Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Pengakuan Chia Menjelang Imlek

31 Januari 2014   18:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:17 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="609" caption="Ilustrasi/puisi-esai.com"][/caption]

Seperti yang dijanjikan kamipun bertemu di rumah Hanny, gadis manis berdarah Chinese yang kini menetap di Singapura. Dia sengaja pulang kampung untuk merayakan Imlek dengan seluruh keluarga besarnya, sekalian ingin memperkenalkan aku dengan Chia,salah seorang gadis Chinese yang menjadi korban perkosaan ketika terjadi kerusuhan berbau rasial menjelang ambruknya orde baru. Aku yang berniat membuat sebuah film dokumenter dari sudut pandang lain mengenai peristiwa ini tentu menyambut antusias. Jadilah aku datang memenuhi janji lebih cepat, dari biasanya sukatelat.

Hasilnya, penjaga rumah meminta aku menunggu di teras rumah yang mewah dan megah. Hanny katanya masih dalam perjalanan. Paling lama setengah jam lagi dia pulang dari shooping. Dia ketahui itu setelah mengangkat Hp Hanny yang tertinggal di meja. Pantasan berulangkali aku menghubunginya tak ada sahutan. Sebagai penjaga rumah, pak Jonas yang sudah bekerja puluhan tahun dengan keluarga Hanny, kurang berani menyuruh tamu majikannya masuk begitu saja. Aku diminta menunggu di teras. Sedangkan ia kembali melanjutkan kerjanya menyiangi rerumputan yang mulai meninggi.

Sembari menunggu, aku meluangkan waktu mengitari pekarangan rumah Hanny yang luas. Kumpulan ikan Louhan di sebuah kolam menarik perhatianku. Aku berjongkok dan memandangnya berlama-lama. Sesekali aku melirik penjaga rumah yang tetap was-was mengawasiku. Aku hanya tersenyum dengan sikapnya yang penuh curiga. Namun aku menganggapnya hal yang wajar.

Kurang lebih 20 menit kemudian Hanny muncul dengan Avanza-nya. Seorang wanita cantik mengiringi langkah tergesa-gesanya yang menghampiriku. Aku menyambut hangat kedatangan mereka walau sebenarnya statusku hanyalah tamu.

“Bagimana kabar Pak De?” katanya sangat gembira menanyakan ayahku yang memang sangat dekat dengannya.

“Baik, sehat,” jawabku singkat.

Kami berjabat tangan dan berpelukan ringan. Kerinduan selama15 tahun seolah terpuaskan. Ya, Hanny teman semasa SMA ku dulu memang salah seorang sahabat terbaik yang kumiliki. Perbedaan agama tak membuat kami mengambil jarak dalam hal apa saja. Suka duka kami rayakan bersama. Cuma yang kusesali, ketika aku pindah ke kota lain, amuk komunal mengancurkan semua harta keluarganya. Rukonya dirusak dandibakar massa yang tak dikenal. Aku tentu tak bisa membela harga diri dan keluarganya. Untunglah kemudian aku mendapat kabar keluarga besar mereka semua selamat.

Dari cerita Hanny yang mengungsi ke Singapura setelah kerusuhan, aku mendengar kisah pilu. Keluarga besar kenalannya diserang oleh para perusuh. Salah seorang menjadi korban pemerkosaan. Namanya Chia, dan gadis itulah yang ingin kuwawancarai dan kini sudah berdiri dihadapanku sekarang.

Wajah Chia sangat cantik, walau kini usinya sudah memasuki kepala empat. Namun tubuhnya sedikit agak kurus. Cekungan dimatanya terlihat jelas. Entahlah, mungkin karena fisiknya yang begitu atau terlalu lama menyiman kesedihan yang medalam?

Chia memandangku dengan dingin. Mungkin agak trauma berhadapan dengan seorang laki-laki mengenakan baju koko dan sedikit berjenggot sepertiku. Aku mencoba rileks, menyapanya dan mengulurkan tangan. Ia menyambutnya seperti terpaksa. Begitu singkat dan cepat. Tak ada genggaman erat seperti antara aku dan Hanny. Tak hanya itu, tanpa basa-basi Chia berbalik dan meninggalkan kami dengan langkah tenang. Aku penasaran dan menanyakan sikap Chia setlah pantatku singgah di sofa.

“Apa dia sudah diberitahu maksud kedatanganku?” Hanny menyuruhku duduk sebelum menjawab. “Sudah. Kubilang kau seorang calon sineas muda dan sekarang bikin proyek film dokumenter. “

“Dia setuju jadi narasumber tunggal?”

“Dia tak keberatan. Dia siap mengungkapkan kejadian pemerkosaan itu secara mendetil. Dia tak sanggup lagi menyimpannya dan ingin melampiaskan semuanya saat wawancara nanti.”

“Syukurlah kalau begitu. Tapi kenapa dia menatapku dengan agak aneh?”

Hanny tak menjawab. Dia mengajakku masuk. Saat wawancara berlangsung, Hanny janji akan menemani Chia agar menjadi saksi dalam rekaman yang sudah kusiapkan. Namun ia tak lupa mengingatkan agar aku jangan terlalu mendesak Chia untuk mendapatkan semua fakta. Hanny takut trauma lama yang sudah bisa diatasi Chia lewat bantuan psikiater di Singapura muncul kembali dalam ingatannya. Aku mengangguk.

“Rileks saja. Anggap saja kalian sekedar curhat,”ujar Hanny sebelum menaiki tangga mengular dirumahnya untuk menemui Chia.

Sekitar jam tiga sore, mulailah aku mewawancarai Chia ditemani Hanny. Aku tak menggunakan teknik wawarancara resmi untuk mencari fakta dari Chia. Dia kusarankan bercerita saja dengan terus terang tentang apa yang ia alami saat itu. Nampaknya ia setuju dan Hanny dengan sukarela bersedia memegang alat perekam saat Chia menceritakan kisahnya.

“Tanggal tigabelas mei sembilan delapan, saat itu kerusuhan muai terjadi. Berita penyerangan, pencegatan, dan pembakaran ruko etnis Tionghoa mulai tersebar. Kami diminta waspada karena kerusuhan berbau rasial sudah mulai dihembuskan. Berita itu aku terima dari Selvi. Kau masih ingat dia?”tanya Chia pada Hanny.

“Ya, dia rajin mengirimi kita soal kebenaran berita ini. Tapi dia mengungsi ke Surabaya sehari sebelum kerusuhan,” ujar Hanny.

“Apa kau pernah bertemunya setelah itu?”

“Tidak. Keluarganya sudah lama di Hongkong dan memutuskan tinggal di sana. Chia juga berjanji menyusul mereka setelah mengundurkan diri dari pekerjaan.”

“Cerita sebenarnya, Selvi tidak mengungsi. Aku melihat sendiri dengan mata kepalaku.”

Aku dan Hanny berpandangan.

“Kalau tak keberatan, bisa kau mulai dari sini,”saranku. Hanny walau dalam keadaan tak percaya mendengar kesaksian Chia, dengan refleks menyetujui.

“Malam itu 13 mei 1998, aku tinggal sendiri di rumah. Yang lain sudah mengungsi. Aku sendiri tak percaya kalau warga keturunan akan menjadi sasaran. Jadi aku nekat tetap berada di rumah. Dan dari jendela kamar...” Chia mengumpulkan semua ingatan dengan mata tak berkedip. “ aku melihat sendiri sekelompok orang menyeret Selvi yang baru keluar dari mobilnya. Mereka membawanya ke belakang gudang ruko. Entah apa yang mereka lakukan pada Selvi. Yang aku dengar dari belakang rumah kemudian, ia terdengar menangis dan kemudian menjerit panjang, setelah itu senyap.” Mata Chia mulai basah mengingatnya.

“Lalu?” Hanny tak sabar lagi.

“Keesokan harinya ruko kami dijarah massa termasuk ruko Hanny. Untunglah semua sudah mengungsi, diamankan oleh warga sini yang kesemuanya muslim.”

“Benar. Kami sekeluarga diamankan warga ke sebuah musholah. Warga siap melindungi kami dengan nyawa mereka, jadi tak semua pelaku kerusuhan tadi muslim,”sahut Hanny mencoba menepis anggapan yang keliru selama ini. Aku memberi isyarat pada Hanny untuk membiarkan Chia menyelesaikan ceritanya.

“Hanny memang beruntung. Aku sendiri terlambat menyelamatkan diri. Itu salahku juga, setelah semalaman meringkuk ketakutan di sudur kamar, aku keluar untuk mencari tahu keberadaan Selvi di belakang gudang. Namun aku tak menemukan apa-apa. Tak ada mayat atau tetasan darah. Entah kemana mereka membawa Selvi. Ia seperti dikubur hidup-hidup. Sampai sekarang aku tak tahu dimana Selvi sekarang,”cerita Chia sambil melirik Hanny yang manggut-manggut membenarkan kenyataan ini. Dia memang tak pernah lagi komunikasi dengan Selvi sampai sekarang. Semua orang yang dia kenal jugatak tahu keberadaan selvi.

Chia terdiam sejenak mengumpulkan semua ingatannya. Aku dan Hanny tak sabar menunggu fakta apa lagi yang akan diungkapnya.

“Hari itu kerusuhan memang mulai meluas. Banyak ruko yang dirusak dan dibakar massa.” Bibir Chia bergetar, Hanny memberinya segelas air. Chia meminumnya dan setelah itu menarik nafas panjang. Setelah merasa agak nyaman ia kembali melanjutkan kisahnya.

“Habis mencari Selvi, aku kembali ke ruko melewati gang sempit. Namun, sekelompok pemuda yang sangat kukenal menyeretku. Aku dibawa ke dalam ruko kami. Disaat yang lain menguras semua isi ruko, salah seorang dari mereka mendekatiku sambil berteriak,’sombong, ini balasannya kalau terlalu sombong denganku. Kau tahu, sudah lama aku ingin lakukan ini. Parasit! ’ dan ia menamparku...” Chia menghentikan ceritanya. Aku menangkap kilatan amarah dari matanya.

“Ia terus memukuliku, merobek pakaianku sambil tertawa- puas, tetapi aku terus melawan bajingan itu. Masih sempat kudengar ia mmerintahkan rekan-rekannya kabur dari pintu belakang, sebab sebentar lagi semua ruko akan terbakar. ” Bibir Chia bergetar dan aku menyela.

“Ada kesan balas dendam dari kisah ini. Sepertinya kamu mengenali mereka. Benar?” Chia melirik Hanny yang mengangguk-angguk kecil, berharap ia menceritakan yang sebenarnya.

“Ya, aku tahu siapa mereka. Mereka berandal yang sering mabuk di terminal. Penipu, tukang parkir, pengamen sampai tukang peras. Bukan kumpulan premansatu daerah. Agama juga bermacam-macam, tapi punya perilaku yang sama, buas dan suka bikin onar. Sebelum kerusuhan, aku pernah melaporkan mereka ke polisi karena memeras ruko kami. Dua orang dari mereka ditahan, mungkin itu yang membuat mereka dendam, bukan alasan lain.”

“Lalu, apa yang diperbuatnya padamu? Melampiaskan dendam itu dengan perkosaan atau apa?” aku menanyakan inti film dokumenter yang ingin dibuat. Chia agak lama berpikir sebelum menjawab.

“Setelah isi toko habis dikuras, bajingan itu memerintahkan temannya kabur, sementara aku diseret ke kamar. Dia..., mencoba memperkosaku.” Chia menutupnya dengan tangis. Dia mengangkat dan memeluk kedua kakinya di sofa. Hanny mengusap punggungnya untuk menguatkan.

“Tapi aku terus melawan dan berteriak. Dia semakin kalap memukuliku. Aku tak menyerah dan sempat lari ke dapur. Di sana kembali kami bergulat. Aku..aku sudah setengah bugil,”cerita Chia kembali terisak. Kemudian dia mengangkat wajahnya dan memandangku dengan tajam. “Masa depan dan hidupku saat itu benar-benar terancam. Tapi aku tak mau menyerah. Pilihanku lebih baik mati dari pada ia merenggut semuanya. Kehormatanku dan juga harta kami. Saat ia mencoba melepas celanaku yang sudah robek di sana-sini, aku meraih botol dekat kompor dan memukul wajahnya. Botol pecah dan ia menjerit, wajahnya dipenuhi kecap dan...darah”

Hanny bergidik mendengarnya.

“Aku tak dan terus menyerangnya dengan botol yang lain. Entah sudah berapa botol yang kupecahkan dikepalanya. Aku melakukannya sambil berteriak, ‘ini rumahku, tak ada orang lain yang berhak mengambilnya. Sampah sepertimu memang tak layak hidup.’ Saat ia terjengkang menahan sakit, selangkangannya kusepak dengan keras.”

“Saat itu api mulai membakar ruko kami. Asap hitam memenuhi dapur. Nafasku sesak, dengan tenaga tersisa aku memecah jendela. Api sudah menyambar dapur, asap hitam sangat pekat, masih kulihat bajingan itu seperti menghiba padaku. Tetapi aku tak peduli, aku meloncat dari lantai dua. Lalu aku diselamatkan oleh warga pibumi lainnya.”

“Aku begitu lunglai dan dibawa warga ke tempat aman, namun aku masih sempat melihat ruko kami yang dilalap api, termasuk laki-laki itu, laki-laki yang pernah menaruh hati padaku saat sekolah dulu.”

Chia mengakhiri ceritanya dengan bersandar di sofa. Ia memejamkan mata dengan linangan air mata. Senyumnya terlihat hambar. Sedangkan aku dan Hanny hanya terdiam tak percaya. Tak percaya jika Chiabukan korban pemerkosaan. Jelas memang, dia selama ini trauma dengan kejadian itu. Dan juga merasa tertekan karena tak mampu menyelamatkan laki-laki yang coba memperkosanya. Lelaki yang pernah menaruh hati padanya. Dia merasa dirinya seorang pembunuh. Ya, pembunuh, dan Chia menyimpannya dengan rapi.

Aku menghela nafas. Entah seperti apa film dokumenter yang akan kuangkat nanti. Hitam dan putih sangat jelas. Tetapi aku bingung harus memulainya dari mana. Aku nantinya ingin film dokumenter ini dipersembahkan pada sahabat-sahabatku di hari mereka merayakan Imlek. Masih ada cinta usang yang tersimpan saat duka itu melanda. Tetapi akankah mereka mau menerima jika ada kisah lain dan sedikit bertolak belakang dengan apa yang mereka yakini? Ah, tak ada yang salah pada Chia. Demi sebuah kehormatan seseorang memang akan menempuh segalanya.

(Selamat Imlek Bagi Saudaraku yang merayakannya. Tebar Damai di Langit Nusantara)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun