Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kenaikan BBM dan Fanatisme Antar-rezim

19 November 2014   20:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:23 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Percuma saja kita disuguhi data betapa mahalnya BBM Indonesia dibanding ASEAN. Betapa tingginya harga-harga premium kita dibanding USA. Betapa manjanya bangsa kita dengan subsidi. Betapa brengseknya rezim masa lalu yang menempuh kebijakan tersebut. Hal itu tidak akan menyelesaikan persoalan. Hanya membangkitkan ketegangan antar pendukung rezim.

Pendukung rezim sekarang tentu bangga dengan kebijakan pemerintah yang dipandang tegas dan tidak selemot rezim sebelumnya. Rezim sebelumnya lebih bangga karena kebijakan mereka selalu disertai dengan pertimbangan yang matang. Rezim Orba lebih bangga lagi karena di masa pemerintahan mereka BBM disubsidi dan harga sembako sangat terjangkau. Mau dibilang hutang membengkak asal perut rakyat tidak mengempis alias kelaparan, ditempuh juga oleh rezim Orba. Nilai positif yang mesti dicatat oleh manusia zaman sekarang, bagaimana negara hadir untuk mengisi perut rakyatnya dengan segala cara.

Memang tak ada rezim yang istimewa. Semua bernilai plus-minus, tergantung pada rezim mana kita merasa lebih diperhatikan. Warisan dan pandangan politik orang tua sebelumnya juga turut menentukan ke rezim mana kita lebih berpihak.

Saya sendiri sesungguhnya tak begitu mengerti soal BBM dan mafia migas. Kenaikan atau penurunan BBM juga tak begitu berpengaruh karena dalam keseharian lebih banyak jalan kaki daripada naik kendaraan. Jarak dari rumah ke sekolah kurang dari setengah kilometer. Ke pasar paling 700 meter. Jadi buat apa naik kendaraan  jikalau jalan kaki lebih menyehatkan?

Namun tetap walau pengaruh kenaikan tersebut tak begitu signifikan bagi orang yang hidup di daerah pelosok seperti saya, tetap saja kebijakan pemerintah menaikkan BBM perlu dikritisi. Jangan asal dukung dengan anggapan sikap yang tegas, berani melawan arus dan sebagainya. Saya juga bisa kok menaikkan BBM lebih tinggi dari yang dilakukan Jokowi. Masa bodoh orang protes. Yang penting saya punya cadangan dana melimpah untuk mengelola negara. Tapi haruskah mengabaikan penderitaan masyarakat kecil yang terkena dampak luar biasa dari pengalihan subsidi tersebut? Pertanyaan inilah yang menyebabkan saya enggan jadi presiden karena dituntut akan menaikkan BBM nantinya oleh orang-orang di sekitar saya.

Kesimpulannya, mau  rezim Orla, Orba, Mega, SBY atau Jokowi, ketika mereka akan menaikkan BBM maka wajib dikritik dengan menjadikan rakyat kecil sebagai acuan, sehingga dengan kritik tersebut diharapkan pemerintahan lebih berhati-hati sebelum mengambil keputusan. Bukan seperti yang terjadi sekarang, terus didukung total dengan alasan-alasan yang susah dimengerti orang awam.

Jangan salahkan saya jika tega berkata,"Simpan bahasa intelekmu, kami orang awam! Semua rezim belum terbukti membuat rakyat sejahtera. Kenapa dibela atau dicela berlebihan?"

Wallahu'alam Bishowab, kita orang awam nggak bisa jawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun