Malam itu, di malam pergantian tahun dari tahun 1964 menuju tahun 1965, seorang bocah berusia 6 tahun tengah merintih, menangis akibat kelaparan dan kesakitan di tengah dinginnya udara tengah malam. Bocah tersebut bernama Udin. Sudah beberapa hari terakhir ini ia tak makan sedikitpun dan ia hanya bisa menunggu sang kakak bernama Sintia yang sudah pergi selama 13 hari untuk membawakan Udin makanan, namun sayang sang kakak tidak kunjung datang hingga malam itu. Udin hanya bisa berharap semoga sang kakak dapat segera datang dan membawakannya makanan.
Udin dan Sintia adalah kakak beradik yatim piatu yang sudah hampir dua tahun lamanya ditinggal meninggal oleh kedua orang tua mereka akibat suatu insiden kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tua mereka. Karena Udin dan Sintia masih tergolong anak di bawah umur, maka setelah kepergian orang tua-nya, Udin dan Sintia dititipkan kepada sang bude untuk tinggal bersama. Tetapi sayangnya, walaupun di awal bude mereka sepertinya menerima Udin dan Sintia dengan tangan terbuka dan bersikap baik kepada kedua anak yatim piatu itu, bude mereka lama kelamaan menjadi acuh tak acuh lagi terhadap Udin dan Sintia, bahkan sudah tidak lagi memperlakukan kedua anak yatim piatu ini dengan baik.
Karena bukan anak kandung sang bude, Udin dan Sintia diperlakukan layaknya pembantu di rumah sang bude, ketika sang bude menyuruh kedua anak tersebut melakukan sesuatu, Udin dan Sintia mau tidak mau harus menurut atau jika tidak akan dimarahi secara beringas oleh sang bude. Tidak hanya itu saja, ketika makan Udin dan Sintia tidak diperbolehkan makan di meja makan bersama keluarga sang bude dan hanya diberi makan apa adanya saja, ketika keluarga sang bude makan dengan nasi dan lauk, Udin dan Sintia hanya diberi nasi tanpa lauk. Tidak jarang pula kedua anak yatim piatu itu diberi makanan yang sudah tidak layak, padahal hampir setiap hari Udin dan Sintia-lah yang disuruh oleh sang bude mengantri untuk mendapatkan beras, minyak dan bahan masak lainnya. Seketika, ketika Udin menangis karena rindu akan sang ibu, sang bude bukannya malah bersimpati namun malah memarahinya dengan kasar baik Udin dan Sintia karena dianggap tidak bisa mengurus sang adik.
Pada suatu malam, ketika Udin kelaparan, Udin diam-diam mengambil roti yang ada di meja makan, namun sayang ia ketahuan oleh sang bude dan dipukuli oleh sang bude hingga babak belur. Sintia yang sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan kasar sang bude, pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah sang bude bersama Udin untuk tinggal di tempat lainnya. Kedua anak yatim piatu ini pada akhirnya menjadi tuna wisma di usia mereka yang terbilang masih sangat belia dan harus hidup menggelandang. Pada akhirnya Udin dan Sintia menemukan suatu gubuk bekas kandang yang sudah tidak terpakai lagi dan mereka berdua memutuskan untung tinggal di sana. Udin dan Sintia pun sudah tidak lagi bisa bersekolah dan sang kakak sekarang harus bekerja dengan mengamen agar bisa menghidupi sang adik.
Pada suatu ketika, ketika sedang mengamen di depan toko kelontong, Sintia beretemu dengan saudagar pemilik toko tersebut yang masih memiliki perasaan simpati. Mengetahui jika Sintia mengamen untuk menghidupi sang adik, sang pemilik toko walaupun tidak bisa memberinya uang, namun ia memberi Sintia beras dan beberapa butir telor agar Sintia dan sang adik Udin dapat mengisi perutnya. Namun sayang ketika dalam perjalanan pulang, Sintia dicegat oleh sekelompok pemuda-pemuda dari organisasi Partai Komunis Indonesia atau P.K.I., yaitu Pemuda Rakyat.
Para pemuda-pemuda Pemuda Rakyat ini menanyakan kepada Sintia mengapa ia memiliki beras, sedangkan kepemilikan dalam faham komunisme itu tidak diperbolehkan. Ketika mendengar jawaban dari Sintia jika ia dan sang adik kelaparan karena belum makan selama dua hari, para gerombolan pemuda rakyat itu justru marah karena menganggap Sintia tidak bersimpati dengan rakyat lain yang sedang kelaparan dan dianggap tidak mengikuti ajaran faham komunisme yang mengharuskan kehidupan yang sama rata sama rasa. Alhasil ketika para gerombolan pemuda rakyat tersebut hendak merebut beras dan telor yang di bawa Sintia, Sintia pun melawan, namun apa daya ia kalah kuat oleh gerombolan pemuda rakyat tersebut yang justru menghajar Sintia sampai ia terkapar. Tidak hanya itu saja, para gerombolan pemuda rakyat tersebut dengan sadis dan brutalnya memerkosa Sintia yang sudah tidak berdaya hingga akhirnya gadis cilik tersebut menghembuskan nafas yang terakhirnya akibat tindakan keji yang dilakukan oleh para gerombolan pemuda rakyat tersebut. Para gerombolan pemuda rakyat tersebut pun membuang mayat Sintia di sungai dekat tempat kejadian perkara demi menutupi perbuatan keji mereka terhadap Sintia yang sudah tidak bernyawa.
Di suatu tempat, Udin sang adik terus menanti sang kakak yang tak kunjung datang, di tengah derasnya hujan Udin terus menanti sang kakak yang kelak akan membawakannya makanan untuk mengisi perutnya dan menghilangkan rasa laparnya. Tetapi sayang sang kakak tidak kunjung muncul dari hari ke hari. Udin terus menangis karena kesakitan dan kelaparan karena sudah tidak makan selama beberapa hari, sejak sang kakak Sintia tewas mengenaskan di tangan para gerombolan pemuda rakyat partai komunis Indonesia. Suatu ketika di malam pergantian tahun, dari tahun 1964 menuju tahun 1965, tangisan Udin pun berhenti karena pada akhirnya Udin pun turut menghembuskan nafas untuk yang terakhir kalinya akibat penyakit malnutrisi yang dideritanya karena ia benar-benar tidak mengkonsumsi makanan apapun selama beberapa hari. Pada akhirnya Udin pun menyusul sang kakak, Sintia, beserta kedua orang tuanya di alam surga nan-indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H