Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Membenturkan Air Kemasan Dengan Investasi Asing?

5 Maret 2014   21:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:12 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tersenyum membaca tulisan Anjo Hadi menjawab tulisan dan plus komentar saya beberapa hari terakhir berkenaan dengan polemik “air kemasan”. Saya kurang bisa menangkap, tulisan Anjo Hadi tersebut menanggapi tulisan saya sebelumnya atau beberapa komentar yang bertebaran di tulisan kompasianers lain?

Dalam tulisan Anjo Hadi tersebut, Anjo mengakui bahwa isi ulisan saya yang menafsirkan arah pernyataan Din mengenai “keharaman air kemasan” bila dikaitkan dengan penguasaan asing adalah benar setelah merujuk tautannya ke berbagai media. Dalam hal ini tak ada polemik.

Uniknya Anjo Hadi walau ujungnya terkesan mengkritisi Din, diawal artikelnya justeru sepakat dengan pernyataan Din sampai berani malah menyalahkan sistem sebagai penyebab mengapa negara tak juga memenuhi kewajiban konstitusinya. Dari sini muncul kesan saya bahwa Anjo Hadi sepakat secara konstitusi dengan Din, cuma berkelit dengan dalih investasi asing walau bagaimanapun tetap diperlukan. Padahal Din tidak menolak investasi asing dibidang lainnya. Bukankah pernyataannya menyangkut air yang diatur khusus dalam konstitusi? Aneh kalau kita membawanya ke ranah investasi pabrik rokok, mobil atau Hp, seperti yang saya lihat dalam komentar-komentar dalam tulisan Anjo Hadi. Lucu!

Soal pernyataan lainnya ; Tentu ini menimbulkan polemik baru mengingat sepertinya tidak ada satupun negara di dunia yang pemerintahnya berjualan air kemasan.

Lho, nggak ada perkataan Din agar pemerintah berjualan air kemasan. Yang diharapkan pemerintah ini benar-benar menjalankan konstitusi dan mengelola air tersebut untuk kemakmuran rakyat. Itu saja kok. Soal Teknis ya terserah pemerintah bagaimana nantinya. Apa ingin meniru Australia atau Kanada. Ya terserah. Begitu, kan?

Mengenai negara yang dicontohkan oleh Anjo hadi sepertiChina, Iran dan Venezuela, maka saya tegaskan ketiga negara tersebut tak pernah ada dalam artikel saya. Ketiga negara tersebut saya jadikan contoh dalam adu komentar berkaitan dengan nasionalisasi dan kemandirian bangsa. Setiap negara pasti pasti ingin Berdikari (berdiri di ats kaki sendiri) dan terlepas dari ketergantungan asing termasuk masalah investasi atau modal. Aneh siapa yang tidak setuju dengan nasionalisasi dan kemandirian bangsa. Padahal pernyataan Din ini harus kita jadikan cambuk untuk berdaulat secara ekonomi agar tidak lagi di cap bangsa “babu” yang martabatnya sering dilecehkan bangsa lain.

Satu hal yang mengganjal ketika Anjo dengan berani menulis, “Cina secara ekonomi terbuka, hanya politiknya saja yang tertutup. Sebenarnya penulis cukup bingung mengapa Erwin yang jelas-jelas menyatakan ketidaksetujuan atas prinsip kapitalisme tapi malah menggunakan contoh negara yang basis ekonominya kapitalis seperti Cina. “

Tak ada riwayat yang menyatakan China adalah negara kapitalis. Secara ekonomi China mengusung Sitem Ekonomi Pasar Sosialis. Keliru juga kalau dikatakan China menganut ekonomi terbuka. Kalau sedikit terbuka mungkin benar. Itupun dilakukan pemerintah China untuk menjaga pasar mereka agar tak dibuat ambruk oleh kekuatan ekonomi global yang tidak sejalan dengan sistem mereka anut.

Secara kronologis sistem ekonomi China dapat dijelaskan sebagai berikut.

1949-1979 : Sistem ekonomi terencana yang sosialis. Pada periode ini target perkembangan ekonomi semua sektor direncanakan oleh lembaga-lembaga khusus negara.

1970-1977 : Reformasi sistem ekonomi terencana.

1978-1983 : Tiongkok melaksanakan sistem tanggung jawab di daerah pedesaan yang terutama berupa sistem kontrak atas dasar keluarga yang dikaitkan dengan hasil produksi. 1984-1991 reformasi sistem ekonomi beralih ke kota dari pedesaan.

1992-2002 : Tiongkok menetapkan arah reformasi untuk mendirikan sistem ekonomi pasar sosialis.

2003-2010 : penyempurnaan sistem ekonomi pasar sosialis, yakni: sesuai dengan tuntutan mempertimbangkan secara menyeluruh perkembangan kota dan desa, perkembangan regional, perkembangan sosial dan ekonomi, perkembangan harmonis antara manusia dan alam, serta perkembangan di dalam negari dan keterbukaan terhadap dunia luar.

2010-2020 : Membangun dan menyempurnakan sistem ekonomi pasar sosialis yang lebih matang.

Dari kronologis tersebut jelas, China sangat anti dengan kapitalis. Keterbukaan ekonomi di China hanyalah "kemasan tak berisi" demi menjaga hubungan ekonomi dengan negara lain yang sistemnya berbeda. Itupun baru di mulai periode 2003-2010.

Walau sifatnya semi terbuka, pemerintah China ketat mengawasi ekonominya secara politik terutama dengan perusahaan-perusahaan milik pemerintah dan sektor perbankan. Secara politik, ia masih tetap menjadi pemerintahan satu partai. Dengan sistem politik satu partai saja menjadi tiori bagi kita bahwa China sejatinya tidak akan membiarkan faham kapitalis menggeser sistem ekonomi yang sudah terarah sejak berdiri.

Apa kaitannya pernyataan Din dengan maksud saya menghubungkannya dengan China?

Jelas. China sedikit mau membuka diri setelah mereka berhasil menanamkan kemandirian pada bangsanya. Sehingga dengan ekonomi yang tergolong kuat tersebut China mulai berani membuka diri agar investasi asing bisa "bermain" dinegaranya. Itupun dalam pengawasan ketat dari partai penguasa. Dari gambaran ini sebenarnya Din mendorong bangsa kita berdaulat dahulu dalam bidang ekonomi. Berdaulat ini adalah senjata kita untuk bertahan dari gempuran asing. China adalah studi kasus yang baik soal itu.

Kita tak akan sanggup bertarung di AFTA jika hajat yang menguasai hidup orang banyak saja dikuasai asing. Ingat, Investasi tetap diperlukan selama bukan yang berkaitan dengan hajat orang banyak seperti air. Silahkan asing bikin pabrik mobil, karena mobil bukan hajat hidup orang banyak. Silahkan bikin pabrik Hp, karena Hp bukan kebutuhan primer. Tapi air? Hutan? Apa ada manusia Indonesia yang memandang air adalah kebutuhan sekunder?

Lalu apa yang aneh dengan pernyataan Din?

Tak ada yang aneh kalau kita mengacu pada pasal menyangkut air tadi. Barulah aneh kalau ternyata pasal yang mengatur soal air tadi tidak ada. Kalau ada yang mengkaitkan pernyataan Din soal air tadi dengan Australia, China, Iran atau Venezuela maka tentu pandangan yang keliru.

Di empat negara tersebut (mungkin) tak ada UU yang mengatur secara khusus tentang air. Makanya wajar tak ada kendala soal investasi dibidang ini. Beda dengan negara kita yang mengaturnya secara khusus. Kasus air yang diperjualbelikan dan dikelola seenaknya jangan disamakan dengan investasi pabrik farfum, roti atau bedak!

Soal Iran dan Venezuela tidak akan saya kupas. Karena negara tersebut saya jadikan contoh kemandirian ekonomi suatu bangsa, bukan soal investasi. Soal investasi tak masalah. Din hanya memberi warning agar kita berdaulat secara ekonomi. Investasi asing boleh asal jangan menguasai hidup orang banyak. Kita bicara Indonesia ke depan, bukan sekarang!

Terakhir, ada pertanyaan menarik bila kita kaitkan pernyataan Din soal air dengan China, Iran Atau Venezuela, apakah salah satu pasal di UUD 1945  yang mengatur secara khusus soal air tersebut akan kita jalankan atau diamandemen saja bila ternyata mandul? Apakah ketiga negara juga memiliki pasal yang sama dengan kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun