[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="tanjungpinangpos.co.id"][/caption]
Sudah dua kali saya mengkonsumsi makanan yang sudah expired. Tak ingin terulang ketiga kalinya terpaksa harus bersikap nyinyir dengan menyarankan si penjual untuk menarik makanan tersebut dan mengembalikannya pada agen sebelum jatuh korban. Alhamdulillah, sikap nyinyir tadi diapresiasi dengan baik. Ucapan terimakasih karena sudah mengingatkan akan dampaknya datang dari yang bersangkutan.
Keesokan harinya saat bertemu dia kembali menghaturkan ucapan yang sama sambil tak lupa meminta maaf atas kelalaiannya. Dia mengakui bahwa awam sekali soal makanan yang sudah kedaluwarsa. Dia merasa agak sulit membedakannya karena keterbatasan ilmu. Dengan senang hati lalu saya menjelaskan sesuai dengan kemampuan.
Apa yang saya alami mungkin pernah terjadi pada kita semua. Penyebabnya karena kita terkadang lalai dalam soal ini. Kita tak punya keberanian menengur karena takut menimbulkan ketegangan. Sementara pedagang terkadang abai. Bagi mereka yang penting dagangan laku. Kadang ada juga pemikiran kotor, menjual barang stok lama dengan harga pasar sekarang adalah sebuah keuntungan. Â Mereka tak menyadari dampak yang mungkin timbul kemudian hari. Selain dapat membahayakan konsumen, perbuatan menjual barang yang sudah kedaluwarsa dapat disanksi pidana. Mungkin setelah pelanggan melakukan tuntutan balik setelah dirugikan, barulah si penjual menyesalinya.
UU Nomor 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen  sudah mengatur jelas soal ini. Mereka yang dengan sengaja menjual barang kedaluwarsa dapat dikenai sanksi pidana maksimal 5 tahun dan denda 2 milyar rupiah. Sayangnya dalam banyak kasus, ketentuan ini jarang sekali diterapkan. Paling instansi berwenang memberikan teguran atau surat peringatan pada pemilik toko, minimarket, atau swalayan jika kedapatan menjual makanan yang kedaluwarsa. Jarang berakhir di pengadilan. Sanksi paling ekstrim baru sekedar menyita semua produk kedaluwarsa tadi untuk dimusnahkan. Selesai.
Ke depan, selain menerapkan sanksi tegas terhadap para pelanggar seperti maunya UU di atas, instansi terkait seperti Dinas Kesehatan atau BPOM mesti rajin blusukan dilapangan. Jangan menjelang lebaran saja kelihatan sibuknya. Nanti  kalau sibuknya dianggap sekedar mencari tambahan THR buat lebaran atau cari pengganti bayar tiket pulang kampung, yang punya instansi marah-marah dan menuntut orang melakukan pencemaran nama baik. Yang kedapatan salah oleh mereka malah diajak  buka bersama, di mana biaya sepenuhnya ditanggung calon tersangka. Kacau, kan?
Ada lagi masukan. Selain harus rajin blusukan demi melindungi hak konsumen memperoleh makanan yang sehat, ada baiknya juga instansi terkait tadi mengambil langkah proaktif misalnya membagaikan selebaran atau brosur ke warung-warung kecil yang ada di kampung atau pedesaan. Isinya mungkin mengenai  ciri, dampak dan sanksi hukum bagi mereka yang memperjualbelikan makanan kedaluwarsa. Sebab, umumnya makanan kedaluwarsa ini masih banyak diperjualbelikan warung-warung kecil karena faktor ketidaktahuan seperti kenalan saya tadi.
Mustahil kita akan menerapkan sanksi hukum atau denda 2 milyar di atas ketidaktahuan mereka. Nilai dagangan plus rumah saja nilainya tidak sebesar itu. Apalagi kalo modal dagangan saja minjem sama rentenir dan rumah masih ngontrak.
Namun tetap sosialisasi lewat brosur dan selebaran tadi diperlukan. Jika memang masih ada mini market, swalayan, toko, terutama warung kecil yang ada di kampung-kampung, masih juga mereka  membandel padahal sudah disosialisasikan, barulah ketentuan  UU itu diterapkan. Mau tidak mau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H