Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Inkonsistensi Penggunaan Metode Rukyat?

16 Juli 2015   10:15 Diperbarui: 16 Juli 2015   10:15 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti yang kita ketahui bersama, dalam masalah menentukan 1 syawal dan 10 Dzulhijah, kerap terjadi perbedaan antara dua ormas tertua penjaga republik, yakni Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah telah mengambil sikap jelas dengan meninggalkan metode rukya6 dan beralih ke hisab. Semenetara NU dan sebagian ormas lain tetap bertahan dengan metode Rukyat.

Dua metode ini sama-sama dibenarkan dalam kacamata agama. Metode rukyat didukung oleh hadits, sementara metode hisab selain didukung hadits, juga merupakan hasil ijtihad dalam menafsirkan ayat-ayat berbau semesta seperti yang tercantum dalam Al-qur’an. Semuanya mengandung kebenaran menurut keyakinan masing-masing. Namun tak boleh ditampik kebenaran sejati hanyalah milik Allah semata. Artinya, dari dua metode yang dipakai, pastilah ada metode  yang lebih mendekati kebenaran.

Kali ini tanpa bermaksud menyalahkan, saya ingin mengkritisi saja penggunaan metode rukyat dalam menentukan 1 syawal. Menurut hemat saya, NU selaku pelaku utama metode ini hendaklah konsisten dengan pilihannya. Jika benar ingin menggunakan rukyat sebagai putusan akhir, NU tak perlu menjadikan hisab sebagai metode pembanding.

Umat seringkali mendengar pernyataan tokoh NU bahwa pilihan menggunakan rukyat  bukan berarti mereka tak punya ahli falak. Ahli falak yang dimiliki NU banyak dan berkompeten. Lalu apa gunanya ahli falak tersebut jika metode rukyat  selalu dijadikan sebagai penentu keputusan?

Sebagai contoh dalam menentukan 1 syawal. NU sudah mengakui berdasarkan hisab 1 syawal jatuh tanggal 17 juli. Tapi tetap harus dibuktikan dengan melihat bulan secara teropong, bukan secara langsung sesuai dengan hadits nabi. Apabila hilal terlihat, maka hisab dipakai. Apabila hilal tak terlihat karena berbagai faktor, baik faktor alam maupun peralatan, maka bulan ramadhan digenapkan dan perhitungan hisab ditinggalkan.

Menurut saya ini tidak konsisten dan hanya menjadikan hisab sebagai asesoris semata. Sebab, apapun hasilnya, tetap saja hasil rukyat yang digolkan. Hilal tak terlihat, hisab ditinggal. Hilal  terlihat, hisab dijadikan pembenar. Padahal jika hilal sudah terlihat, apa gunanya lagi membenarkan penglihatan tersebut dengan mengabaikan hisab? Inkonsistensinya terlihat jelas di sini.

Ke depan, NU harus berani menggunakan satu metode saja, yakni rukyat. Tinggalkan saja metode hisab kalau sekedar menjadi asesoris semata. Kalau tetap menggunakan hisab sebagai pembanding, maka dapat menimbulkan kerancuan. Hasilnya justeru membingungkan. Kita ambil contoh beberapa tahun yang lalu. Hilal tak terlihat, ramadhan digenapkan 30 hari. Sementara hasil hisab ramadhan hanya 29 hari. Akibat menjadikan rukyat  sebagai putusan akhir, banyak  nahdiyin terpaksa berbuka setelah mendapat edaran berbuka yang notabene dari tokoh NU sendiri, atau karena mereka agak jengkel setelah tahu di dunia ini hanya beberapa negara saja yang 1 syawalnya berbarengan dengan Indonesia. Malah Malaysia yang diklaim sama, ternyata berbeda. Inilah akibat dari inkosistensi tersebut. Yang dibikin bingung tentu kalangan NU sendiri. Pun pemerintah turut andil menciptakan kebingungan tersebut karena terlanjur yakin dengan metode lama lama tersebut.

Sejatinya, jika NU juga menggunakan  hisab sebagai alat untuk menenetukan 1 syawal selain rukyah, maka opsi  idealnya menjadi begini.

# Jika hilal tak terlihat karena berbagai faktor, maka hisab dijadikan putusan akhir.

Itulah opsi yang ideal jika NU menyatakan selain menggunakan Rukyat, mereka juga menggunakan hisab. Sekali lagi, tak ada gunanya  hisab jika kemudian ditinggal begitu saja. Kasihan umat. Kasihan dengan ahli hisab dari kalangan NU yang terpaksa memundurkan tanggal merah di kalender gara-gara hilal dinyatakan belum terlihat.

Dalam menentukan 1 syawal ini, peran pemerintah juga perlu ditinjau ulang. Di zaman sekarang di mana filosofi Islam Nusantara tengah dikumandangkan, yang intinya menghargai perbedaan dan keragaman, sudah saatnya pemerintah tak lagi ikut campur soal penentuan 1 syawal. Biarkan 1 syawal itu ditentukan oleh keputusan ormas masing-masing. Pemerintah wajib menjaga dan memeliharan perbedaan tersebut. Kecuali pemerintah atau siapa saja yang berkuasa takut kehilangan dukungan dari salah satu pihak. Kalau isi yang ada dikepala begitu, khawatirnya sebuah keputusan yang berorientasi pada kekuasaan, bukan keadilan, kebenaran atau keyakinan, maka keputusan yang diambil dapat menyengsarakan batin umat yang memiliki pandangan berbeda. Pemerintah seolah ingin memaksakan sebuah keputusan. Istilah Islam Nusantara, seperti halnya Hisab, khawatirnya hanya menjadi asesoris semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun