Ketika salah seorang TKI kita dulu terancam hukuman pancung di Arab Saudi, pembelaan tak hanya datang dari rakyat Indonesia, pemerintah dengan segala upaya berusaha membantu pesakitan yang tinggal menghitung hari. Segala cara ditempuh. Jalur diplomatik, hubungan baik, sampai membayar denda digelontorkan agar TKI bersangkutan lepas dari jerat hukuman. Namun ada juga yang menganggap rakyat dan negara terlalu lebai karena lebih suka mengucurkan uang rakyat untuk membebaskan seorang “pembunuh” dari pada dibangunkan gedung sekolah.
Maka otak bisnis mereka yang menentang upaya pembebasan tersebut mulai berfungsi. Dihitunglah jumlah potongan besi, Sak semen dan material bangunan lainnya jika uang milyaran tersebut digunakan untuk kepentingan rakyat. Mereka lupa kalau TKI tadi rakyat juga. Dan harga nyawanya sangat murah walau dihargai ratusan milyar rupiah, kecuali bagi mereka yang sudah hilang rasa kemanusiaannya. Alhasil upaya pembebasan TKI dulu menimbulkan pro kontra antara kedua kubu. Uniknya di Kompasiana, kedua kubu ya orangnya itu-itu juga.
Begitu juga ketika kasus MA bergulir. Banyak yang empati karena MA hanyalah seorang tukang sate. Banyak juga yang idealis dan menganggap” hukum adalah panglima” sehingga MA layak dihukum dengan ancaman 12 tahun penjara. Namun ada juga yang mengambil sikap pertengahan. Diskusi dan debat terus terjadi di medsos hingga terbawa ke Kompasiana.
Perdebatan kemudian agak menyimpang. Mereka yang peduli dengan MA lantas dicap sebagai pendusta. “Dulu menentang Missword dan menyetujui UU pornografi, sekarang malah membela. Ketahuan deh luh.!”Begitu mungkin alur pikir yang ingin ditanamkan. Yang dituding tak mau kalah. “Dulu kalian menentang UU pornografi, tapi kok kalian mengutuk perilaku porno-nya ‘si MA’? Bukankah MA harus didukung dengan dalih kebebasan berekspresi?”
Dengan ilustrasi di atas, ketahuan. Sebenarnya kedua belah pihak sama-sama bingung dengan pilihan masing-masing. Intinya, mereka hanya menjadikan sebuah pandangan berdasarkan kepentingan sesaat. Kalo sehati walau salah maka dipandang suatu kebenaran. Kalau tidak sreg walau benar tetap dipandang sebuah kesalahan. Pokoknya bagaimana hati menjadi puas dan ego tersalurkan maka cukuplah sudah.
Saya sendiri dari dulu tak mau terlibat soal label “Cabul vs Habul” yang sempat menghiasi Kompasiana. Ujungnya sudah bisa ditebak. Mereka yang terlibat perdebatan tadi akan berbelok di kemudian hari. Salah dibenarkan, benar disalahkan. Ternyata dugaan itu tak meleset. Memang tak semua dari mereka yang berbelok, namun mayoritas memang begitu. Sehingga ketika anda dengan mudah mencap seseorang pendusta, saya hanya tertawa. Karena sesungguhnya anda berdusta dengan pandangan anda sendiri. Lebih sangar lagi saya berani bilang anda termasuk manusia yang munafiq, setingkat lebih para dibanding seorang pendusta.
Karenanya saya hanya bilang, ketika ada seseorang membela MA dalam kasus tersebut, jangan gampang menyebut mereka pendusta. Pembelaan bukan berarti MA tidak bersalah. Pembelaan tak berarti menggugurkan kesalahan MA. Tapi setidaknya, bila tak bisa dimaafkan, dengan pembelaan tersebut kita berharap vonis yang dijatuhkan pada MA tak lebih berat dari koruptor.
Pembelaan dilakukan karena MA hanyalah “orang keci” yang seringkali menjadi korban kebijakan “orang besar”. Pembelaan itu juga yang dilakukan rakyat dan negara terhadap TKI yang terancam hukuman pancung. Pembelaan bukan dimaksudkan untuk membenarkan kesalahannya. Pembelaan hanya sekedar berbagi empati pada “orang kecil=TKI” tadi karena dia tak mampu membela diri dihadapan “orang besar=Tuannya”. Apakah anda akan mencap negara sebagai pendusta atau munafiq karena pembelaan tersebut?
Kalau anda mengangguk, bersiap-siaplah dikasuskan seperti MA karena kabarnya masuk kategori pelecehan terhadap negara dan pemimpinnya.
Sebut saja saya sok bijak, saya hanya bilang,"Alhamdulillah..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H