Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Pukul Siswa, Gejala Bunglonisasi Pendidik?

1 Oktober 2014   06:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:51 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pemukulan terhadap seorang siswa kembali terulang. Kali ini TKP-nya berada di  Ibukota. Konon, seorang guru 'naik pitam' melihat siswanya bukan mengindahkan peringatan yang diberikan, malah pamer kebandelan dihadapan siswa lainnya. Kasus yang terjadi di sebuah MTs ini sudah diangkat media dan sang guru dengan jantan siap memprtanggungjawabkan perbuatannya, mengingat siswa yang dipukul tadi mungkin dimatanya sudah teramat sering melanggar ketentuan yang berlaku di sekolah.

Terlepas siapa yang benar dan siapa yang salah dalam kasus ini, akhirnya saya jujur harus mengakui kebenaran sinyalemen Ahok soal “bajingan” tempo hari. Selaku guru, harus diakui terkadang harga diri  kita dipermainkan oleh siswa-siswa bandel,  yang dalam beberapa kasus mereka seakan terlindungi oleh perangkat peraturan yang ada.

Kasus pemukulan siswa memang kerap terjadi dan sungguh suatu dilema bagi guru zaman sekarang. Bersikap terlalu keras dalam mendidik akan dituntut, ngomong salah akan dikenai pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. Jika  terlalu lembut cilakanya perilaku siswa yang super menyebalkan tadi perlahan dapat “membunuh” harga diri guru bersangkutan.

Kita semua  percaya bahwa fungsi pendidikan itu selain untuk menambahkan pengetahuan pada anak juga untuk mengubah seseorang menjadi lebih baik lagi. Namun jika yang dididik karakternya tetap jalan di tempat, tak kunjung  berubah dan atau  bertambah bengal, sah-sah saja jika kemudian semua tiori mendidik yang baik dan benar sesuai EYD, atau semua filosofi hebat tentang pendidikan lainnya yang ada di kepala seorang guru,  praktis menjadi tiori yang tak berguna.

Akibatnya seorang pendidik bisa saja mengalami bunglonisasi kepribadian dalam menjalankan tugasnya. Dia akan beradaftasi secara negatif terhadap perilaku siswa yang mengabaikan fungsinya. Seorang pendidik yang sabar bisa berubah menjadi petinju jika harga dirinya terus dilecehkan para siswa.  Pendidik yang lebih banyak diamnya dan selama ini dikenal baik serta  intonasi bicaranya teratur, bisa jadi gaya bicaranya berubah seperti  orang kesurupan, meminjam istilah Fisika, ngomongnya mirip gerak lurus tak beraturan. Semua ucapan yang tak pantas dalam kondisi labil seperti ini  mungkin  akan terlontar  demi melampiaskan kemarahan pada siswa-siswa tipe “bajingan” seperti kata Ahok dulu.

Sebaliknya Pendidik yang dikenal cerewet malah bisa terdiam karena shock mengetahui siswanya ternyata sangat cerewet kuadrat. Pola berubahnya perilaku guru alias bunglonisasi pendidik ini dapat saja terjadi mengingat  iklim pendidikan zaman sekarang kurang kondusif untuk memberi efek jera pada siswa, yang ditandai dengan proteksi berlebihan terhadap seorang anak melalui UU dan sebagainya. Posisi guru selalu “dikalahkan” oleh suara media yang terkadang bias dalam pemberitaannya.  Padahal tak semua siswa tadi mesti dilindungi oleh UU.

Masa iya siswa yang menduga gurunya selingkuh dan menyebar via FB atau Twitter, misalnya, tak boleh dituntut hanya karena dia sebentar lagi akan ujian? Lho, kalau dia lulus ujian, dari kata-kata dugaan selingkuh tadi  jangan-jangan nnati dia menuduh gurunya seorang pelacur atau pezina. Bukankah begitu?

Terlepas dari gejala bunglonisasi pendidik ini, seorang pendidik memang tak diperkenankan melakukan kekerasan verbal atau variasi kekerasan lainnya terhadap siswa. Namun jika seorang siswa sudah bersikap diluar kewajaran dan cendrung melampaui batas kesopanan, etika dan norma yang berlaku, tak bisa disalahkan juga jika seorang pendidik mengalami bunglonisasi tadi dan serta merta berubah sehingga fungsinya sebagai pendidik keluar dari jalur. Toh keduanya manusia juga, punyak hak dan kewajiban, dan tentunya karena mereka terbuat dari tanah juga, keduanya pasti memiliki hati dan harga diri.

Jadi jika siswa salah adalah biasa, guru berbuat salah jangan dianggap luar biasa. Bak kata pepatah antah-berantah, “Pengalaman adalah guru terbaik. Guru yang tak pernah salah berarti tak punya pengalaman.”

Ehem!

(Bunglonisasi Pendidik? Kira-kira istilah ini rancu nggak sih? Maklum, orang Matematika mengutip IPA)

Sumber :

Wakepsek Guru Juga Pukul Siswa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun