Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tak Ada Maaf Tanpa Imbalan

30 Maret 2014   08:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:18 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar (nyunyu.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi Gambar (nyunyu.com)"][/caption]

Pada sebuah kasus pembunuhan, sikap keluarga korban yang memaafkan pelaku pembunuhan sebelum vonis dianggap sikap yang baik. Banyak yang memuji, namun banyak juga yang kurang sependapat dengan langkah tersebut. Termasuk saya dan bahkan mungkin anda. Selaku orang yang taat hukum, saya dan anda pasti akan memaafkan seseorang atas kesalahannya. Namun sebelum dikeluarkan, persediaan kata “maaf” tersebut tentu harus diukur dengan tingkat penderitaan fisik dan batin yang kita alami. Penegakan hukum untuk memenuhi rasa keadilan harus didahulukan sebelum mengakhirinya dengan sebuah kata "maaf". Jangan mudah mengucap maaf hanya mengandalkan moralitas dan sisi kemanusiaan semata. Hal ini tidak memberikan hukuman psikis pada pelaku kejahatan. Selain itu ada hukum manusia yang mesti kita junjung bersama sebagai penghargaan terhadap “kemanusiaan dan keadilan” itu sendiri.

Alkisah, ketika Anda menginjak kaki saya di bis kota dan segera meminta maaf, saya akan menyambutnya sambil tersenyum setelah meringis sebentar. Tetapi ketika anda tanpa sebab memuku muka saya dan selanjutnya anda meminta maaf, kalau anda saya maafkan, besok-besoknya pintu bis transjakarta yang anda copot lalu seenaknya dilempar ke hidung saya. Haruskah anda saya maafkan?

Tidak, Jangan pernah bilang Maaf karena anda mengakuinya salah lempar atau salah sasaran. Apalagi kalau singgahnya “pintu terbang” tersebut anda bilang sekedar ingin mengetahui kekuatan hidung saya. Tolol sekali anda meminta maaf dan bodoh sekali saya memaafkan anda. Memang hidung saya yang anda lempar, tapi ihat, muka saya yang remuk!

Dari contoh sederhana di atas memang perkara maaf-memaafkan memang jangan dianggap remeh. Kita harus ikhas memaafkan kesalahan orang lain selama kesalahannya masih dalam batas yang wajar. Tapi jika sudah melakukan pembunuhan, pemerkosaan, penculikan dan kejahatan berat lainnya di mana kita atau keuarga kita yang menjadi korbannya, sikap yang harus kita ambil adalah menuntut keadilan agar pelakunya diberi balasan yang setimpal. Ketika vonis sudah dijatuhkan barulah kita mempertimbangkan akankah memberi maaf atau tidak pada yang bersangkutan.

Kasus Satinah adalah contoh yang baik bagaimana sebuah kejahatan mendapatkan hukuman yang setimpal. Setelah vonis menyeramkan dijatuhkan, barulah keluarga korban akan menunggu respons balik dari pesakitan, akankah ia menyesali perbuatannnya dan selanjutnya dengan tulus meminta maaf, atau ia malah tersenyum puas seolah merasa tak pernah berbuat salah? Ini adalah contoh yang sangat baik. Sebaliknya, memaafkan tanpa pelaku meminta maaf hanya membuka peluang bagi manusia lain untuk berbuat yang sama. Tak ada efek jera. Toh setelah membunuh bukankah perbuatannya akan dimaafkan? Jika kita merasa lebih terpuji memaafkan seorang pelaku kejahatan sementara sang pelaku enggan meminta maaf, tidakkkah lebih terpuji dengan meminta pengadilan membebaskan pelaku kejahatan tersebut? Bukankah sikap seperti itu malah membuat kita maha terpuji di mata pelaku dan manusia lain?

Seandainya sebuah maaf mudah saja diberikan pada pelaku kejahatan sedang atau berat, maka konsekuensinya manusia di bumi ini akan kehilangan dua hal yang dipandang perlu.

  • Dunia tak perlu lagi Majelis HAM PBB, karena semua penjahat perang akan meminta maaf dan majeis HAM PBB akan memaafkan sehingga menjadi terpuji di mata warga bumi.
  • AS dan sekutu tak perlu menyerang Afghanistan untuk memburu Osama yang membunuh ratusan warga AS pada tragedi WTC. Karena Osama akan meminta maaf dan AS agar dipandang terpuji mestinya  memaafkan.

Harus kita dengan mudah memberikan "maaf" pada pelaku kejahatan tanpa konsekuensi logis sebagai imbalan kejahatannya? Saya tidak akan memaafkan dokter yang mencabut gigi saya dengan celurit atau tang berukuran 50 cm. Sakiiit..., tahu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun