Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Korupsi di Negara Sekuler Rupanya Sangat Parah

4 Februari 2014   14:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:10 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang yang beranggapan bahwa negara-negara sekuler murni seperti Inggris, tingkat korupsi di negara tersebut sangat rendah dibanding dengan negara-negara berbasis agama. selama ini orang banyak setuju atau cenderung mendiamkan karena tak tahu dengan cara apa harus membantah. Tetapi pandangan itu kemudian mentah dengan sendirinya setelah laporan terbaru dari komisi Eropa menyatakan tingkat korupsi di negara-negara yang tergabung di uni eropa sangat mencengangkan.

Mencengangkan dapat berarti diluar perkiraan atau sudah berada dibatas kewajaran. Hal ini jauh berbeda dengan persepsi publik bahwa benua Eropa yang sekuler adalah benua yang maju, pejabatnya walau suka selingkuh tapi jujur soal keuangan negara. Cuma memang nggak jujur dalam keuangan rumah tangga. Ya jelas, memiliki pasangan selingkuh bebas biaya memang tak ada kamusnya di dunia ini. Benua Eropa dijadikan contoh demokrasi dan rule of law bagi negara-negara lain karena merupakan zona bebas korupsi.

Tapi citra positif itu sedikit meluntur setelah Cecilia Malstrom, komisioner urusan dalam negeri Eropa berani menyatakan, angka korupsi di Eropa sekali lagi sangat mencengangkan. Diperkirakan membebani perekonomian Eropa lebih dari 185 milyar dollar (atau 2,2 trilyun) per tahun berdasarkan temuan. Hal itu dipicu oleh rendahnya komitmen politik untuk mencegah korupsi di semua bidang. Kenyataan ini, menurut Cecilia,dapat merusak kepercayaan warga terhadap demokrasi dan rule of law.

Saat menulis di surat kabar Swedia, Goeteborgs-Posten, Cecilia juga menyebutkan 4 dari 10 pengusaha mengatakan korupsi menghalangi mereka untuk berbisnis di Eropa. Sedangkan di sejumlah negara para pasien harus membayar sogok untuk mendapatkan pengobatan. Dengan temuan ini, apa yang terjadi di benua sekuler Eropa sebenarnya sama saja dengan kejadian di negara berkembang atau negara berbasis agama lainnya.

Korupsi sudah mewabah dan menjadi penyakit masyarakat nomor satu. Jika selama ini indeks korupsi mereka prioritaskan pada negara-negara berkembang dan mereka kaget dengan hasilnya, sekarang giliran mereka tercengang-cengang jika ternyata penyakit yang sama juga terdeteksi di tubuh mereka sendiri. Itulah fakta yang bicara, bukan sekedar persepsi atau asumsi yang dibangun atas dasar kemajuan suatu bangsa.

Sayangnya kebanyakan mereka yang berkiblat pada kehidupan negara-negara barat, yang mengabaikan agama dalam kehidupannya, tidak mengetahui itu dan hanya melihat sisi luarnya saja. Cenderung gampang menyalahkan perilaku pemimpin di negara berkembang atau berbasis agama, tapi lupa mengkoreksi diri sendiri. Seandainya mereka berada di posisi Cecilia, mungkin mereka akan bungkam seribu bahasa dan sadar bahwa korupsi memang ada di mana-mana dengan tingkat kecanggihan yang berbeda-beda. Semakin maju suatu negara, tentu semakin lihai juga mereka menyembunyikannya. Para pengagum demokrasi sekuler luar negeri yang "membonsai" agama dalam kehidupannya  memang kurang lihay dibanding Cecilia sehingga mereka tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Setelah dikasih secuil bocoran baru tercengang-cengul.

Sumber :

Kompas.com

BBC Indonesia

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun