi untuk maksud tertentu tergantung motif User. Insan informatika punya cukup amunisi dalam melakukan penilaian, perbandingan terhadap informasi, sama halnya mencari solusi tidak lain adalah upaya untuk menemukan kemungkinan yang paling mendekati kebenaran dalam iterasi bagaimana nilai hasil mendekati atau sama dengan NOL, begitupun upaya yang dilakukan untuk mendeteksi kualitas informasi apakah informasi tersebut isu atau fakta.

Ketika informasi yang berbeda dan sama-sama saling klaim menggunakan data maka harus dilakukan perbandingan untuk menguji tingkat akurasi dan validitas data keduanya, dengan menggunakan pendekatan melalui metode tertentu yang dianggap paling sesuai akan ditemukan mana informasi yang memiliki bibit, bebet, bobot dan kualitas mana informasi bajakan, mampu mengetahui mana informasi tulen dan mana informasi abal-abal berdasarkan hasil analisis, informasi yang berbobot punya kualitas dan tulen itulah yang harus di pegang sebagai rujukan sah karena informasi tandingannya dianggap gugur tidak sah, validitasnya lemah, akurasinya meleset jauh, ditengarai informasi seperti ini bangunan awalnya hanya sekedar isu atau opini sepihak yang digosok dipantulkan kesana kemari ditambah bumbu-bumbu biar contentnya terkesan asli padahal diracik berdasarkan cita rasa yang diinginkan pemilik atau pemesan.

Peran Insan Informatika

Hanya ada dua pilihan dalam menyalurkan interaksi informasi yaitu diskusi dan debat, komentasi tulisan bagian dari keduanya, diskusi sifatnya objektif dan terbuka jika dalam sharing informasi itu ditemukan fakta yang valid diungkap oleh pihak manapun maka diskusi selesai diakhiri kesimpulan yang sama karena semua pihak menerimanya sebagai kemestian yang tidak punya bantahan lagi. Diskusi memiliki platform yang jadi aturan tanpa perlu tanda tangan cap materai diatas kertas karena berorientasi pada upaya mencari solusi untuk kepentingan bersama.

Sedangkan debat seyogyanya tidak bersikap kooperatif semua pihak dalam arena perdebatan jenis apapun pada dasarnya telah memegang teguh bulat-bulat, mentah-mentah apa yang mereka yakini sebagai fakta, tidak ada alasan untuk harus meninggalkan dan mengurangi kadarnya apalagi untuk ikuti pihak lain, yang ada adalah saling bantai membantai pendapat tanpa mengukur kulaitas alat yang digunakan untuk membantai yaitu data/fakta, pihak lain harus terima dan ikut turut tunduk patuh, jika tidak mau maka dianggap sebagai pihak yang berseberangan, lawan dan musuh bersama.

Diskusi yang harusnya jadi fondasi dasar seluruh model kampanye banyak diselewengkan, kian hari makin hilang substansinya sehingga meskipun fakta sudah terungkap jelas tetap saja perbedaan pandangan sengaja diruncingkan, seenaknya berikan tafsir supaya masalah tambah lebar, makin sempurnalah kekacauan,  ini bukti terjadinya dejavu musyawarah mufakat yang jadi tonggak awal berdirinya republik. sekiranya essensi musayawarah mufakat masih berlangsung hingga saat ini maka kita tidak memerlukan Vote Gather untuk sebuah keputusan dimana kepentingan bangsa dan negara wajib didahulukan diatas kepentingan pribadi maupun golongan yang terjadi malah sebaliknya urusan pribadi-kelompok yang harus beres duluan, urusan bangsa negara belakangan.

Sistem negara yang sengkarut acakadut banyak dipengaruhi oleh kebijakan salah kaprah, kebijakan bukan didasari data/fakta melainkan isu, rumor, pendapat subjektif, bisik-bisik tetangga sehingga terjadilah realitas tumpang tindih yang layak diabaikan yang tidak layak dapat prestasi fungsi penasehat dan staff ahli hanya sebagai data sekunder, prioritas utama ialah pemenuhan data primer dalam siklus pengambilan keputusan, jangan dibolak balik.

Ketika kebijakan didasari dengan sistem penujang keputusan yang kuat berdasar data/fakta maka kondisi ideal terwujud, siapa yang layak dapat tempat yang tidak layak kelaut aje, atau wajib untuk berubah, berkompetisi ikuti sistem dimana pertarungan kapasitas jadi budaya baru, jika tetap tidak mau bertransformasi sistem akan bekerja mengeluarkan apa saja yang menghambat dan memperlambat proses pimpinan sekedar memutuskan apa yang direkomendasi oleh sistem tanpa perlu lagi beri pertimbangan.

Perilaku orang-orang harus mengikuti sistem agar terjadi transformasi kearah yang lebih baik, baik dari segi kapasitas, kualitas dan kinerja bukan sebaliknya sistem dipaksa ikuti perilaku tabiat orang-orang di dalamnya, karena sampai kapan pun hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai sistem, terlalu banyak perilaku dan kebiasaan dari orang-orang secara individu ataupun kelompok yang bisa menyebabkan terjadinya kebocoran dan penyimpangan yang cepat atau lambat melumpuhkan sistem itu sendiri.

Insan informatika harus hadir untuk bisa luruskan kesemrawutan informasi dalam iklim demokrasi kita yang condong menemui jalan buntu, konflik bahkan menuju pada perpecahan, Informatika punya posisi strategis untuk bangun sistem pemerintahan mumpuni karena menggunakan instrumen teknologi dan paham betul mengenai seluk beluk masalah informasi, paradigma barang siapa mengusai informasi akan menguasai dunia bisa disalah gunakan oleh para pendekar berwatak jahat, menggunakan informasi sebagai alat kendali opini untuk sesatkan cara pandang dan berfikir, ini adalah racun nyata yang benar ada ditengah masyarakat, hal ini tidak boleh dibiarkan karena diam sama halnya dengan setuju.

Disiplin INFORMATIKA bukan sekedar hasilkan tenaga operator, tukang Install & Relawan tetapi juga lahirkan manusia handal untuk rancang bisnis proses, buat alir kerja, bangun sistem secara sistemik mulai dari A-Z, 0-9, hulu ke hilir, hebatnya lagi tidak berhenti di pembangunannya saja tetapi hingga ke tahapan pemeliharaan bahkan pengembangan.

Meskipun Negara kurang mengapresiasi dan memberikan ruang cukup bagi karya kita dibanding keilmuan lainnya tidak usah patah arang karena waktu akan berikan pelajaran bahwa INFORMATIKAlah solusi terbaik dalam menentukan arah pembangunan sistem pemerintahan yang paling bisa dipercaya mengelola tatanan Kelembagaan Negara lintas keilmuan dan sektoral secara transparan dan terintegrasi.

Informatika Maju! Indonesia Jaya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun