[caption id="attachment_375844" align="aligncenter" width="514" caption="http://www.rosalux.de/"][/caption]
Sebelumnya harus dibedakan istilah politik Fiksi dan Fiksi politik terlebih dahulu. Menurut istilah saya, Politik Fiksi ditujukan pada kelompok atau seseorang yang kerap menulis atau berbicara politik kontemporer dengan cara mendahulukan fantasi dari pada realitas. Mendahulukan pikiran instan  daripada objektifitas. Singkatnya dia menulis politik layaknya fiksi. Susah dicari benang merahnya. Alurnya loncat-loncat tak jelas. Bicara soal pertemuan sosok Amien Rais dengan Jokowi, Misalnya, lalu dikaitkan dengan isu penjatuhan Gus Dur. Mengajak pembaca semakin membenci tokoh yang diulas. Atau ketika berbicara tentang pertemuan Jokowi dengan pemilik facebook, lalu dikaitkan dengan betapa tingginya pencapaian teknologi orang barat dibanding dengan negeri Onta atau Arab. Itu juga aneh. Tidak fokus. Melenceng dari  maksud tulisan.
Sementara Fiksi Politik rasanya tak perlu dijelaskan. Dalam karya sastra sudah banyak yang tahu apa itu fiksi politik. Itu hanyalah masalah genre penulisan saja. Ada seorang penulis yang suka menulis puisi berbau politik, atau bikin cerpen yang kerap berkaitan dengan perlawanan terhadap kekuasaan dan kemapanan kaum priyayi, itulah fiksi politik.
Dari kedua kategori tersebut. Saya perhatikan di berbagai media, termasuk Kompasiana,  kecenderungan penulis kolom politik lebih pada politik fiksi. Cirinya mungkin selalu berpihak pada satu hal dan menafikan hal lain. Bahasanya vulgar dan cenderung menghakimi seseorang atau kelompok tertentu. Sisi baik seseorang atau kelompok tadi diberangus sedemikian rupa dengan berbagai alur yang tidak pada tempatnya. Menggugat kesombongan KMP di parlemen dengan menyerang pribadi dan keluarga yang dibicarakan. Atau meledek Jokowi sambil memasang gambar berbau pelecehan. Menurut saya inilah  ciri utama politik fiksi yang sering kita temukan. Melenceng dan tidak fokus. Nuansa fantasinya lebih tinggi dari pada kenyataan. Benang merahnya kusut dan sulit diurai.
Perilakunya sama dengan Trio macan atau Jonru. Menulis hanya untuk melampiaskan rasa tidak suka pada hal tertentu. Akibatnya apa yang ditulis tidak menghasilkan pencerahan, kecuali menanamkan pembenaran sepihak pada kalangan sendiri  bahwa apa yang tertulis mutlak benar.
Saran saya, kalau mau menulis politik, benang merahnya harus jelas. Boleh membandingkan satu isu dengan isu lain yang relevan. Yang tak boleh asal membandingkan. Membandingkan seorang tokoh dengan Nabi atau membandingkan seseorang  dengan Sengkuni. Itu keluar jalur. Fokus saja dan jangan suka melenceng. Segala sesuatu tak boleh  asal dipautkan. Kalau itu sulit dihindari, mending ubah ke dalam bentuk cerpen dan tayangkan dilaman fiksi politik, bukan politik fiksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H