Menarik apa yang disampaikan oleh wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas, yang menyarankan agar Jokowi mengumumkan kabinet Trisakti-nya di Istana saja. Dua alasan dicetuskan oleh Busyro mengapa pengumuman kabinet berikut tampangnya sebaiknya dilakukan di sana. Yang pertama, menurut Busyro, menteri-menteri yang bakal menjabat adalah lembaga kepemimpin dan politik yang perlu dijaga marwah kenegaraannya. Yang kedua, tentu untuk menghindari pendekatan dari pihak-pihak tertentu untuk mencuri perhatian Presiden dengan menyiapkan fasilitas tertentu yang berbau gratifikasi.
Katakanlah jika pengumuman itu dilakukan dilakukan di gedung Kompas-Kompasiana-Gramedia, Jakarta. Admin Kompasiana jelas akan kelimpungan melayani membeludaknya jurnalis dari dalam dan luar negeri yang ingin meliput momen spesial tersebut. Mustahil admin Kompasiana tidak mengeluarkan biaya tambahan karena menurut Jokowi sendiri “tidak ada makan siang yang gratis”. Hayo siapa yang mesti bayar?
Belum lagi jika ruang Kompasiana sebagai lokasi pengumuman disambangi oleh para Kompasianers sambil membawa buku-buku karya mereka yang banyak mengulas sosok Jokowi selama ini. Kesannya para Kompasianers tadi seperti “pamer jasa” pada Jokowi dengan harapan mantan Gubernur DKI ini merasa hutang budi dan tiba-tiba mengangkat satu atau dua orang Kompasianers terpilih sebagai menteri. Apa bukan gratifikasi namanya?
Sendainya pengumuman nama kabinet dilakukan di kapal Pinisi, Titanic IX atau dibantaran kali Ciliwung, pilihan ini bukan tanpa resiko. Langit di sekitar Jakarta tidak terlalu bersahabat. Jangan-jangan nanti pengumuman bukan dimeriahkan kembang api tapi mercon petir. Serem, kan?
Yang perlu juga diperhitungkan oleh Jokowi tentu faktor keamanan. Juga beban biaya yang harus dikeluarkan untuk aparat yang bertugas. Tentu mereka harus bekerja keras seharian untuk mensterilkan semua yang terindikasi akan menjadi gangguan. Nggak seru pelantikan dihiasi teriakan pedagang bakso yang mencari pelanggan. Sekali lagi, “Tak ada makan malam yang gratis”. Mereka yang datang bakal berjubel. Mulai dari rakyat jelata, simpatisan KIH, Keluarga besar tim transisi, awak media, relawan yang jumlahnya tak sedikit, sampai tukang copet se-Jakarta bakal kumpul menyaksikan keramaian tersebut. Mereka tentu haus dan para pemulung yang hadir bakal teriak,”Nasi bungkus, nasi bungkusnya, Pak!” Bayngkan, jika hal itu tak dipenuhi jangan-jangan suasana acara bukannya kidmat malah menimbulkan kepanikan layaknya pembagian zakat.
Karenanya saran Busyro perlu didengar oleh Jokowi. Memang sebaiknya kabinet diumumkan di Istana negara. Suasana bisa lebih tertib. Biaya tidak akan membengkak. Bukan saatnya momen-momen begini masih melibatkan emosi rakyat agar terkesan merakyat juga seperti pasca pelantikan tempo hari.
Keuntungan lainnya tentu jika pengumuman kabinet dilakukan di Istana negara seperti saran Busryo, maka momen ini bisa disiarkan secara live oleh seluruh media elektronik dalam dan luar negeri tanpa kendala cuaca atau teriakan calon menteri seorang Kompasianers yang gagal sambil menepuk dada,”Sakit, sakit...sakitnya ku disini!”